ABC

Puluhan Petugas KPPS Meninggal Dunia, Ratusan Jatuh Sakit Demi Kesuksesan Pemilu

Diduga karena kelelahan sebanyak 90 orang anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia. Sejumlah KPPS mengeluhkan rumit dan banyaknya berkas administrasi dan minimnya pelatihan yang dapat memudahkan kerja mereka pada hari pemungutan suara.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) membenarkan hingga Senin (22/4/2019) sore jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia tercatat sebanyak 90 orang dan yang jatuh sakit sebanyak 374 petugas.

Ketua KPU, Arief Budiman mengatakan petugas KPPS yang meninggal dunia dan jatuh sakit itu berasal dari 19 provinsi di Indonesia.

Mereka diduga kelelahan usai bertugas melakukan penghitungan dan rekapitulasi suara.

Atas berjatuhannya korban jiwa dalam penyelenggaraan pemilu kali ini, Arief Budiman mengatakan KPU berencana untuk memberikan santunan bagi petugas KPPS yang meninggal dunia maupun yang sakit.

“KPU sudah membahas secara internal terkait santunan yang akan diberikan ke KPPS, dengan memperhitungkan regulasi BPJS. Besok Sekjen akan bertemu dengan para pejabat Kemenkeu ini akan kami usulkan dalam pembahasan,” ujar Arief kepada media di di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (22/4/2019).

petugas KPPS sedang melakukan penghitungan suara
Pada penyelenggaraan Pemilu serentak 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dibantu oleh 5.666.500 KPPS yang bertugas di Tempat Pemungutan Suara (TPS).

ABC: Iffah Nur Arifah

Apresiasi atas kerja keras dan pengorbanan para petugas KPPS hingga ada puluhan diantara mereka yang sampai meninggal dunia juga disampaikan Presiden Joko Widodo.

Kepada wartawan di Jakarta, Presiden Joko Widodo menyampaikan dukacita mendalam atas meninggalnya sejumlah petugas KPPS dan aparat lainnya dalam Pemilu 2019. Jokowi menyebut para petugas itu sebagai pejuang demokrasi.

“Saya kemarin sudah menyampaikan, jadi ucapan berdukacita yang mendalam atas meninggalnya petugas-petugas KPPS, juga beberapa yang di luar KPPS. Saya kira beliau ini adalah pejuang demokrasi yang meninggal dalam tugasnya. Sekali lagi, atas nama negara dan masyarakat, saya mengucapkan duka yang sangat mendalam,” kata Jokowi di Seribu Rasa, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (22/4/2019) sore.

Pembekalan untuk KPPS sangat singkat

Sementara itu sejumlah petugas KPPS menyoroti soal minimnya pelatihan dan pembekalan seputar aturan teknis dan administrasi mengenai proses pemungutan dan penghitungan suara dalam pemilu serentak 2019 bagi petugas KPPS.

Kondisi ini dinilai membuat banyak petugas KPPS tidak bisa mengantisipasi banyaknya isu yang terjadi di hari pemungutan suara maupun tugas teknis administrasi yang harus mereka kerjakan.

M. Sainihadi
M. Sainihadi, saat bertugas sebagai Ketua KPPS di TPS 08 kelurahan Hilir Kantor, Putusibau Utara, Kalimantan Barat.

Supplied

Sehingga proses penghitungan suara memakan waktu lama dan akhirnya memicu kelelahan petugas.

Seperti diungkapkan M. Saini Hadi, ketua KPPS di TPS 08 Kelurahan Hilir Kantor, Kecamatan Putusibau, Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat,

“Di wilayah saya banyak TPS yang baru selesai penghitungan suara lewat dari tengah malam, bahkan ada yang sampai keesokan harinya baru selesai. Itu karena banyak personil KPPSnya tidak mengerti. Pelatihan hanya 2 kali dengan waktu yang sangat singkat,” kata Saini Hadi.

Saini mengatakan pada hari H banyak petugas KPPS yang tidak memahami aturan teknis dalam menyikapi isu yang mereka hadapi di TPS.

Salah satu yang banyak muncul adalah isu Daftar Pemilih Tetap (DPT).

