ABC

Ramadhan di Melbourne, Ramadhan di Indonesia

Pengalaman ramadhan bagi anda yang menjalani memiliki perbedaan antar negara. Pasiningsih baru saja kembali dari Australia setelah menempuh pendidikan master selama dua tahun di Melbourne. Pengalaman apa saja yang dirasakannya yang berbeda dengan Indonesia? Berikut tulisannya untuk Australia Plus

Ada yang berbeda pada bulan ramadhan kali ini. Setelah dua tahun merasakan ramadhan dan lebaran di Melbourne, Australia, akhirnya tahun ini saya kembali bisa merasakan ramadhan di tanah air karena studi S2 saya di Monash University, Australia, telah selesai.

Pengalaman ramadhan di negara kanguru, tentu saja memberi kesan tersendiri. Sama seperti Islam yang merupakan agama minoritas di Eropa dan di Amerika, kondisi Islam di Australia tidak jauh berbeda.

Sebagai salah seorang penganut agama Islam, hal tersebut membuat saya harus menyesuaikan diri ketika pertama kali berpuasa di Australia.

Betapa tidak? Sebagai salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, di Indonesia kumandang suara adzan di masjid sering terdengar sampai ke rumah saya, termasuk adzan maghrib yang ditunggu-tunggu sebagai penanda berbuka puasa.

Sedangkan di Australia?

Saya harus puas mendengarkan suara adzan hanya dari aplikasi adzan yang ada di smartphone.

Itupun terkadang ada perbedaan waktu adzan antara aplikasi yang ada di telepon genggam saya dengan milik teman yang sempat membuat kami bingung mau mengikuti aplikasi yang mana.

Pengalaman yang membuat saya tersenyum ketika teringat masa-masa itu.

Tentu saja ada beberapa masjid di Melbourne, salah satunya adalah masjid Westall yang bisa saya jangkau dengan naik kereta dari tempat tinggal saya di Clayton.

Berbeda dengan di Indonesia, dimana saya cukup berjalan kaki untuk ke masjid.

Untuk makanan sahur, jangan harap ada banyak warung yang bertebaran di saat sahur di Australia, seperti yang ada di Indonesia.

Tidak ada pula deretan penjual kolak, es buah, gorengan ataupun menu takjil buka puasa di jalanan Australia layaknya di Indonesia.

Tapi ada enaknya berpuasa di Australia. Dua tahun di sana, bulan ramadhan selalu jatuh di musim dingin.

Sehingga hawa dingin membuat saya tidak mudah haus dan lapar.

Waktu berpuasapun lebih singkat. Di Indonesia, waktu berpuasa biasanya mencapai 13 jam sedangkan di Australia hanya sekitar 11, 5 jam.

Meskipun saya minoritas, toleransi antar umat beragama sangat saya rasakan ketika di Australia.

Pasiningsih (kanan) bersama Nur Fadilah dan Retno Jatu di Mesjid Noble Park Victoria
Pasiningsih (kanan) bersama Nur Fadilah dan Retno Jatu di Mesjid Noble Park Victoria

Foto: Istimewa

Di supermarket seperti di Coles, biasanya ada banner “Marhaban ya Ramadhan”.

Tulisan sederhana tapi memberi kesan mendalam karena saya melihat inisiatif baik dari pengelola supermarket yang menghormati keyakinan saya.

Di bulan puasa, jumlah jam kerja di Australia memang tidak berkurang.

Tetapi, toleransi antar umat beragama juga saya rasakan di restaurant, dimana saya bekerja paruh waktu.

Setiap puasa, manager tempat saya bekerja yang beretnis China dan berasal dari Indonesia, mengijinkan saya untuk menggunakan gudang sebagai tempat shalat.

Dia juga mengingatkan salah satu rekan kerjanya untuk tetap memberikan jatah makan kepada saya untuk saya bawa pulang ketika berpuasa.

Bahkan salah satu rekan kerja saya yang berasal dari Vietnam mengucapkan kata “Ramadhan” ketika dia tahu saya puasa.

Perkataan singkat tetapi membuat saya tertawa dan berterima kasih kepadanya sebagai apresiasi karena dia tahu salah satu ritual di agama saya.

Karena pengalaman-pengalaman di atas, ketika kembali ke Indonesia, saya lebih bisa menahan keluhan ketika shalat tarawih ataupun ceramah di masjid berlangsung agak lama.

Ternyata, hal-hal yang gampang saya jumpai ketika ramadhan di Indonesia dan dulunya take it for granted bisa menjadi hal yang langka dan dirindukan ketika menjadi minoritas. Benar kata pepatah, kita baru bisa menghargai sesuatu ketika kehilangan.

Pengalaman berpuasa di Australia juga membuat saya sedikit paham bagaimana rasanya menjadi minoritas karena saya pernah mengalaminya.

Saya juga belajar mawas diri agar tidak merasa lebih tinggi dari orang lain hanya karena menjadi bagian dari mayoritas.

* Tulisan ini adalah pendapat pribadi. Pasiningsih adalah guru Taman Kanak-Kanak Fastrack Funschool, Yogyakarta dan Alumni Monash University Australia, jurusan Master of Education in Early Childhood Education.