ABC

Santi Whiteside, Perempuan Berdarah Batak yang Ikut ‘Pilkada’ di Melbourne

Santi Whiteside sudah tinggal di Australia lebih dari 20 tahun dan kini ia menjadi salah satu kandidat ‘councillor’ di kawasan Whitehorse, sebelah timur kota Melbourne.

‘Councillor’ adalah pejabat yang dipilih melalui pemilihan untuk ‘Council’ atau Dewan Pemerintah setingkat kabupaten atau kota. Salah satu dari ‘councillor’ sekaligus akan menjadi walikota atau ‘mayor’.

Santi mengaku tak pernah terpikirkan olehnya untuk bisa mengikuti pemilihan ‘council’, apalagi terjun ke dunia politik di Australia.

Ia mengaku jika aktivitasnya di sejumlah organisasi kemasyarakatan di Melbourne membuat rekan-rekannya meminta dan mendukung dirinya untuk maju dalam pemilihan yang digelar setiap empat tahun tersebut.

Santi dikenal sebagai duta multikultur dari yayasan kesehatan mental Australia (MHFA), Wakil Presiden Perhimpunan Warga Indonesia di Victoria, perkumpulan kuliner Indonesia, juga salah satu anggote komite di perkumpulan warga India di Australia.

“Meskipun saya berdarah Batak, tapi sudah lama saya tertarik dengan budaya India,” katanya.

Santi with Indian Community
Ketertarikannya dengan budaya India membuat Santi juga aktif mengikuti kegiatan komunitas India di Melbourne.

Koleksi pribadi

Mengeluarkan biaya hingga ratusan juta rupiah

Di Indonesia, politik uang dalam sebuah pemilihan sudah menjadi rahasia umum, tapi Santi mengaku hal ini, setidaknya, tidak terjadi dalam pemilihan ‘council’ di Victoria.

“Biaya yang saya keluarkan ada di kisaran AU$10.000-AU$20.000 [lebih dari Rp100 hingga 200 juta],” kata Santi yang berasal dari Sumatera Utara.

“Tapi itu kebanyakan untuk membuat materi kampanye, seperti poster, iklan di media,” katanya.

Santi mengaku jika modal politiknya saat ini ia dapatkan dari kegiatannya di sejumlah organisasi, sehingga membuatnya paham sejumlah masalah yang dialami warga, terutama migran baru, seperti kesejahteraan, lapangan pekerjaan, kesehatan mental.

“Jika saya terpilih di [kawasan] Wattle, maka saya akan mampu mengangkat masalah yang dihadapi warga di sini dengan memahami latar belakang budaya yang beragam,” ujar kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia.

Akibat ketatnya pembatasan aktivitas di tengah pandemi COVID-19, para kandidat ‘councillor’ di negara bagian Victoria tidak dapat melakukan kampanye secara tatap muka.

Sebagai gantinya, Santi mengaku jika banyak warga yang langsung menghubungi dirinya, baik secara telepon atau email, untuk mengetahui langkah apa yang ia akan ambil untuk mengatasi permasalahan di daerahnya.

Wattle
Kawasan Wattle di Whitehorse City Council menjadi daerah yang akan diwakili oleh Santi Whiteside.

Koleksi Whitehorse City Council

‘Tetap bangga’ dengan Indonesia

Ibu dengan tiga anak dan bersuamikan pria Australia ini mengaku sudah pindah kewarganegaraan sejak 15 tahun lalu dengan alasan “untuk lebih memudahkan memperkenalkan budaya Indonesia di tingkat dunia”.

Namun ia mengatakan hal tersebut tidak melunturkan nilai-nilai Indonesia yang tetap ia pegang teguh, terutama soal hidup dalam keberagaman budaya.

“Saya tetap bangga dengan adat Indonesia dan nilai-nilai yang dibesarkan keluarga saya dan sekarang saya mengakui sebagai seorang warga Australia dengan nilai-nilai Indonesia yang kuat,” ujarnya.

Santi mengaku ia tidak terlalu banyak berharap dalam pemilihan kali ini, karena telah mendapatkan banyak pelajaran baginya untuk berpartisipasi dalam politik praktis di Australia untuk menyiapkan dirinya lebih baik dalam empat tahun mendatang.

“Salah satu alasan saya ingin ikut tahun ini juga adalah agar lebih banyak warga Indonesia [di Australia] untuk terjun ke dunia politik Australia untuk kehidupan warga yang lebih baik,” kata Santi.

Santi Whiteside.jpg
Santi Whiteside asal Sumatera Utara mengaku tak pernah terlintas dalam benaknya untuk menjadi politisi di Australia.

Koleksi pribadi

Kandidat dari berbagai latar belakang budaya

Tahun ini banyak kandidat ‘councillor’ di Victoria yang berasal dari berbagai latar ras dan budaya, seperti Santi, dengan harapan mereka dapat membuat perubahan bagi komunitasnya.

Calvin Chin, berdarah Malaysia-China memilih untuk ikut dalam pemilihan di Monash City Council, yang seperempat penduduknya adalah warga keturunan China.

“Kebanyakan migran asal Asia di sini adalah generasi pertama … suara mereka tidak pernah terdengar,” ujar Calvin.

Bukan hanya karena faktor budaya yang jauh berbeda, Calvin mengatakan seringkali mereka tidak terwakili karena adanya hambatan dalam berbahasa.

Calvin Chin with his family in front of a Christmas tree.
Calvin Chin sudah 34 tahun bekerja sebagai insinyur dan baru saat ini menjadi kandidat untuk mewakili kawasannya.

Koleksi pribadi

Begitu pula dengan Amina Liban, yang datang ke Australia 20 tahun lalu bersama orangtua dan delapan saudara kandungnya dari Somalia.

Meski ia sudah melihat banyak kemajuan dalam penerimaan budaya yang beragam, namun menurutnya masih kurang ada kesempatan bagi orang-orang yang tidak berkulit putih.

Kepada ABC Indonesia, Amina mengatakan ia bukan saja ingin mewakili komunitas Afrika dan Muslim, tapi juga meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik Australia.

Amina Liban walking with other African-Australians holding an Australian flag.
Amina Liban asal Somalia sedang mengikuti pemilihan di kawasan Banyule dan berharap bisa membawa perubahan bagi komunitasnya.

Koleksi pribadi

Sementara bagi Santi, ia ingin agar semua warga, khususnya di daerah yang diwakilinya mendapat pelayanan dan perhatian yang adil.

Terlebih ia merasa warga dari beragam ras dan budaya di kawasannya belum terlalu terekspos atau terlibat dalam kehidupan bermasyarakat.

“Saya ingin membangun kehidupan masyarakat multikultur yang kuat dan harmoni, saling menghormati dan melihat satu sama lain sebagai satu keluarga besar Australia,” ujar Santi.

Laporan tambahan oleh Erin Handley dan Ning Pan

Simak berita-berita dari kehidupan warga Indonesia di Australia lainnya hanya di situs ABC Indonesia