“DPT kita kan bermasalah, banyak warga yang belum terdaftar dan banyak yang hendak mencoblos pakai e-ktp, belum lagi warga yang pindah, itu kalau tidak paham aturan teknis bisa saja dipersilakan warga untuk mencoblos. Nah pada saat dihitung suaranya itu yang memicu masalah karena mungkin tidak sesuai dengan jumlah DPT. Ini yang bisa membuat proses menjadi lama,” tambahnya.

Keluhan serupa disampaikan, Ian Azhar, anggota KPPS dari TPS 058 di kepulauan Batam, Riau.

“Kami mendapatkan bimbingan teknis (bimtek) itu baru 4 hari menjelang pemungutan suara. Padahal teknis administrasi yang harus dilakukan sangat banyak. Jadi pada hari H banyak yang tidak paham apa yang harus dilakukan karena tidak dijelaskan di dalam bimtek.” katanya.

Ian Azhar
Ian Azhar, saat bertugas sebagai anggota KPPS di TPS 58 Batam.

Supplied

Ian mengaku rata-rata rekan-rekannya di TPS mengeluhkan banyaknya dokumen atau formulir yang harus mereka tanda-tangani.

“Banyak sekali yang harus ditanda-tangani, sampai ampop-amplop harus ditandatangani. Tangan saya sampai mati rasa dan karena saya kidal, sampai sekarang tangan kiri saya masih sakit,” keluhnya.

Pria yang baru pertama kali bertugas sebagai KPPS ini mengaku nyaris bekerja nonstop selama 2 hari untuk memfasilitasi warga menggunakan hak pilihnya.

Pada hari pencoblosan ia baru kembali pukul 3 dini hari keesokan harinya.

“Karena saya bekerja di bidang kesehatan saya paham teman-teman di TPS saya maupun personil pengamanan malam itu sudah mengalami sindrom kelelahan. Ada yang mengalami pusing, mual, asam lambung naik, kami kelelahan sekali, tapi karena tugas jadi kami tetap lanjut sambil sesekali curi waktu untuk pejamkan mata sekejap.” katanya.

Baik Ian Azhar maupun Saini Hadi menilai ke depan jika model pemilu serentak seperti ini masih dipertahankan, ia menilai pembekalan teknis yang cukup dan penyederhanaan pelaporan administratif mutlak diperlukan.

“Agar KPPS bisa bekerja lebih efektif setidaknya harus ada 2-3 orang yang benar-benar paham aturan teknis dari KPU dan formulir atau berkas administrasinya untuk KPPS itu harus lebih disederhanakan. KPU perlu sediakan buku panduan yang lebih sederhana dan mudah dipahami. yang ada sekarang sangat tebal, selain tidak praktis orang awam juga sulit untuk paham.” kata Saini Hadi.

Korban Polri dan petugas pengawas pemilu

Sementara itu selain anggota KPPS, sebanyak 15 orang anggota Polri juga dilaporkan meninggal dunia saat bertugas mengamankan Pemilu 2019.

Karopenmas Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengungkapkan, sebagian besar anggota Polri yang bertugas mengamankan pemilu itu diduga wafat karena kelelahan.

Dia mengatakan, anggota yang meninggal saat Pemilu 2019, sebagian besar berada di luar Jawa.

Berdasarkan catatan Polri, yang paling banyak berada di NTT, Kalimantan, NTB, dan Sulawesi Selatan.

Selain itu kabar duka dari penyelenggaraan pesta demokrasi juga disampaikan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang turut melaporkan kalau sedikitnya 33 orang pengawas pemilu meninggal dunia saat menjalankan tugas pengawasan pemilu.
Selain itu tidak kurang dari 566 orang pengawas pemilu mendapat musibah saat bertugas.

Berdasarkan data yang dikumpulkan Divisi Sumber Daya Manusia (SDM) Bawaslu, ke-33 orang pengawas pemilu yang meninggal dunia itu tersebar di 26 kabupaten/kota di 10 provinsi.

Provinsi dengan jumlah terbanyak pengawas pemilu yang meninggal adalah Jawa Barat yaitu sebanyak 10 orang.

Dan sekitar 117 pengawas di beberapa daerah dilaporkan harus menjalani rawat inap di rumah sakit karena mengalami kecelakaan.

Bawaslu juga melaporkan sebanyak 19 orang pengawas mengalami kekerasan dalam bertugas, terutama di Provinsi Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur.

Lihat berita-berita ABC Indonesia lainnya di sini