ABC

Radikalisme Berbalut Pendidikan Sudah Menyasar Anak Usia Dini di Indonesia

Radikalisme berbalut pendidikan sudah menyasar anak usia dini di Indonesia, demikian menurut beberapa pengamat dan mereka yang menangani masalah penanggulangan radikalisme.

Poin Utama Radikalisme

Poin utama:

  • Radikalisme makin menyasar usia yang lebih dini
  • Temuan pakar terorisme menyebut, kaderisasi bahkan sudah dilakukan di tempat pengasuhan bayi dan anak (daycare)
  • Pendekatan untuk menangkal radikalisme harus diubah

Oleh karena itu disarankan untuk melepaskan pendekatan model lama guna menangkal hal tersebut.

Bagas (bukan nama sebenarnya) adalah seorang ayah dari satu putri berusia 9 tahun yang tinggal di Yogyakarta. Pada suatu malam, ulah sang putri -Anya (juga bukan nama sebenarnya) -mengagetkannya.

“Malam-malam, Anya tiba-tiba (me)nangis ketakutan.”

“Dia bilang ‘Pah…nanti kalau Palestina diserang Israel, kita juga ikut mati enggak Pah?’,” cerita Bagas kepada ABC Indonesia menirukan pertanyaan polos putrinya.

Berusaha tetap tenang, Bagas lalu menanyai sang putri perihal asal-muasal pertanyaan itu.

Jawaban Anya makin membuat dirinya terkejut.

Pria wiraswastawan ini menuturkan, sang putri mengetahui informasi soal konflik Israel-Palestina dari gurunya di sekolah.

Anya bersekolah di sebuah sekolah dasar Islam yang berjargon sebagai sekolah pencetak Hafizh Qur’an. Di situs resminya, sekolah ini mengklaim telah memiliki 80 cabang di belasan provinsi Indonesia.

Kekagetan Bagas malam itu sebenarnya puncak dari segala pertanyaan yang ada di kepalanya selama ini mengenai sekolah sang putri.

Kepada ABC ia mengatakan dirinya sendiri sudah sejak lama memendam keheranan terhadap sekolah putrinya itu.

Namun ia mengaku tak bisa memindahkan Anya dari sekolah tersebut lantaran urusan pasca perceraian yang membuat Anya berada dalam pengasuhan sang ibu, dan hanya sesekali tinggal bersamanya.

“Enggak ada bendera Merah Putih,” ujar Bagas.

Ia lalu menambahkan, sekolah Anya juga tetap masuk pada hari libur nasional yang berkaitan dengan hari perayaan agama lain di luar Islam.

Bagas melanjutkan ceritanya. “Saya pernah berkirim pesan dengan salah satu guru (Anya). Dan dia pakai logo bendera HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) sebagai foto profilnya.”

Anti-Pancasila

Seorang anak teroris ISIS yang terpapar paham radikalisme sejak dini.
Seorang anak teroris ISIS yang terpapar paham radikalisme sejak dini.

Supplied

Di Yogyakarta pula, tepatnya di Universitas Gadjah Mada, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), Suhardi Alius, pernah menyampaikan perkembangan radikalisme di Indonesia.

“Radikalisme sudah masuk ke mana-mana. Ada anak PAUD (pendidikan anak usia dini) yang tidak mau diajak orang tua ke mal karena menganggap orang lain itu kafir,” kata Suhardi dalam pidatonya di kampus itu, September tahun lalu.

Radikalisme, sebutnya, bisa diidentifiksi dari perilaku dan sikap yang intoleran, anti-Pancasila, dan anti-NKRI.

Penganut radikalisme biasanya juga menganut aliran takfiri atau mengkafirkan orang lain yang tidak sepaham dengan kelompok mereka.

Mengenai penyebaran radikalisme di kalangan anak usia dini, Kepala BNPT itu mencontohkan pengakuan dari keluarga pelaku bom bunuh diri di Surabaya, Mei 2018 lalu.

Pendapat tersebut dikemukan Suhardi berdasarkan pengalaman BNPT dalam memeriksa napi mantan teroris, bahkan anggota keluarga teroris yang masih hidup.

“Dari hasil pemetaan psikologis, anak dari mantan keluarga pelaku bom bunuh diri di Surabaya ini memiliki keinginan kuat menjadi mujahid, anti-Pancasila, anti-merah putih, rindu bertemu orang tuanya di alam lain.”

“Ia kangen menonton aksi-aksi kekerasan saat bersama orang tuanya dulu,” papar Suhardi.

BNPT juga membenarkan perihal meluasnya paham radikalisme ke berbagai jenjang pendidikan di Indonesia.

