Ramadan di Australia: Musim Dingin Cepat Lapar
Apakah ramadan di musim dingin seperti sekarang di Australia "lebih enak"? Bagi Ahmad Imam Mujadid Rais, seorang mahasiswa pasca sarjana Universitas Melbourne, musim dingin malah membuat perut lebih cepat keroncongan. Menu buka puasa es buah atau minuman dingin lainnya juga tidak begitu menggiurkan.
Bagaimana suasana menjalani ibadah puasa Ramadan di negeri Kangguru, tepatnya di Melbourne? Tidak ada suasana puasa–karena akan bertemu orang-orang yang bebas makan-minum, tidak ada juga pariwara produk-produk yang mendadak penuh cita rasa islami selama Ramadan yang berseliweran di TV, cuaca yang berbeda, menyimpan makanan sebagai bekal sahur dan buka, serta jauh dari keluarga adalah sebagian suasana Ramadan yang dijalani di rantau.
Dalam suasana seperti ini, menghayati nilai-nilai puasa menjadi jauh lebih bermakna. Puasa menjadi sesuatu yang sangat personal. Tahun ini insya Allah tahun kedua saya menjalankan ibadah puasa Ramadhan di Melbourne. Apa saja suka duka menjalankan ibadah puasa selama di rantau?
-
Tinggal jauh dari keluarga
Ramadan adalah waktunya untuk memperbanyak kumpul dengan keluarga. Di Indonesia sendiri ada tradisi untuk berkumpul dengan keluarga di hari pertama puasa. Bahkan ada tradisi nyadran di sebagian masyarakat Jawa. Bagi kami yang tinggal merantau di Australia, keinginan untuk berkumpul dengan keluarga demikian mengharu biru. Apa daya, keinginan itu kami lampiaskan hanya dengan menelpon orang tua dan handai taulan sehari atau dua hari menjelang puasa untuk sekedar mengucapkan selamat berpuasa dan memohon maaf bila ada kesalahan. Apalagi biasanya di hari pertama puasa, kami berkumpul untuk buka bersama. Menunya tentu saja beragam. Saking beragamnya sering kali berlebih dan bingung mau menyantap apalagi karena sudah kenyang. Nah, saat di Melbourne, saya merindukan suasana guyub seperti ini.
-
Cuaca
Sama halnya dengan tahun lalu, Ramadan kali ini jatuh saat musim dingin (Winte). Dari sisi waktu puasa, sebenarnya ini lebih mudah dibanding bila puasa saat musim panas (Summer). Saat Winter, waktu siang lebih pendek. Subuh jam 6.02 sedang jam 5.08 sudah maghrib. Sedang saat summer, kita bisa sahur pukul 6 dan buka puasa saat pukul 9 atau 10 malam. Namun karena suhu lebih dingin dan angin Melbourne yang menggigit, rasa lapar lebih cepat menyerang. Selain itu, saat Sahur, bila makanan atau minuman tidak cepat-cepat kita santap, dapat dipastikan akan lebih cepat dingin. Di tengah kantuk yang menerpa, makan makanan yang dingin dapat dipastikan menghilangkan selera makan kita. Pas buka, karena cuaca yang dingin, menu es buah atau minuman dingin yang umum ditemui di tanah air pun harus dicoret daftar—bila kita tidak ingin terserang batuk dan flu.
Di Melbourne, banyaknya kedai makanan untuk khusus warga Muslim banyak membantu di kala Ramadan. (Photo: Sastra Wijaya)
3. Menu makanan
Namun di Melbourne, kami harus punya stok untuk keperluan buka puasa dan sahur untuk beberapa hari ke depan. Sebenarnya, beberapa komunitas Muslim di Melbourne menyediakan menu buka puasa di masjid-masjidnya. Namun jarak yang berjauhan serta menu yang tergantung dari Negara mana komunitas itu berasal, menjadi kendala. Umumnya Muslim Australia berasal dari Timur Tengah, India, Pakistan serta Afrika. Jadi menu yang disediakan biasanya khas negeri-negeri tersebut. Pengalaman saya ketika berbuka di Masjid Jeffcott di dekat Flagstaff Garden misalkan, menu berbukanya kurma dan air mineral. Serta untuk makan malamnya daging kari sepotong dan irisan kubis sebagai sayurnya.
Salah satu faktor yang membuat kita semangat ketika sahur dan berbuka adalah menu makanannya. Harus bangun untuk sahur di tengah musim dingin akan lebih maknyus bila dibarengi dengan menu yang memancing selera. Ini salah satu kendala tersendiri tinggal di rantau; susah-susah gampang untuk mendapatkan menu khas Ramadan untuk keperluan sahur dan berbuka. Di Indonesia, dengan mudahnya kita temui penjual kolak pisang, ubi, gorengan, di perempatan jalan.
Beberapa komunitas Muslim Indonesia di Melbourne biasanya juga menyediakan buka bersama di akhir pekan. Hal ini ditemukan di Surau Kita, Masjid Westall dan Baitul Makmur, Laverton. Menu yang disediakan pun khas Indonesia.
4. Suasana
Jangan bayangkan di Melbourne akan mendengar teriakan dan nyanyian anak-anak muda yang membangunkan untuk sahur dengan alat-alat tabuhan atau bahkan soundsystem yang memekakkan telinga seperti terjadi di kampung-kampung di Indonesia. Jangan bayangkan pula ada kumandang adzan atau tahrim yang membuat kita lebih khusyu’ beribadah serta menjadi penanda waktu sholat dan waktu berbuka. Tidak ada pasar kaget yang menjual aneka jajanan untuk menu berbuka. Bila keluar rumah pun akan lebih banyak kita temui orang-orang yang hilir mudik makan dan minum. Tentu tidak perlu kita shock dengan suasana baru ini karena memang beginilah suasana sehari-hari di Melboure dan kebanyakan kota lainnya di Australia. Suasana seperti ini justru menjadi tantangan bagi yang menjalankan puasa. Bahkan membuat kita lebih khusyu’ beribadah. Selain itu, persaudaraan di antara masyarakat Indonesia juga begitu terasa kental di tanah perantauan ini. Apalagi ketika mengadakan buka bersama, baik di Konjen atau di beberapa komunitas Indonesia.
Selain itu, menjelang Idul Fitri, tidak akan ada takbiran di malam harinya serta suasana mudik yang hiruk pikuk; antrian di stasiun, kemacetan yang berlangsung lebih dari 24 jam. Namun, ketiadaan keluarga inti saat merayakan Idul Fitri di rantau akan ‘tergantikan’ saat Shalat Idul Fitri berjamaah. Usai shalat dan mendengar ceramah, satu kita bisa langsung bermaaf-maafan setelah sholat Ied sambil menyantap menu khas lebaran yang telah disediakan. Itulah keluarga besar kita di rantau, yang kehadirannya mengobati kerinduan keluarga di tanah air.
* Tulisan ini adalah pendapat pribadi. Ahmad Imam Mujadid Rais adalah mahasiswa Pasca Sarjana di Universitas Melbourne.