Saatnya Australia Cabut Pembatasan Visa Bagi Mereka yang Hidup dengan HIV
Debbie* masih ingat betul ketika pertama kali diberitahu jika ia mengidap HIV.
Saat itu tahun 2011, dua tahun setelah ia dan suaminya pindah ke Australia dari Papua Nugini sebagai migran dengan keterampilan tinggi.
Ibu dari empat anak tersebut terbaring di ranjang di sebuah rumah sakit di Queensland dan para dokter mencoba mengetahui apa yang menyebabkannya sakit.
Ketika mereka melakukan tes darah, hasilnya menunjukkan Debbie mengidap virus HIV.
"Saya begitu terkejut," kata Debbie.
"
"Berat sekali bagi saya untuk memahami dan menerima jika saya memiliki virus tersebut."
"
Suami Debbis juga kemudian menjalani tes dan hasilnya sama.
Melihat kembali ke belakang, Debbie berterimakasih dengan dukungan para dokter, perawat dan konselor yang membantunya menyadari jika HIV bukan lagi sebuah hukuman mati sepanjang ia mendapat bantuan obat-obatan.
Setelah diagnosa, Debbie dan suaminya berhasil mengembangkan bisnisnya sampai berhasil dan mengirim keempat anak-anak mereka ke universitas.
Tapi, ketika mereka mengajukan permohonan untuk menjadi 'permanent resident' (PR) atau penduduk tetap Australia di tahun 2016, mereka terkejut jika prosesnya tidak akan mudah karena status HIV.
"Ini sangat membuat stres," kata Debbie.
"Saya memiliki masalah kesehatan mental seperti depresi, stres dan kecemasan. Rasanya berat sekali."
Apa aturan visa bagi mereka yang mengidap HIV di Australia?
Australia adalah satu dari 40 negara di dunia saat ini yang masih memberikan pembatasan visa bagi mereka yang hidup dengan HIV.
Amerika Serikat sudah mencabut ketentuan tersebut 10 tahun lalu, demikian juga Inggris dan Selandia Baru.
Australia mendapat kritikan di tahun 2021 oleh lembaga UNAIDS karena masih memiliki ketentuan "yang melakukan diskriminasi dengan dasar status HIV".
"
"Pemerintah Australia harus menghapus semua rintangan yang membuat mereka yang hidup dengan HIV bebas melakukan perjalanan dari dan ke Australia," kata Darryl O'Donnell, CEO Health Equity Matters .
"
Pekan ini, para pegiat akan menggunakan konferensi tahunan Masyarakat AIDS Internasional di kota Brisbane untuk menyerukan agar pemerintah Australia mencabut larangan tersebut.
Mereka mengatakan kebijakan yang ada hanya memperpanjang stigma dan Australia akan mengalami kesulitan untuk menghapus penyebaran virus tersebut tanpa adanya perubahan aturan.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Kirby Institute dari University of New South Wales pekan lalu, penemuan kasus HIV di Australia sudah berkurang setengahnya dalam 10 tahun terakhir dan penyebarannya akan hilang dalam waktu tiga sampai lima tahun ke depan.
Namun untuk mewujudkannya, perlu ada upaya lebih yang dilakukan bagi komunitas migran, yang biasanya memiliki angka tes rendah serta angka penyebaran tidak turun secepat yang diharapkan.
Darryl mengatakan meski mereka yang ingin tinggal permanen di Australia harus melakukan tes, pembatasan visa yang ada membuat banyak pemohon PR menjadi takut dan enggan untuk melakukan tes lebih awal.
"
"Jika ada kekhawatiran hasil tes HIV-nya positif, ini akan menjadi penghalang bagi pengajuan PR. Mereka jadi enggan melakukan tes."
"
Bagi mereka yang positif HIV, penghitungan biaya diperlukan untuk menentukan apakah mereka akan melewati "biaya tanggungan kesehatan yang akan ditanggung pemerintah".
"Biaya pengobatan antiretrovirals sekitar $11 ribu setiap tahunnya," kata Alexandra Stratigos, pengacara kepala HIV/AIDS Legal Centre.
Angka ini dua kali lipat dari angka yang ditetapkan pemerintah, katanya, yang berarti semua orang yang terkena HIV melebihi angka tersebut.
Alexandra banyak mendampingi klien yang mengajukan kasus mereka ke Admnistrasi Tribunal Australia.
Menurutnya, aturan yang ada sekarang memaksa para kliennya untuk mengungkapkan status HIV mereka ke tempat mereka bekerja, hal yang bisa membuat mereka dalam posisi lebih lemah.
Ini juga menjadi salah satu alasan mengapa banyak yang enggan melakukan tes.
Aturan tidak sesuai dengan harapan komunitas
Menurut para aktivis, Australia berada di garis depan dalam mengatasi HIV dan AIDS dalam banyak hal.
Kerja sama antara petugas kesehatan dengan komunitas yang rentan merupakan kunci keberhasilan, dengan angka pengetesan yang tinggi, serta fokus pada pencegahan dan perawatan.
Australia mungkin akan menjadi negara pertama di dunia yang bisa menghilangkan penyebaran virus di kalangan masyarakatnya.
Namun Darryl mengatakan kebijakan imigrasi Australia saat ini "tidak berjalan seiring dengan kemajuan sains".
"Ada kesenjangan. Kita seperti tertinggal 20 tahun ketika saat itu tidak ada pengobatan yang bagus untuk HIV," katanya.
"Kita sekarang memiliki obat yang tersedia dan sangat murah. Tidak ada lagi dampak ekonomi besar bagi seseorang untuk datang ke Australia hanya karena HIV, namun banyak yang masih mengalami masalah bertahun-tahun dalam pengajuan visa permanen."
Dalam pernyataannya, Menteri Imigrasi Andrew Giles sepakat dengan adanya masalah visa terkait kondisi kesehatan seseorang.
"
"Pendekatan Australia terkait persyaratan kesehatan untuk keperluan migrasi tidak memenuhi standar komunitas," katanya.
"
"Saya melihatnya setiap pekan dengan keputusan pribadi yang harus saya ambil untuk ikut campur tangan dalam sistem visa lewat keputusan menteri."
Andrew mengatakan ia sudah membicarakan masalah tersebut dengan Menteri Kesehatan Mark Butler selain juga pakar HIV dan mereka yang hidup dengan HIV, sejak ia menjabat sebagai menteri.
Perjuangan Debbie mendapatkan status PR di Australia berlangsung selama tujuh tahun.
Ia baru mendapatkannya awal tahun ini setelah menang dalam banding di pengadilan.
"Kami bukanlah beban bagi komunitas. Kami mencoba membuktikannya dan berhasil," kata Debbie.
*Nama sudah diganti untuk melindungi privasi
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News