ABC

“Saya Membantu Pengungsi Untuk Beradaptasi di Australia”: Cerita Heni Hardi Tinggal di Goulbourn

Dari Denpasar sepuluh tahun yang lalu, Nugraheni Setya Hardi terbang ke Canberra membawa mimpi untuk membuka salon sambil mengajar senam di Australia.

  • Heni bekerja sebagai manajer organisasi bagi pengungsi
  • Keterampilan diperlukan bagi orang yang berminat menetap di Australia
  • Orang Indonesia di Australia menurutnya cepat beradaptasi

Dari Canberra, perempuan yang dipanggil Heni ini pindah ke Goulburn, yang berjarak 90 km dari negara bagian ibukota Australia itu, setelah menerima tawaran mengajar dari klab kebugaran di sana.

Kini ia duduk di kursi manajer sebuah lembaga yang membantu meningkatkan kesejahteraan para pengungsi di Australia.

Karir ini ia mulai dengan menjadi sukarelawan pengajar tari bagi pengungsi muda berlatar belakang multikultural di sebuah organisasi sosial.

Ia lalu memberanikan diri melamar ke Goulburn Multicultural Centre (GMC), organisasi non-profit berumur 13 tahun yang menerima dana dari Departemen Sosial dan Jasa Australia.

Sejak diterima, jabatan Heni selalu naik mulai dari sebagai Pekerja Remaja, bagian Pengembangan Komunitas, hingga akhirnya menjadi seorang manajer.

Di posisinya sekarang, perempuan yang hobi olahraga tersebut memberikan konseling kepada 255 klien dan membawahi 19 sukarelawan serta dua orang karyawan disamping tanggung jawab lainnya.

WOMENS SESSION
Women's group and information session terbuka untuk umum demi membantu kelancaran komunikasi pengungsi dengan penduduk lokal.

Foto: supplied

Bagaimanapun tinggi jabatannya, Heni tetap memiliki satu visi yaitu untuk menciptakan kesejahteraan bagi para pengungsi di Australia.

“Saya bekerja di Goulburn Multicultural Centre, membantu pengungsi, pendatang baru, imigran dan keluarga mereka supaya mereka hidup harmonis di Goulburn.”

Program Heni bernama “Women’s group and information session” dalam organisasi itu, ramai diminati oleh para perempuan, baik pengungsi ataupun tidak.

Dalam program itu, Heni mengajar menari dan membagikan ilmu menata rambut serta kecantikan.
Tidak berhenti di sana, sesi yang diadakan setiap hari Jumat dari pukul 10-12 siang tersebut juga menyediakan informasi soal kesehatan dan kesejahteraan hidup kaum perempuan.

Pengetahuan lain yang dibagikan antara lain seputar visa, lowongan pekerjaan, cara tepat lulus wawancara kerja, kecantikan, busana, tata rambut, memasak, dan lain-lain.

“Sesi ini diadakan untuk memotivasi para pengungsi untuk lebih mandiri dan percaya diri.” kata Heni kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia yang menghubunginya dari Melbourne.

Selain bahasa, perlu juga keterampilan

Berada di lingkaran pengungsi yang mayoritas berasal dari Afrika, Burma dan Timur Tengah sejak 2012 ternyata menumbuhkan kecintaan Heni akan pekerjaannya seiring berjalannya waktu.

Karena sendirinya adalah perantau yang harus belajar menyesuaikan diri setibanya di Australia, Heni mengerti suka duka dari para pengungsi yang saat ini ia tangani.

“Saya sangat senang karena dapat membantu sesama pendatang dari berbagai belahan dunia karena saya bisa merasakan yang mereka rasakan saat tiba di negara lain,” kata dia.

“Tidak tahu apa yang bisa mereka perbuat, kadang [pekerjaan mereka] tidak sesuai dengan impian mereka.”

heni mengajar nari
Heni sedang mengajarkan tari salsa pada anggota komunitas perempuannya.

Foto: supplied

Menurut Heni, di samping dari mempersiapkan kemampuan berbahasa, migran juga perlu mempersiapkan keterampilan bekerja.

“Selain dari bahasa, migran harus mempersiapkan keterampilan yang dapat dipergunakan saat mereka tinggal di Australia dan visa yang sesuai dengan tujuan tinggal.”

Pendidikan adalah hal lain yang menurut Heni perlu diperhatikan sewaktu tiba di Australia sebagai seorang migran.

“Selain itu, yang harus disesuaikan adalah pendidikan yang mana semua pekerja harus mempunyai sertifikat dari Australia untuk bisa bekerja sesuai keterampilan mereka.”

Orang Indonesia ‘cepat beradaptasi’

Pemegang visa Warga Tetap Australia sejak 2013 ini mengatakan bahwa persentase dari warga Indonesia yang adalah migran di Goulburn hanyalah sebesar 1 persen dan “umumnya cepat beradaptasi”.

Goulburn yang terletak sekitar 195 km dari ibukota negara bagian New South Wales Sydney ini menurut Sensus tahun 2018 memiliki penduduk sekitar 23 ribu orang.

“Kebetulan orang Indonesia yang tinggal di Goulburn adalah orang-orang yang mengerti cara menyesuaikan diri dengan baik.”

Kepada komunitas pengungsi yang ia kelola, ia memperkenalkan budaya Indonesia melalui tari-tarian dalam festival budaya Goulburn Multicultural Festival.

Acara tersebut menampilkan 20 kelompok budaya juga menggelar stan-stan makanan di Goulburn.

“Saya punya akses untuk memperkenalkan budaya Indonesia lewat tarian karena kami menyelenggarakan festival budaya yang menampilkan 23 penari dari berbagai negara.”

Heni di acara kultural bener
Selain menyediakan layanan bagi pengungsi, Heni (paling kanan) juga suka memperkenalkan budaya Indonesia pada komunitas di Goulburn.

Foto: supplied

Selain dari tarian, Heni juga aktif mempromosikan budaya Indonesia melalui tulisannya di kolom Local Leader di koran Goulburn Post setiap bulan sejak Januari 2018.

“Saya menulis tentang perbedaan yang dapat dipelajari mulai dari makanan, budaya, pandangan hidup, pakaian, cuaca atau iklim dan lain-lain dari berbagai negara.”

Tidak hanya lewat tulisan, Heni juga suka memperkenalkan budaya Indonesia secara lisan.

“Sering diundang sebagai pembicara di sekolah-sekolah atau organisasi-organisasi, topik saya selalu budaya Indonesia yang kaya. Tak habis-habisnya diceritakan.”

Sembari menjalankan perannya sebagai seorang pemimpin, Heni juga sedang menyelesaikan 20 kursus untuk menopang pekerjaannya saat ini.

Melihat pencapaiannya sebagai seorang perantau, menurutnya sangatlah penting bagi migran di Australia untuk selalu “sehat secara jasmani dan rohani serta selalu berpikir positif dan mau belajar”.

Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia