Sejumlah Organisasi Profesi Mempertanyakan Urgensi dan Proses RUU Kesehatan
Lebih dari sepekan telah berlalu sejak ribuan tenaga kesehatan dari berbagai organisasi profesi turun ke jalan.
"[Ada] sekitar sebelas ribu orang," tutur dr Adib Khumaidi, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
Selain IDI, empat organisasi profesi kesehatan lainnya turun ke jalan, yakni Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Data Kementerian Kesehatan mencatat ada 1,4 juta tenaga kesehatan di Indonesia di tahun 2022, paling banyak yakni 546 ribu orang adalah perawat.
"Aksi kemarin bukan bentuk perlawanan kami terhadap pemerintah ya … kita sebenarnya sedang menjalankan perintah undang-undang juga," kata Maryanto, Ketua Bidang Kesejahteraan PPNI.
Menurut Maryanto, ribuan nakes dari berbagai organisasi profesi ini memilih turun ke jalan menolak Rancangan Undang-undang Omnibus Law Kesehatan yang tengah dibahas di DPR sebagai cara "untuk mengingatkan dengan jalur ekstra parlemen."
Meski setelah aksi itu perwakilan kelima profesi ini sudah diterima oleh beberapa pihak, seperti Menkopolhukam Mahfud MD, Komisi IX DPR, dan Kemenetrian Dalam Negeri, baik Maryanto dan dr Adib mengatakan belum ada perkembangan lebih lanjut terkait dengan penolakan dan masukan yang mereka sampaikan.
Partisipasi publik yang dipertanyakan
Keberatan kelima organisasi profesi ini berawal dari proses perumusan RUU Kesehatan yang menurut dr Adib tidak transparan.
Ia menuturkan awalnya muncul naskah 'draft' yang tidak jelas dari mana sumbernya dan kemudian diproses di badan legislatif.
"Kita hearing juga dengan badan legislatif, kemudian dibuat draft sebagai hak inisiatif DPR dan diberikan kepada pemerintah, tapi kemudian dari pemerintah ada poin-poin krusial yang dihapus dari daftar inventaris masalah," kata dr Adib.
"Jadi apa yang sudah dihasilkan oleh badan legislatif kemudian dikembalikan lagi ke [draft] tahap awal yang siluman tadi itu."
Dokter Adib mencontohkan salah satu poin yang dihilangkan dari draft badan legislasi adalah anggaran kesehatan sebesar 10 persen dari APBN, dan soal organ transplantasi tanpa persetujuan keluarga.
Menurut dr Adib, ini menimbulkan pertanyaan besar bagi unsur masyarakat yang terlibat dalam 'public hearing'.
Karena pada akhirnya, dari 25 topik teratas masukan dari dengar pendapat tersebut, tidak ada yang masuk ke dalam daftar inventaris masalah yang diusulkan pemerintah.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, menilai pintu partisipasi publik sudah dibuka seluas-luasnya dalam proses rancangan RUU Kesehatan ini.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sendiri saat menyerahkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Kesehatan pada Komisi IX DPR bulan lalu mengatakan Kemenkes telah melakukan kegiatan partisipasi publik secara masif melalui 115 acara sejak tanggal 13 sampai 31 Maret, mengundang 1.200 'stakeholder' organisasi, dengan jumlah peserta terdaftar 72.00 orang.
"
"Yang bisa kami jaring dari partisipasi publik ini, dari 6.000 masukan, 75 persen kami tindak lanjuti dan semuanya ada dalam dokumen digital … baik rekaman digital saat public hearing maupun informasi digital yang kami masukkan di website kami," jelasnya.
"
Ia mengatakan 75 persen masukan yang ditindaklanjuti itu dimasukkan ke DIM atau ke peraturan pemerintah yang ada di bawahnya.
Namun, baik dr Adib dan Maryanto dari PPNI menegaskan, partisipasi publik tidak bisa dimaknai hanya dengan menggelar 'public hearing', seolah-olah publik dianggap sudah berpartisipasi dalam proses pembentukan regulasi dengan mengikuti rapat dengar pendapat atau dengan membuka saluran masukan publik.
"Partisipasi publik [yang digelar Kemenkes] ini menurut kami abal-abal, tidak menyerap aspirasi pelaku yang ada di bawah, jadi sifatnya hanya mengejar target sekian waktu, seolah-olah ini sudah melibatkan publik," kata Maryanto.
Kenapa perlu ada RUU Omnibus Law Kesehatan?
Di luar soal partisipasi publik, Maryanto juga mempertanyakan urgensi RUU Kesehatan ini, padahal sejumlah Undang-undang Kesehatan yang eksis saat ini dinilainya sudah cukup baik.
"
"Ini sebenarnya ada apa dan untuk siapa?"
"
"DPR dan Pemerintah ini kan sebenarnya sudah memberikan payung hukum yang paling bagus berupa Undang-undang No.38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, Undang-undang No.36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, dan ini dicabut secara keseluruhan," tambah Maryanto.
