ABC

Putri Gus Dur Bahas Ayahnya di Melbourne

Dalam hidup jadilah orang yang lucu, karena humor itu bisa mendekatkan satu manusia dengan yang lainnya. Juga dalam hidup jangan terlalu banyak marah-marah.

Demikian hal yang terungkap dari Inayah Wulandari putri mantan Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam kuliah tahunan mengenang almarhum ayahnya yang diselenggarakan di Monash University Melbourne hari Sabtu (2/12/2017).

Kuliah tahunan yang kali ini mengambil tema “Minority Rights and Pluralism in Australia dan Indonesia: Lessons from KH Abdurrahman Wahid’s Legacy (Hak Minoritas dan Pluraslime di Australia dan Indonesia: Pelajaran dari Peninggalan KH Abrurrahman Wahid) diselengarakan oleh Pengurus Cabang Istimewa NU Australia dan Selandia Baru.

Selain Inayah Wahid yang menjadi pembicara dalam kuliah tahunan yang kedua ini juga Duta Besar RI untuk Australia Kristiarto Legowo dan Prof Tim Lindsey, pakar hukum Asia dari University of Melbourne.

Dalam kuliah yang dihadiri puluhan peserta itu, Inayah mengatakan bahwa dia tidak akan membeberkan hal-hal berkenaan dengan ayahnya Gus Dur dari sisi yang serius.

“Biar para ahli di sini saja yang akan menjelaskan peninggalan Gus Dur dalam soal politik, budaya, atau yang lain. Saya hanya akan menggambarkan Gus Dur berdasarkan apa yang saya alami sendiri sebagai anaknya.” kata Inayah Wahid yang juga bermain sebagai tukang ojek di salah satu sinteron.

Inayah kemudian memberikan beberapa contoh mengenai sikap hidup yang dilakukan Gus Dur dalam kehidupan sehari-hari termasuk apa yang terjadi pada dirinya.

“Di satu hari, saya mengecat rambut saya pink (merah muda), dan sekembalinya ke rumah, semua saudara saya marah karena dianggap tidak pantas. Mereka kemudian mengadu ke Bapak, yang kemudian memanggil saya dan bertanya apakah saya sudah siap menerima resiko digunjingkan bahwa sebagai anak Gus Dur tidak pantas berambut pink. Saya menjawab ya, dan Gus Dur mengatakan kepada yang lain, bahwa ya sudah, anaknya sudah siap,” kata Inayah.

Selama hidupnya Gus Dur selain banyak memberikan pandangan soal budaya dan keagamaan, juga dikenal sebagai orang yang suka melucu, memiliki persediaan humor yang berlimpah.

“Yang penting adalah dalam hidup ini adalah menjadi lucu, karena humor bisa mendekatkan kita semua,” kata Inayah.

Juga disebutkan oleh putri bungsu Gus Dur tersebut, bahwa dalam situasi kehidupan di Indonesia saat ini, menjadi relevan untuk tidak melihat semua peristiwa dari sisi negatif sehingga semua hal ditanggapi dengan marah.

“Sekarang kita lihat ada polarisasi di Indonesia, ada dua kelompok yang berbeda pandangan tajam dalam segala hal. Apa yang dilakukan oleh kelompok sebelah selalu ditanggapi dengan negatif oleh kelompok lainnya. Cara yang dilakukan oleh kelompok yang menanggapi kekonyolan kelompok sebelah juga sama buruknya,” kata Inayah lagi.

Berusaha ngopeni

Menurut Inayah setelah ayahnya meninggal di tahun 2009, keluarga yang ditinggalkan berusaha melanjutkan apa yang sudah dilakukan Gus Dur selama hidupnya yaitu ‘mengopeni’ orang banyak.

Mengopeni adalah istilah dalam bahasa Jawa yang artinya memberikan perhatian kepada orang lain yang membutuhkan perhatian.

“Gus Dur banyak disebut sebagai ‘orang yang memiliki satu jiwa namun memiliki energi 1 juta.” Yang kami lakukan adalah karena tidak mungkin menciptakan Gus Dur lagi adalah menciptakan energi di banyak orang.”

“Itulah yang kami lakukan dengan Gerakan Gus Durian, gerakan sejuta orang, menciptakan simpul-simpul dimana-mana yang bisa mempersatukan kita semua,” kata Inayah lagi.

Menurut Inayah, Gus Dur, dalam pandangannya bukanlah tokoh pluralisme atau tokoh yang membela hak kelompok minoritas.

“Gus Dur membela kemanusiaaan, membela kelompok yang dilemahkan, Gus Dur ingin semua orang bisa menjadi diri mereka sendiri, karena itulah menurutnya merupakan jalan ke perdamaian.”

Dubes Indonesia untuk Australia Kristiarto Legowo memberikan pandangannya mengenai Gus Dur di Monash.
Dubes Indonesia untuk Australia Kristiarto Legowo memberikan pandangannya mengenai Gus Dur di Monash.

Foto: Sastra Wijaya

Sementara itu Dubes Kristiarto Legowo dalam pidatonya melihat apa yang dilakukan Gus Dur ketika menjabat Presiden RI tahun 1999-2001 menjadi peninggalan yang terus dikenang dan dihormati sampai saat ini.

“Bagi saya Gus Dur adalah bapak pluralisme Indonesia. Gus Dur tidak hanya memperhatikan keadaan kelompok minoritas, namun dia juga memastikan minoritas mendapat perlakuan yang sama di Indonesia,” kata Kristiarto Legowo.

Keputusan Gus Dur untuk mengakui Kong Hucu sebagai agama, mengijinkan kembali kesenian Tionghoa dan perayaan Imlek sebagai hari nasional dan juga penggantian nama Irian menjadi Papua menjadi contoh dari apa yang dilakukannya terhadap kelompok minoritas di Indonesia.

Dubes Kristiarto kemudian bergurau dengan mengatakan bahwa juga mengikuti petunjuk Gus Dur.

“Istri saya juga adalah keturunan Tionghoa,” katanya.

Sementara Prof Tim Lindsey membeberkan mengenai apa yang dilihatnya sebagai meningkatnya sikap intoleransi Indonesia yang bertentangan dengan apa yang selama ini diperjuangkan oleh Gus Dur.

Tim Lindsey mengupas mengenai peraturan hukum di Indonesia yang masih saling bertentangan satu sama lain soal kebebasan beragama termasuk penganut kepercayaan.

“Di salah satu pasal UU ada pasal yang memberikan kebebasan warga untuk menganut agama atau kepercayaan namun di sisi lain ada peraturan tambahan yang mengatakan bahwa negara bisa mengatur kebebasan itu sesuai dengan kondisi yang ada,” katanya.

Menjawab pertanyaan mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia baru-baru ini yang mengijinkan penganut kepercayaan mencantumkan keterangan di KTP, Prof Tim Lindsey mengatakan bahwa pengakuan itu belum disertai dengan jaminan untuk melindungi mereka yang akan mencantumkan hal tersebut di KTP mereka.

“Ini berpotensi membahayakan mereka yang berani mencantumkan keterangan sebagai penganut kepercayaan di KTP mereka, namun bagaimana dengan jaminan perlindungan hukum bila ada sesuatu yang terjadi dengan mereka,” kata Prof Linsdey.

Mengutip berbagai data yang ada, menurutnya, tingkat intoleransi di Indonesia sekarang ini lebih buruk dibandingkan di masa pemerintahan Orde Baru.

“Kebanyakan konflik yang ada adalah konflik horisontal, antar kelompok masyarakat, bukan konflik vertikal antara aparatur negara dengan warga,” paparnya.