ABC

Sejumlah Mahasiswa Indonesia di Australia Bertahan Hidup dengan Sisa Tabungan

Pemerintah Australia menganjurkan mereka yang memegang ‘Temporary Visa’, termasuk pelajar internasional, untuk mempertimbangkan pulang ke negara asalnya, jika mereka tidak dapat mencukupi biaya hidup akibat pandemi virus corona di Australia.

KP Pelajar indonesia di Australia

  • Reaksi mahasiswa internasional bermunculan atas pernyataan PM Australia
  • Mahasiswa Indonesia mengandalkan tabungan dan bantuan dari komunitas
  • Beberapa universitas menyediakan bantuan bagi mahasiswa internasional

Banyak mahasiswa internasional yang kehilangan pekerjaan, khususnya di sektor ritel dan pelayanan, sehingga mengancam mereka kesulitan membayar kuliah dan biaya hidup.

Di Jakarta, Menteri Luar Negeri RI, Retno Mursadi menanggapi anjuran mahasiswa asal Indonesia di Australia untuk pulang, jika akan memberatkan kondisi finansial mereka.

“Apa yang disampaikan oleh Perdana Menteri Australia adalah bagi mahasiswa asing, tidak hanya berlaku bagi Indonesia, bagi mahasiswa asing yang sudah tidak dapat me-support dirinya sendiri,” kata Retno dalam rapat kerja dengan Komisi I, kemarin (07/04).

Saat virus corona mulai mewabah di belahan dunia, terdapat lebih dari 500.000 pelajar internasional yang sedang sekolah di Australia.

David Mahasiswa di Darwin
David Ferdianto mengaku masih bisa bertahan untuk membayar uang sewa tempat tinggalnya di Australia dari uang tabungan.

Koleksi pribadi

David Ferdianto, mahasiswa S2 Professional Accounting di Charles Darwin University, mengatakan kebijakan Pemerintah Australia terkait pelajar internasional sebagai hal yang wajar.

“Sebagai mahasiswa internasional kita memang seharusnya sudah siap dengan risiko apapun itu di waktu [berlakunya] visa kita,” kata David.

Walau mengatakan pernyataan dari Scott Morrison bisa diterima, David yang sempat menjadi pemegang Work and Holiday Visa (WHV), merasakan kesulitan bertahan hidup di Australia.

Setelah diberhentikan dari pekerjaan kontraknya sebagai pembersih dan penjaga bar kecil di Mindil Beach Casino Resort di Darwin, David harus bergantung pada tabungannya.

Kini sejumlah warga Indonesia di Australia, termasuk di Kawasan Australia Utara, melakukan berbagai upaya untuk membantu mahasiswa dan peserta program WHV.

Mereka menawarkan bantuan dalam bentuk makanan serta kebutuhan pokok sehari-hari, bahkan menawarkan tempat untuk tinggal sementara.

“Sejauh ini tabungan masih bisa mencukupi untuk bayar sewa, tapi memang terasa [sulitnya],” kata David kepada Natasya Salim dari ABC News.

“Makan sih oke, karena menurut saya makan bisa diirit. Terus kalau makanan untuk seminggu ini sih puji Tuhannya masih banyak yang memberikan lewat komunitas Indonesia dan teman yang bekerja di restoran yang beralih menjadi takeaway.”

‘Mengerti, tapi sulit diterima’

Angie pelajar internasional
Angie mengaku mengakses 'superannuation' seperti yang ditawarkan Pemerintah Australia menjadi pilihan terakhirnya.

Koleksi pribadi

Bantuan dari komunitas Indonesia juga turut mengurangi beban Anggraini Augusta, atau akrab disapa Angie, seorang mahasiswi di Australian Careers College, Darwin.

Ia kehilangan pekerjaan sampingannya di Casino, sejak Australia menutup tempat-tempat yang dianggap ‘non-essential’ atau tidak penting.

“Sekarang lagi dibantu sama teman, tinggal di tempatnya dan bayar ongkos sewa murah,” kata Angie yang diwawancara lewat telepon Senin malam (06/04).