Padahal, menurut Maryanto, di bawah Undang-undang tersebut, sistem layanan kesehatan sudah mulai membaik, mulai dari asuhan keperawatan, sampai sistem pendidikan yang sudah tertata rapi baik dari sisi vokasi, profesi, spesialis, sampai tingkat doktoral.
DPR menginisiasi omnibus law RUU Kesehatan dalam program legislasi nasional 2023 untuk menyederhanakan dan mengatasi tumpang tindih praktik kesehatan.
RUU Kesehatan akan mencabut 10 peraturan perundang-undangan setelah DPR mengesahkannya menjadi undang-undang, seperti yang diatur dalam Pasal 474 draf RUU Omnibus Kesehatan tersebut.
"Mengapa terburu-buru membuat RUU ini dan apakah Undang-undang yang ada tidak cukup dan harmoni?"
Melihat tren pembentukan perundang-undangan Indonesia yang belakangan banyak menggunakan omnibus law, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Profesor Maria Farida Indrati mengatakan materi yang diatur dalam RUU Kesehatan mirip dengan UU Cipta Kerja, yaitu ada Undang-undang yang terdampak namun tidak memiliki tema yang sama.
Untuk itu ia mengingatkan agar tidak memaksakan beberapa UU dengan tema yang berbeda untuk diubah substansinya melalui metode sapu jagat ini.
"
"Tidak perlu dipaksakan jika memang tidak dibutuhkan." ujarnya.
"
Beberapa polemik dalam RUU Kesehatan
Di luar proses perancangan Undang-undang Kesehatan yang dinilai sejumlah organisasi profesi bermasalah, ABC juga mencatat sejumlah isi dari RUU tersebut yang menjadi polemik.
Yang pertama adalah soal kekhawatiran kriminalisasi tenaga kesehatan.
Tim Hukum dan Legislasi Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Khoirul Anam, menilai RUU Kesehatan tidak memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan.
"Dokter/dokter gigi diancam dengan hukum pidana sekalipun telah menjalankan tugasnya dengan benar.”
Ia menambahkan, sejumlah pasal yang ada juga masih tidak konsisten dan bahkan kontradiktif.
Selanjutnya, soal kewajiban resertifikasi.
Berdasarkan draf RUU Kesehatan, Surat Tanda Registrasi (STR) akan menjadi kewenangan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) selaku otoritas profesi kedokteran di Indonesia, hanya perlu diterbitkan satu kali dan akan berlaku seumur hidup.
Ede Surya Darmawan, Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), wacana itu “tidak masuk akal” karena ilmu kedokteran dan penyakit terus berkembang.
Sementara dr Adib mengatakan resertifikasi dokter harus dilakukan dan tidak bisa diberlakukan sekali seumur hidup demi keselamatan pasien, karena proses tersebut memastikan kondisi dan kemampuan dokter masih fit melakukan tindakan medis.
Juga yang paling gencar adalah tudingan monopoli organisasi profesi yang kewenangannya dinilai terlalu besar.
'Jangan mengadu domba'
Sekretaris Pemerhati Pendidikan Kedokteran dan Pelayanan Kesehatan Judilherry Justam dalam forum dengar pendapat RUU Kesehatan yang digelar RSUP Persahabatan dan Kementerian Kesehatan, mengatakan kewenangan IDI terlalu banyak dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Ia mengambil contoh wewenang dalam kolegium kedokteran dan Konsil Kedokteran Indonesia, mengeluarkan rekomendasi untuk surat izin praktik (SIP), serta program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) yang diselenggarakan, diakreditasi, dan dinilai oleh IDI tanpa pengawasan KKI.
”Jadi, IDI telah memonopoli kehidupan kedokteran dari hulu sampai ke hilir,” ucapnya.
Namun, dr Adib mengatakan wewenang IDI merupakan amanat Undang-undang dan telah dikukuhkan oleh keputusan sidang 'judicial review' di mahkamah konsititusi pada tahun 2015 dan 2017.
"Bicara soal kewenangan, kami hanya sebagian dari tim yang ada di dalam pendidikan, proses surat izin praktik, dalam rekomendasi, karena ada unsur lain dalam tim tersebut … jadi kita bukanlah satu-satunya."
Menurutnya dampak yang akan terjadi adalah organisasi dokter akan terpecah menjadi beberapa kelompok.
"Kita akan melihat double, triple, standar pelayanan, kompetensi, etika, yang akan merugikan masyarakat."
"Dan salah satu ahli tata negara menyebutkan, organisasi profesi yang berkaitan dengan nyawa manusia harus tunggal."
Sementara Maryanto mengatakan, PPNI hanya meminta "kedaulatan untuk berprofesi dan minta pemerintah jangan mengadu domba sesama anak bangsa", yang merujuk ke sejumlah nama yang dicantumkan pada spanduk dukungan yang dipasang di Kementerian Kesehatan.
Namun dr Adib percaya Kemenkes adalah "ayah" dari seluruh tenaga medis dan tenaga kesehatan.
"Jadi seorang ayah, sebaiknya memperhatikan anak kandungnya, … siapa anak kandungnya? IDI, PPNI, IBI. PDGI, dan IAI."