‘Saya Suka Sekali Orang Indonesia’: Suami-Istri Asal Australia Bantu Anak Terlantar di Halmahera
Anak-anak terlantar dan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Maluku Utara mendapatkan secercah harapan untuk masa depan melalui uluran tangan pasangan dari Australia, Peter dan Esther Scarborough.
Dalam organisasi bernama Hohidiai, kata dalam bahasa Maluku yang berarti ‘tempat pemulihan’, masyarakat di Halmahera bisa berobat dan sekolah gratis meski masih ada kekurangan listrik maupun internet.
“Orang-orang di sana yang memilih namanya,” kata Esther yang mendirikan lembaga swadaya masyarakat tersebut bersama suaminya, Peter.
Esther yang pernah bekerja sebagai perawat di Australia pindah ke Malang di tahun 1994 untuk menemani suaminya yang bekerja di sebuah sekolah internasional.
Ia pernah menjadi sukarelawan di Aceh pasca tsunami tahun 2004 dan di Yogyakarta pasca gempa bumi di tahun 2006.
Ketika tinggal di Malang, Esther sebagai ibu rumah tangga sering bergaul dengan orang-orang Indonesia dan kelamaan jatuh cinta pada keramahan mereka.
“Saya suka sekali orang Indonesia,” kata Esther.
“Jadi melihat ada orang miskin yang menderita di negara mereka memunculkan keinginan dalam diri saya untuk menolong orang-orang di kelas sosial seperti mereka.”
Berbekal keinginan kuat untuk menolong orang-orang yang kurang mampu dan miskin, Esther akhirnya mendirikan Yayasan Hohidiai di tahun 2001.
Memang kesempatan untuk menolong warga Indonesia tersebut dilihatnya di Maluku Utara saat itu.
Saat ini, Hohidiai sudah memiliki fasilitas kesehatan, rumah keluarga yang dapat menampung empat sampai delapan anak, dan sekolah hingga tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Jumlah anak-anak yang menerima pertolongan dari Hohidiai meningkat dari tahun ke tahun sejak 19 tahun yang lalu hingga melebihi 20 orang terhitung tahun ini.
Dalam membantu anak-anak di Maluku Utara ini, Esther dan Peter mendahulukan mereka yang membutuhkan pertolongan segera.
“Contohnya anak-anak dari latarbelakang kekerasan atau penelantaran, ini akan kami bantu.”
Di sisi lain, klinik di Hohidiai menerima pasien-pasien yang tidak diterima di rumah sakit di sana.
“Kami menerima pasien yang tidak diinginkan (rumah sakit), seperti penderita tuberkulosis akut, pengidap HIV dan kusta. Kami mau menolong mereka semua,” kata Esther.
Anak-anak mahir Bahasa Inggris
Demi akses meluas ke ilmu pengetahuan dari segala penjuru dunia, Esther mewajibkan para siswa di Hohidiai untuk berbicara dalam Bahasa Inggris.
Kini, anak-anak di Hohidiai sudah menggunakan Bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari. Salah satunya bahkan sudah ditawarkan pekerjaan karena mahir dalam bahasa tersebut.
“Ada seorang anak yang sebenarnya belum selesai sekolah tapi sudah ditawarkan pekerjaan di bidang pariwisata,” kata Esther yang berusia 57 tahun.
Kunjungan sukarelawan dari luar negeri seperti Australia, Amerika Serikat, Inggris dan Singapura menurut Esther juga mendorong anak-anak untuk berbicara dalam bahasa tersebut.
“Pengunjung dari luar Indonesia yang datang sering berbicara dengan mereka, dan menurut saya ini membantu.”
Kefasihan berbahasa Inggris anak-anak di Hohidiai ini disaksikan sendiri oleh Raymond Setiawan , seorang warga asal Indonesia yang sekarang tinggal di Melbourne, yang melakukan kegiatan sukarelawan di sana selama dua minggu.
Raymond yang pernah pergi dari Sabang sampai Merauke ketika bekerja di sebuah organisasi nirlaba mengatakan belum pernah melihat keunikan ini.
Lapangan kerja bagi dokter Indonesia
Esther yang mengatakan jatuh cinta pada keramahan orang Indonesia sejak kedatangannya di tahun 1998 merasa bangga melihat kemajuan Hohidiai dari tahun ke tahun.
“Kami sudah melihat kemajuan, karena memang yang kami ingin lakukan dulu adalah membangun Maluku.”
Meski ketika awal didirikan Hohidiai banyak menerima bantuan dari tim medis luar negeri, kini semua dokter dan perawat yang bertugas di Hohidiai adalah warganegara Indonesia.
“Dulu awal baru didirikan, memang ada tim medis [dari luar negeri] yang membantu karena kami membutuhkan bantuan mereka,” kata Esther.
“Sekarang semua perawat dan bidan adalah orang Indonesia.”
“Tapi memang itulah keinginan kami, untuk membantu memberikan pelatihan untuk dokter-dokter di Indonesia dengan cara membiayai kuliah mereka ke universitas yang baik,” tambahnya.
Selain membiayai kuliah, Hohidiai juga memberikan kesempatan bagi sarjana kedokteran Indonesia untuk melakukan praktek di sana.
Menolong sesuai keahlian
Di tengah banyaknya sukarelawan dari Australia dan Amerika Serikat di Hohidiai, Raymond yang bekerja sebagai guru di Australia menyumbang kontribusi sesuai bidang keahliannya.
“Ada informasi dari kepala sekolah kalau mereka perlu keterampilan konseling untuk guru,” kata Raymond yang adalah Sarjana Psikologi dari Universitas Atmajaya Jakarta.
“Jadi di sana saya memberikan pelatihan guru, mendampingi tim manajemen untuk membuat kebijakan dan juga diminta memberikan konseling untuk tenaga medis.”
Menurutnya, bukan hanya dukungan dana yang dibutuhkan oleh komunitas yang berada di bawah Yayasan Hohidiai Maluku Utara itu.
Esther mengatakan bangga atas kontribusi Raymond selama dua minggu di Hohidiai.
“Baik sekali [kontribusinya], ia memang memiliki banyak pengalaman di bidang pembuatan kebijakan sekaligus di bidang konseling.”
Siswa lanjut ke universitas
Kepada ABC News, Esther mengatakan bahwa beberapa siswa dari Hohidiai sudah disekolahkan ke perguruan tinggi di Indonesia.
“Sudah ada yang melanjutkan kuliah di bidang psikologi, mengajar dan perawatan dengan bantuan dari kami.”
Melihat potensi yang mulai terasah, Esther berharap agar ke depannya anak-anak di Hohidiai dapat menolong dan mengembangkan masyarakat di Maluku Utara.
“Kami ingin (anak-anak di Hohidiai) untuk menjadi berkat bagi masyarakat di daerah mereka dan dapat melakukan kebaikan di sana.”
“Saya merasa banyak bidang sudah pulih dan mereka mendapatkan pendidikan yang baik.”
Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia.