Remaja Indonesia Faye Simanjuntak Melawan Prostitusi Anak Sejak Usia Belia
Muda dan pintar tampaknya tak cukup untuk menggambarkan sosok Faye Simanjuntak, gadis Indonesia 15 tahun yang baru-baru ini menjadi finalis ‘Children Peace Prize’ di Den Haag, Belanda.
Di bawah bendera ‘Rumah Faye”, ia berusaha melawan prostitusi anak di bawah umur dengan semangat edukasi.
Terlahir dari keluarga yang mampu memberikannya pendidikan berkualitas, Faye Simanjuntak tergelitik untuk berbuat sesuatu ketika ia mengetahui tak semua anak memiliki kesempatan yang sama seperti dirinya.
Menurut pengakuan Faye, kepedulian sosial yang dimilikinya itu memang tak datang begitu saja.
“Ketika umur saya lebih muda, orang tua saya mengajak saya pergi ke panti asuhan, membawa sembako dan pakaian untuk anak-anak di sana. Jujur saja, dulu saya merasa takut. Saya maunya tinggal di rumah dan tidur.”
“Saya tak mau memikirkan orang lain,” tutur gadis berkacamata ini.
Waktu-lah yang akhirnya menyadarkan Faye untuk bergerak dan mengamati kondisi lingkungan di sekitarnya.
“Seiring berjalannya waktu saya mulai sadar betapa beruntungnya saya terlahir di tengah keluarga yang membesarkan saya.”
“Lalu saya tergelitik, ‘apa yang bisa saya perbuat dengan semua yang saya punya?,” ujar cucu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman RI, Luhut Pandjaitan, ini.
Saat itulah Faye mengetahui informasi tentang prostitusi anak dan merasakan ketertarikan pada isu tersebut.
Dengan dukungan sang ibu, Faye lantas mendirikan Rumah Faye, organisasi non-profit yang memberikan edukasi kepada korban prostitusi, perdagangan, dan kekerasan seksual terhadap anak.
“Motivasi saya mendirikan Rumah Faye adalah gadis-gadis yang diperdagangkan itu,” kata remaja yang masih mengutamakan sekolah ini kepada Nurina Savitri dar ABC Indonesia.
Ia-pun tak gentar ketika beberapa orang meragukan kemampuannya hanya karena usianya yang belia.
“Orang selalu bilang kalau saya terlalu muda untuk menjadi pendiri Rumah Faye.”
“Kita pakai logika yang sama juga, bukankah gadis-gadis sebaya saya ini juga terlalu muda untuk dijual ke dunia prostitusi?,” tanyanya.
Faye menuturkan, dari pengamatannya, kondisi keuangan yang tidak stabil-lah yang menjadi alasan mengapa seorang anak bisa terperosok ke dunia prostitusi atau diperdagangkan.
“Yang pertama tentu stabilitas keuangan. Ini juga dibarengi dengan kurangnya kesempatan pendidikan dan pelatihan, belum lagi trauma yang dirasakan.”
Ia berpendapat, generasi muda adalah masa depan Indonesia mengingat saat ini jumlah anak berkontribusi hampir setengah dari total populasi Indonesia.
“Tapi, karena kondisi ekonomi yang buruk, banyak yang tak bisa bersekolah atau melanjutkan sekolah.”
“Akibatnya, banyak anak, khususnya perempuan, lebih berisiko untuk diperdagangkan, dipaksa menikah dini atau menjadi korban kekerasan seksual agar menghasilkan uang untuk keluarga mereka,” jelas gadis 15 tahun yang hobi menyelam ini.
Faye percaya pendidikan memainkan peran penting dalam pencegahan prostitusi anak di Indonesia.
“Saya sejujurnya berharap Rumah Faye tak ada lagi. Tak ada kebutuhan bagi kami untuk melawan pembelian dan penjualan anak lagi.”
“Tapi saya pikir ini tak mudah terwujud dalam waktu dekat. Sekarang ini saya percaya pendidikan adalah kunci untuk mencegah prostitusi anak.”
Rumah Faye yang ia dirikan sekitar empat tahun lalu itu, kini, telah memiliki satu tempat penampungan atau rumah aman di Batam, Kepulauan Riau, dan menampung 5 anak perempuan korban perdagangan anak dan kekerasan seksual.
“Saya baru di sini satu bulan. Saya tinggal di sini selama 24 jam. Selain belajar, saya juga mengikuti konseling. “
“Saya baru akan keluar dari sini (Rumah Faye) tahun depan, kalau program yang saya ikuti sudah selesai,” ujar Uti (bukan nama sebenarnya), 17 tahun, salah satu anak korban kekerasan seksual yang dibimbing Rumah Faye.
Di organisasi yang didirikannya itu, finalis “Children Peace Prize” 2017 di Den Haag, Belanda, ini tak hanya terlibat dalam kegiatan kampanye, tapi juga berinteraksi langsung dengan para korban.
“Ia (Faye) akan menjadi pembicara baik untuk program penyadaran RF atau atas undangan organisasi lain. “
“Faye juga memberikan dukungan dan perhatian pada anak-anak yang berada di rumah aman, bertemu, bercakap dan berbagi dengan mereka,” kata Carla Natan, mantan manajer program di Rumah Faye.
Bakat kepemimpinan Faye sendiri tak lepas dari peran sang ibu, yang disebutnya sebagai sosok pendukung terbesar.
Uli lalu menceritakan pola asuh yang ia terapkan untuk sang buah hati.
“Saya selalu memperlakukan Faye sebagai partner (mitra) bukan sebagai anak, jadi dari kecil dia sudah berpikir untuk memutuskan sesuatu.”
” Tentunya dengan bantuan saya. Tapi saya menggiring dia selalu berpikir untuk dirinya dan bukan “kata mama’.”
Baru-baru ini, Faye dinobatkan sebagai satu dari 50 warga Asia yang melejit oleh koran “Strait Times” di Singapura.
Meski panen penghargaan, di mata sang ibu, Faye tetaplah anak-anak.
“Jangan salah, ia tetap anak-anak. Jadi tetap berbuat kesalahan tapi saya mencoba membuat mereka untuk tahu dan menyadari kesalahan mereka,” sebut Uli.
Berusia belia, Faye justru memiliki pemikiran cukup matang ketika menyangkut isu perempuan.
Tengok jawaban Faye ketika diminta berandai-andai untuk menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak.
“Kalau saya tak punya oposisi, pertama-tama saya akan menghapus tes keperawanan terhadap perempuan yang mendaftar sebagai tentara.”
“Kedua, saya akan mengupayakan pendidikan seksual yang lebih baik di kurikulum nasional,” tuturnya.