ABC

Ribuan Nelayan NTT Menggugat ke Pengadilan Australia

Lebih dari 15.000 petani rumput laut di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mengaku bahwa tumpahan minyak terburuk di Australia telah menghancurkan sumber penghasilan mereka, akan segera mengetahui apakah Pengadilan Federal di Australia akan menyidangkan tuntutan mereka.

Para nelayan ini mengatakan hasil panen mereka hancur akibat tumpahan minyak Montara di tahun 2009.

Delapan tahun kemudian, perusahaan minyak PTTEP Australasia, tetap bersikukuh bahwa tumpahan minyak mereka teratasi dan tidak pernah sampai ke pesisir pantai di Indonesia.

Penggugat utama gugatan class action ini, Daniel Sanda, mengatakan hidupnya berubah dalam semalam.

“Sebelum tumpahan minyak datang, tanaman rumput lautku banyak dan sehat. Pendapatan dari panen rumput laut juga bagus,” kata Daniel.

“Pada tahun 2009, setelah tumpahan minyak datang, rumput lautku jadi putih, lemah, lalu jatuh terhanyut oleh arus,” katanya.

Mengumpulkan penggugat

Montara well head platform continues to burn
Nelayan rumput laut di pesisir Nusa Tenggara Timur menggugat Montara Oil secara class action ke pengadilan Australia.

PTTEP

Proses hukum kasus ini bisa berlangsung melalui pengadilan Australia berkat usaha keras dari pengacara asal Kota Darwin, Greg Phelps.

Phelps menghabiskan banyak waktu selama tiga tahun terakhir mengunjungi 81 desa di NTT, mengumpulkan bukti dan pendaftaran untuk gugatan class action.

“Buktinya sangat jelas dan waktunya bertepatan dengan tumpahan minyak Montara,” kata Phelps.

“Skalanya juga jelas. Fakta bahwa semua bahan yang mencemari ini tiba di lingkungan sini pada saat bersamaan dengan Montara melepaskan minyak ke Laut Timor,” jelasnya.

Versi perusahaan

Phelps mengatakan yakin penyelidikan ilmiah akan sangat berbeda jika kasus ini menyangkut nelayan Australia yang mengklaim tanaman mereka yang hancur.

“Jika tumpahan minyak ini mengalir ke Kimberley, jika menghancurkan keindahan alam Australia, pasti muncul protes,” kata Phelps.

“Orang-orang di seluruh Australia pasti sudah melawan,” katanya.

“Untungnya bagi perusahaan minyak ini karena mengalir ke utara, melintasi perbatasan laut Indonesia. Sama sekali tidak ada investigasi yang dilakukan di perairan Indonesia. Mereka lega dan berharap mereka tidak akan pernah mendengarnya lagi,” paparnya.

PTTEP Australasia secara tegas menolak pendapat bahwa tumpahan minyak menjadi penyebab kematian tanaman rumput laut di pesisir NTT.

Dalam sebuah pernyataan, perusahaan tersebut menegaskan:

“Meskipun PTTEP AA tidak menyangkali kemungkinan bahwa masyarakat Nusa Tenggara Timur telah mengalami penurunan produksi rumput laut, namun PTTEP AA menolak adanya hubungan antara tumpahan minyak Montara dan tuntutan ini.”

“Ada bukti kuat yang menunjukkan penurunan produksi rumput laut disebabkan oleh faktor lingkungan yang tidak terkait dengan potensi dampak polusi hidrokarbon,” demikian ditambahkan.

Perusahaan tersebut tidak menjelaskan faktor lingkungan apa saja yang mereka yakini menyebabkan kematian rumput laut tersebut.

Farmers stand in a seaweed farm
Para nelayan rumput laut di Propinsi NTT mengklaim tanaman mereka rusak akibat tumpahan minyak dari pengeboran Montara di tahun 2009.

Supplied: Greg Phelps

Namun Phelps menyebutkan adanya kelemahan mencolok pada bukti ilmiah yang dikumpulkan perusahaan minyak tersebut.

Dia mengatakan bahwa peta yang dia peroleh dari Otoritas Keselamatan Maritim Australia atas UU Kebebasan Informasi menunjukkan bahwa tumpahan minyak yang sangat banyak terdeteksi mendekati 20 mil laut di lepas pantai Pulau Rote, RI.

“Sebagian besar penelitian ilmiah dilakukan antara rig pengeboran minyak dengan pantai di Australia, di mana tidak ada minyak yang masuk. Sederhananya, perusahaan minyak ini tidak cukup bertindak dalam mengikuti tumpahan minyak dan benar-benar melihat dampaknya,” kata Phelps.

Sikap industri minyak

Malcolm Roberts, CEO Australian Petroleum Production and Exploration Association, mendukung bukti sains yang disampaikan pihak perusahaan tersebut.

“Kita punya program empat tahun yang sangat komprehensif, penelitian yang sangat terinci yang dilakukan para ahli terkemuka di bidangnya. Hasilnya bisa dilihat semua orang,” kata Roberts.

Dia menambahkan pihaknya mendukung sikap resmi PTTEP: bahwa contoh tumpahan minyak paling dekat dicatat di perairan Indonesia adalah 94 kilometer dari garis pantai RI.

“Dan pada tahap itu, tumpahan minyak tersebut akan mengalami pelapukan, dipecah menjadi kilau atau serpih yang relatif tipis, di permukaan laut. Sehingga jaraknya agak jauh dari garis pantai,” kata Roberts.

Sementara itu hakim di Pengadilan Federal Australia saat ini sedang mempertimbangkan apakah akan menyidangkan gugatan class action atau tidak, meskipun penggugat sebenarnya telah kehabisan waktu.

UU di negara bagian Northern Territory Australia yang berlaku dalam kasus ini. Biasanya gugatan class action haruslah diajukan dalam kurun waktu tiga tahun setelah kejadian.

Namun, UU ini juga memungkinkan adanya diskresi. Gugatan class action ini akan berlanjut jika hakim menyetujui pendapat bahwa Daniel Sanda tidak tahu hak-hak hukumnya. Atau bahwa penggugat tidak tahu rincian kasus yang terjadi di Laut Timor sampai dia diwawancarai secara resmi oleh Phelps pada tahun 2015.

Bagi para nelayan rumput laut NTT, ini merupakan masa menunggu. Inilah kesempatan terakhir bagi mereka untuk didengarkan kasusnya.

Phelps mengatakan bahwa dia dan para nelayan rumput laut tidak berpikir kemungkinan kalah.

“Saya diyakinkan oleh fakta bahwa ketika mengunjungi klien kami sekarang… hal utama (yang mereka katakan) adalah ‘Anda mengingat kami, Anda datang dan memperjuangkan nasib kami’,” kata Phelps mengutip ungkapan para nelayan NTT.

Diterbitkan Kamis 31 Agustus 2017 oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC Australia di sini.