ABC

Punya Koleksi Ratusan, Ganda Marpaung Promosikan Busana Tradisional Indonesia Di Australia

Busana tradisional Indonesia sekarang banyak dipopulerkan antara lain oleh Presiden Jokowi dan di Melbourne, seorang warga asal Indonesia Ganda Marpaung juga melakukan hal yang sama.

  • Ganda secara otodidak belajar merancang busana Indonesia
  • Uniknya busana Indonesia mungkin tarik orang Australia belajar Bahasa
  • Industri busana Indonesia maju, fesyen tidak harus soal merk

Sudah 15 tahun sejak pindah ke Melbourne di tahun 1995 Ganda Marpaung mengoleksi dan memodifikasi pakaian adat Indonesia serta memperkenalkannya kepada orang-orang di Australia lewat pameran dan parade.

Melalui pameran mode sederhana di acara-acara komunitas Indonesia, laki-laki kelahiran Jakarta tersebut memamerkan pakaian yang mewakili lebih dari 20 propinsi di Tanah Air.

Di dalam rumahnya yang berlokasi 17 km dari kota Melbourne, Altona Meadows Ganda memiliki ruangan khusus untuk menyimpan pakaian daerah beserta pernak-pernik pameran mode.

Ganda Marpaung yang ditemui oleh wartawan ABC Indonesia Natasya Salim di rumahnya hari Senin (26/8/2010) lalu mengatakan tidak lagi dapat menghitung jumlah pakaian daerah yang kini tersimpan rapi dalam 20 buah petikemas bertuliskan nama-nama daerah yang diwakili.

“[Tentang jumlah baju] Wah, banyak sekali, ya, karena konsentrasinya ke parade, jadi untuk satu kali tampil minimal ada antara lima atau enam buah, paling sedikit lima, paling banyak 10 buah,” kata Ganda.

“Jadi kalau mau dihitung banyak sekali, saya tidak ingat jumlahnya.” ujar Ganda.

Hobi ini muncul setelah ia membuat sebuah kelompok tari bernama Nauli Dancer (Penari Nauli) di Melbourne yang membutuhkan pakaian khusus bagi para penarinya.

Semakin lama, minat Ganda dalam dunia perancangan busana semakin berkembang dan kini, karyanya sering dipamerkan di panggung acara komunitas Indonesia di Victoria, Australia.

Belajar desain sendiri

Sejak 1997, Ganda sudah menempuh pendidikan di tiga institut berbeda di Adelaide (Australia Selatan) dan Melbourne, namun tidak ada satu pun mata pelajaran yang berbau seni.

“Saya belajar Bisnis dan Perbankan di Universitas RMIT dan saya sarjana dari Universitas Swinburne mempelajari Akuntansi,” katanya.

“Jadi tidak ada pelajaran desain. Semua ilmu desain belajar sendiri.” katanya.

Dalam proses produksi pakaian, Ganda pun tidak bekerja sendiri. Untuk urusan menjahit, ia dibantu oleh ibunya di Indonesia yang dulu bekerja sebagai peragawati profesional.

“Semua yang berurusan dengan menjahit saya kirimkan ke Indonesia. Kebetulan mama saya mengerti masalah baju-baju. Jadi untuk masalah itu dia lebih mengerti daripada saya.”

Ibunya pun seringkali memberikan masukan agar busana yang Ganda rancang dapat terlihat lebih indah.

Ganda Marpaung dengan koleksi pakaian
Ganda Marpaung sejauh ini sudah memiliki koleksi busana dari 20 provinsi di Indonesia.

Foto: ABC Indonesia

Walau tidak menjahit, semua ide modifikasi pakaian muncul dari benak Manager Acara di Hotel Sofitel, Melbourne, Australia ini.

Inspirasinya datang dari pakaian-pakaian yang dikenakan para model di acara pameran mode yang ia tangani, termasuk juga acara besar seperti Miss Universe Australia.