Sama seperti David, Angie juga mengaku pernyataan Perdana Menteri Australia masuk akal, karena setiap negara pasti akan lebih prioritaskan warganya terlebih dulu.

“Tapi bagi mahasiswa internasional, termasuk dari Indonesia, keputusan kalau kita harus pulang atau stay di sini juga pastinya susah sekali, apalagi kalau sudah di pertengahan kuliah.”

Pemerintah Indonesia telah dinilai banyak pihak lambat dalam menangani pandemi COVID-19, menjadi pertimbangan Angie yang sedang menempuh pendidikan Diploma jurusan Early Childhood Education and Care ini.

Terpaksa pulang bila kondisi tidak membaik

Mahasiswa Indonesia lainnya di Australia, yakni Aldo yang sedang mengambil program master di Charles Darwin University, mengatakan keputusan untuk pulang ke Indonesia akan diambilnya, jika kondisi di Australia dalam empat bulan ke depan tidak menunjukkan perbaikan.

Sejak kehilangan pekerjaannya sebagai barista di sebuah kedai kopi di Darwin, Aldo mulai menggunakan uang kuliahnya untuk membayar keperluan sehari-hari.

Menurutnya, ia telah menyediakan bukti dapat membiayai diri sendiri selama 12 bulan saat mengajukan ‘student visa’, seperti yang dikatakan PM Morrison.

“Sebenarnya untuk [masa sekolah] dua tahun saya bayar uang sekolah itu cukup untuk 12 bulan pertama,” kata Aldo.

Tapi ia harus mengubah rencananya jika tidak ada kepastian untuk tahun selanjutnya.

“Daripada kalau begini terus, untuk tahun keduanya saya tidak bisa bayar, mending saya berhenti kuliah dan pulang [ke Indonesia] saja.”

Boleh mengambil ‘superannuation’

Hingga saat ini, beberapa universitas telah menyediakan bantuan dana bagi para mahasiswa.

Universitas tempat David dan Aldo kuliah, yakni Charles Darwin University, misalnya menganggarkan dana sebesar AU$200,000 (Rp2 milyar) bagi mahasiswa mereka yang mengalami kesulitan keuangan karena terdampak COVID-19.

David, yang sudah mencoba melamar pekerjaan di beberapa tempat namun belum mendapat panggilan kerja, berencana untuk mengakses bantuan dari universitas karena menilai dirinya termasuk yang memenuhi syarat.

Pemerintah Australia sebenarnya sudah mengeluarkan izin bagi para pemegang visa sementara, yang memiliki hak kerja dan terdampak COVID-19 untuk mengakses ‘superannuation’ lebih awal hingga AU$10,000, atau lebih dari Rp100 juta.

Bagi warga negara Australia, ‘superannuation’ adalah dana yang terkumpul dari penghasilan mereka selama bekerja yang bisa diambil setelah usia pensiun.

Sedangkan, bagi yang bukan warga negara, dana ‘superannuation’ dapat diambil ketika ‘for good’ atau meninggalkan Australia tanpa rencana untuk kembali.

Pejabat Sementara Menteri Imigrasi Australia, Alan Tudge mengatakan mahasiswa internasional yang telah tinggal lebih dari 12 bulan di Australia dapat mengakses ‘superannuation’ mereka lebih awal dari seharusnya.

Angie yang berasal Pontianak mengaku belum terpikir untuk pulang, tapi ia akan mengambil ‘superannuation’ sebagai pilihan akhir.

“Kami sudah jadi mahasiswa selama hampir dua tahun. Kalau pulang, berarti uang yang telah dikeluarkan hangus,” kata Angie.

“Menurut saya banyak mahasiswa yang berpikiran sama karena sudah susah payah membuat visa dan membayar uang sekolah yang semahal itu tapi tiba-tiba harus pulang.”

Ikuti perkembangan terkini soal pandemi virus corona di Australia hanya di ABC Indonesia