Sampah Plastik Australia Berakhir di Desa Bangun, Mojokerto
Pekan lalu Indonesia mengumumkan akan mengembalikan delapan kontainer sampah daur ulang ke Australia, setelah diketahui tercemar dengan limbah B3. Kini orang Australia mempertanyakan apa yang harus mereka masukkan ke tempat sampah dan dimana sampah-sampah itu berakhir.
Koresponden ABC David Lipson mendatangi Bangun, sebuah desa di Mojokerto, Jawa Timur, yang menjadi tempat pemilahan sampah-sampah daur ulang dari berbagai negara, termasuk Australila.
Dari kejauhan sudah tampak bagaimana desa ini “ditelan” oleh tumpukan sampah plastik dimana-mana.
Di halaman rumah, di hampir setiap lahan kosong, tumpukan sampah menggunung – dikirim ke sana oleh perusahaan daur ulang yang membayar warga setempat untuk memilahnya.
Tak butuh waktu lama bagi wartawan ABC untuk menemukan merek-merek Australia di antara tumpukan sampah itu.
Sampah-sampah ini terasa tak asing lagi – dan teringat bagaimana warga Australia yang sebenarnya dengan teliti memisahkan sampah yang mereka buang, hanya akan berakhir di Bangun.
Bagi anak-anak di Desa Bangun, sampah-sampah itu dijadikan tempat bermain. Sedangkan bagi orangtua mereka, inilah sumber pencaharian.
“Kami mengerjakan hal ini demi anak-anak, demi sekolah mereka, dan untuk menutupi semua pengeluaran. Warga di sini bergantung pada bisnis daur ulang ini,” kata Supiyati, salah seorang warga setempat.
Supiyati telah memilah sampah selama delapan tahun. “Saya pernah menemukan gigi emas. Saya jual Rp 800 ribu!” katanya kepada ABC.
Saat ini Supiyati mempekerjakan empat orang tenaga pemilah sampah, yang dibayar Rp 40 ribu perorang perhari.
Secara berkala, tampak truk-truk dari pabrik kertas datang ke sana menurunkan muatannya. Para tenaga pemilah sampah pun langsung bekerja memisahkan plastik.
Semua yang masih bisa didaurulang akan diikat dalam bundel dan dibawa pergi untuk dijual kembali.
Sedangkan sampah-sampah tersisa yang tidak berharga lagi – dibawa ke tepi sungai dan dibakar di sana.
Lebih murah kirim ke luar negeri
DR Joe Pickin, direktur Blue Environment di Australia secara terpisah menjelaskan, negara ini mengekspor sampah sebanyak lebih dari 4 juta ton per tahun, dan 20 persen di antaranya masuk ke Indonesia.
Menurut Dr Pickin ekspor sampah telah dilakukan Australia selama bertahun-tahun karena lebih murah dibandingkan biaya mengolahnya di dalam negeri.
“Kita sudah lama keenakan dengan biaya daur ulang yang sangat murah (dengan mengirimnya ke negara lain),” jelasnya.
“Mereka telah membayar untuk daur ulang kita dengan sangat baik sehingga menjadi bonanza bagi kami secara finansial. Tapi sekarang kita harus mengatasinya, kita harus membayar sedikit lebih mahal. Toh kita pada dasarnya mengekspor polusi,” papar Dr Pickin.
Seorang warga Bangun lainnya yang ditemui ABC, Sugeng, merupakan salah satu dari sedikit penduduk di sana yang tak terlibat bisnis daur ulang.
Dia seorang nelayan yang harus pergi jauh untuk menangkap ikan, tak lagi seperti dulu dia bisa menebar jalanya di sungai terdekat.
Sugeng menunjukkan danau tempatnya biasa berenang ketika masih anak-anak dan kini dalam kondisi berbau menyengat.
Menurut dia, limbah buangan dari pabrik yang memproses kertas daur ulang telah merenggut sebagian kawan masa kecilnya.
“Ketika saya masih kecil, airnya bersih di daerah ini. Kita bisa berenang, bermain, semua masih alami. Tapi tidak ada yang bisa bermain di sungai lagi karena air tercemari pabrik kertas,” katanya.
Sugeng percaya semua limbah plastik itu telah membuat desanya sakit.
“Saya tidak bisa pastikan apakah kawan-kawan saya meninggal karena polusi, tapi banyak yang meninggal muda,” jelasnya.
“Orang-orang di Solo dan Yogyakarta meninggal karena usia tua, tapi tidak begitu di sini,” kata Sugeng.
Pengaruh limbah plastik ini, menurut Prigi Arisandi dari LSM Ecoton, sangat berbahaya bagi tubuh manusia.
“Orang Surabaya minum dari sungai ini sehingga akan masuk ke dalam tubuh dan darah kita,” katanya.
Sejak China menutup keran impor sampah dari berbagai negara, bisnis daur ulang dunia pun mengalami kekacauan. Salah satu dampaknya, kian banyak limbah plastik diselundupkan di antara bahan baku daur ulang kertas.
Tadinya, kata Dr Pickin, perusahaan daur ulang di China menyerap semua sampah tersebut, memilahnya, namun pengolahan residu sangat buruk sehingga menimbulkan banyak polusi.
Meskipun perusahaan-perusahaan itu masih mau mengimpor sampah, namun kata Dr Pickin, Pemerintah China sudah tak mau lagi dan memutuskan untuk menutup pintu bagi sampah impor.
Maka, sampah-sampah itu dikirim ke negara lain termasuk Indonesia, yang kini juga sudah mulai bersikap menolak.
Pekan lalu misalnya, petugas bea cukai menolak 210 ton limbah kertas Australia yang positif terkontaminasi bahan berbahaya dan beracun (B3).
Namun di Desa Bangun, sangat sedikit warga yang ditemui ABC yang ingin bisnis daur ulang dihentikan.
Mereka percaya, memilah plastik adalah satu-satunya kesempatan untuk kehidupan yang lebih baik bagi anak-anak mereka.
“Yang penting anak-anak saya tidak berakhir seperti orangtua mereka. Itu saja yang saya inginkan,” ujar Supiyati.
Simak berita lainnya dari ABC Indonesia.