“Dari acara itu saya dapat inspirasi banyak. Misalnya mereka memakai gaun malam, terus saya pikir, ‘Ini kalau dimodifikasi ke baju Kalimantan bagus nih,'” ujar Ganda.

“Baru di rumah saya gambar dan lalu produksi.”

Karena diproduksi di Indonesia, baju beserta hiasan kepala berukuran besar dari sana harus ia bawa secara langsung ke Australia tanpa mengandalkan jasa angkut barang.

Dalam satu tahun, Ganda kembali ke Indonesia paling tidak satu kali.

“Saya bawa di dua atau tiga koper setiap kali pulang [ke Indonesia]. Harus hati-hati sih membawanya, takut [hiasan kepala] patah atau rusak karena rapuh sekali.”

Busana perempuan masih favorit

Meski sudah ada ratusan busana rancangan sendiri, Ganda belum pernah membuat busana daerah untuk laki-laki.

Ia mengatakan lebih suka membuat busana wanita karena pada umumnya memberikan lebih banyak ruang untuk berkreasi.

“Kalau yang wanita lebih banyak detailnya dan bisa lebih banyak dimodifikasi,” kata Ganda antusias.

Ruang kerja Ganda
Ganda mengatakan sering mengerjakan memodifikasi pakaian dan merangkai perhiasan sembari menonton televisi di ruang tamunya.

Foto: ABC Indonesia

Kalau busana laki-laki terlalu dimodifikasi maskulinnya hilang dan jadinya lebih ke feminim.”

Ganda merasa bangga karena koleksi busana wanitanya dapat dipertontonkan di acara Festival Indonesia Raya 17 Agustus 2019 baru-baru ini yang dihadiri ratusan orang di Melbourne.

“Mengesankan acara Festival Indonesia Raya di Queensbridge itu karena dilihat kurang lebih 500 orang penonton,” ucap Ganda kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.

“Dan setiap orang pegang ponsel mereka dan foto-foto. Jadi saya merasa ‘Wow, mereka tertarik dengan baju-baju yang saya bawakan.'”

Fesyen bukan soal merk

Ganda mengatakan bangga melihat perkembangan industri busana di Indonesia dengan perancang busana yang mulai menyertakan elemen kebudayaan dalam rancangan mereka.

Namun, ia prihatin melihat orang-orang Indonesia yang masih berpikiran bahwa merk luar negeri yang terkenal lebih baik daripada produk lokal.

“Kebudayaan Indonesia itu kaya, orang non-Indonesia saja suka dengan barang-barang Indonesia,” ucap Ganda berbicara dari pengalaman.

“Kenapa kita sebagai orang Indonesia sendiri tidak bangga memakai barang-barang hasil dari kebudayaan Indonesia sendiri?”

Ganda dengan peragawan busana
Kesempatan mempertontonkan busana karyanya di acara Festival Indonesia Raya 2019 menjadi kebanggaan tersendiri bagi Ganda.

Foto: supplied

Menurutnya, tidak harus menggunakan merk terkenal untuk tahu banyak tentang dunia busana atau fesyen.

“Untuk mengetahui tentang fesyen, tidak cuma harus pakai barang-barang bermerk Paris, misalnya.”

Selain adalah hobi, kegiatan ini juga adalah upaya Ganda untuk mengenalkan budaya Indonesia kepada orang Australia yang menurutnya peduli dengan kebudayaan negara tetangganya ini.

“Karena saya dengar dari teman guru Bahasa Indonesia, mulai beberapa sekolah menutup pelajaran Bahasa Indonesia karena kurang peminat,” katanya.

“Mungkin dari fesyen mereka bisa tumbuh antusiasme mereka untuk mengenal budaya Indonesia, sehingga mau lagi kembali belajar Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah.” kata Ganda.

Bagaimana pendapat anda mengenai berita ABC ini,klik survei singkat berikut