Ditemui ABC dalam sebuah diskusi menyoal ancaman terorisme di Jakarta (30/7/2019), Deputi Kerjasama Internasional BNPT, Andhika Chrisnayudanto, mengatakan lembaganya memang mendeteksi masuknya radikalisme melalui jalur pendidikan, bahkan yang sifatnya non-formal.

“Orang yang tidak ikut pendidikan formil kemudian sekolah di rumah, ini juga dipakai untuk proses radikalisasi itu sendiri.”

“Banyak kejadian yang sudah kita lihat. Cuma apakah ini menjadi sesuatu tindak pidana, ini kan harus kita mengumpulkan bukti lagi,” terangnya.

Pendekatan lama harus ditinggalkan

Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian (IIPB) dan salah satu dosen tamu di Rajaratnam School of International Studies Nanyang Technological University Singapura, Noor Huda Ismail, mengatakan para jihadi yang terafiliasi dengan paham radikalisme, pada dasarnya menggunakan dua hal untuk menyebarkan ajaran mereka, dakwah dan jihad.

Permasalahannya dengan dakwah, menurut Noor Huda, kelompok radikalis menggunakan sarana yang legitimate (sah), seperti pondok pesantren.

Radikalis, yang banyak bertransformasi menjadi teroris, begitu rapi dalam melakukan proses rekrutmen dan kaderisasi di tengah masyarakat umum.

“Jadi jika ada salah satu pemimpin yang tertangkap, cepat atau lambat mereka akan menggantinya, karena mereka punya proses produksi dan reproduksi jihad lewat begitu banyak public domain (ranah publik) yang tak bisa kita tindak.”

“Karena mereka selalu hidup di area abu-abu. Contohnya, sekolah.”

Noor Huda Ismail (berkacamata) dalam sebuah diskusi mengenai terorisme di Jakarta (30/7/2019).
Noor Huda Ismail (berkacamata) dalam sebuah diskusi mengenai terorisme di Jakarta (30/7/2019).

ABC; Nurina Savitri

Berbicara dalam sebuah diskusi terorisme yang sama dengan Andhika Chrisnayudanto di Jakarta (30/7/2019), Noor Huda memaparkan, setelah Bom Bali, ada sekitar 50 sekolah yang berafiliasi dengan Jemaah Islamiyah (JI) yang ada di Indonesia.

“Tapi sekarang jumlahnya bisa saja berlipat ganda karena sekarang kaderisasi mereka dimulai dari usia yang bahkan jauh lebih muda, bahkan di lingkungan tempat penitipan bayi.”

“Ada tempat penitipan yang dikelola oleh ibu-ibu JI, jadi sosialisasi untuk menjadi sosok yang spesifik ini dimulai dari usia yang sangat dini,” ujar doktor lulusan Monash University ini.

Ia mengatakan masyarakat umum tidak akan mampu mengenali sosok yang terkait dengan JI di balik tempat pengasuhan tersebut.

“Tapi dari ngobrol dengan orang-orang di dalam JI, kita tahu. Dan sebenarnya program JI itu kan hanya ingin menjadikan orang-orang ini sosok yang berguna bagi agama dan bangsa.”

“Kalau di sekitaran Jakarta, ada di Depok, ada di Bekasi. Anda tak bisa benar-benar membedakan apakah ini daycare JI atau bukan, enggak bisa.”

Noor Huda menekankan, sosialisasi yang dilakukan kelompok ini terhadap anak-anak usia dini sangatlah halus, melalui dakwah dan doa.

“Pelan-pelan lewat hafalan Al-Quran tapi jelas mereka tidak merayakan perbedaan. Misalnya mereka hanya bergaul dengan kelompoknya saja.”

Terlepas dari hal itu, kelompok ini juga menawarkan gaya hidup baru seperti salon perempuan, usaha fashion Islami, percetakan dan bahkan biro jodoh, kata Noor Huda.

Karenanya, menurut Noor Huda, pendekatan yang dilakukan terhadap kelompok radikalis harus diubah.

Mereka harus menjadi agen perdamaian itu sendiri.

Ia lalu menganalogikan pendekatan ini dengan mantan perokok.

Mantan perokok, katanya, akan lebih kuat menyebarkan pesan anti-merokok ketimbang mereka yang tak pernah merokok.

“Dorong mereka untuk berbicara mengenai alasan mereka untuk hidup. Kenapa? Karena sebagian besar teroris yang pernah saya ajak ngobrol, mereka tak terlahir demikian.”

“Tak ada yang terlahir sebgai teroris. Ada proses menuju ke sana, dan seharusnya ada proses untuk meninggalkannya.”

Simak berita terkait studi, kerja, dan tinggal di Australia hanya di ABC Indonesia dan bergabunglah dengan komunitas kami di Facebook.