ABC

Publik Anggap Profil Irjen Firli dan Langkah Jokowi Bisa Lemahkan KPK

Aksi unjuk rasa yang dilakukan ratusan pegawai KPK di depan kantornya (11/9/2019).
Aksi unjuk rasa yang dilakukan ratusan pegawai KPK di depan kantornya (11/9/2019).

Twitter; @KPK_RI

Terpilihnya Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indonesia yang baru berlangsung bersamaan dengan disetujuinya revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Ketua KPK terpilih, Irjen Firli Bahuri, dan pembentukan Dewan Pengawas KPK justru bisa melemahkan lembaga anti-rasuah itu sendiri.

Sebelum terpilih sebagai Ketua KPK pada Jumat (13/9/2019) dini hari, Irjen Firli dianggap pernah melakukan pelanggaran etik berat. Saat itu ia masih berstatus sebagai Deputi Penindakan KPK dan dianggap melanggar ketika bertemu dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), M Zainul Majdi atau akrab disapa TGB, di Lombok pada tanggal 12 dan 13 Mei 2018.

Pertemuan Firli itu dianggap melanggar etik karena KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi kepemilikan saham PT Newmont yang melibatkan Pemerintah Provinsi NTB.

Firli dianggap memiliki celah dalam rekam jejaknya.

Track record-nya tidak terlalu baik. Bisa dilihat waktu dia masih di KPK dan sempat main golf sama Gubernur NTP yang lagi kena kasus korupsi.”

Meski demikian, Linda masih menganggap Pemerintahan Jokowi tetap berkomitmen memberantas korupsi.

“Secara pribadi saya masih liat Pemerintah jokowi komitmen untuk berantas korupsi.”

“Hanya dalam kasus ini, Jokowi juga mesti wise ya melihat kelayakan dan kredibilitas calon pemimpin KPK.”

Irjen Firli Bahuri, Ketua KPK periode 2019-2023 pilihan DPR.
Irjen Firli Bahuri, Ketua KPK periode 2019-2023 pilihan DPR.

kompas.com

Sebelum dipilih DPR sebagai Ketua KPK, nama Firli masuk dalam 10 calon pimpinan KPK yang diusulkan Presiden Jokowi.

Perempuan berhijab ini justru melihat terpilihnya Firli dari sudut pandang lain.

“Contohnya begini…kenapa Jokowi akhirnya memutuskan memindah Ibu Kota ke Kaltim yang secara geografis tidak strategis, walau di sana enggak rentan terhadap bencana sosial, konflik dan alam seperti gempa bumi atau tsunami, tapi rentan terhadap kebakaran hutan?.”

“Saya mikirnya sengaja pindah kesana agar masalah kebakaran hutan bisa ditangani benar-benar.

“Saya melihat demikian ke KPK, mungkin dengan disodori namanya Firli, publik akan lebih kritis dan benar-benar mengawal KPK,” utaranya.

Kekecewaan serupa terkait perkembangan KPK juga diungkap Natalie Padang, seorang pegawai swasta yang banyak berurusan dengan Pemerintah Indonesia.

Ia mengatakan masyarakat merasa kecewa dengan Jokowi karena munculnya Surat Presiden (surpres) untuk revisi UU KPK

Enam hari setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia menyetujui revisi UU KPK (5/9/2019), Jokowi menandatangani dan mengirimkan surpres tanda persetujuan pembahasan revisi UU itu di DPR.

Dalam surpres tersebut, Jokowi menyampaikan keberatan atau ketidaksetujuannya terhadap poin-poin berikut ini: perlu adanya izin dari pengadilan untuk penyadapan, penyelidik dan penyidik harus dari polisi atau jaksa, harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung untuk penuntutan, serta pengelolaan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang diurus lembaga selain KPK.

Sama seperti Linda, Natalie juga memiliki sudut pandang lain terhadap surpres tersebut.

“Mungkin masyarakat bisa berharap juga, kalau, misalnya berkaca dari kejadian dua tahun lalu di mana DPR juga kencang mau bubarkan Komite Aparatur Sipil Negara (KASN) melalui revisi UU Nomor 5 tahun 2014 yang menghapus total pasal-pasal terkait lembaga tersebut.”

Padahal, penolakan masyarakat sipil melalui organisasi-organisasi masyarakat sipil cukup kencang pada saat itu, sebut Natalie.

“Tapi yang terjadi, berkali-kali Menteri yang ditugaskan untuk membahas tak hadir dan revisi tersebut jadi tidak jelas, nyaris tidak ada lagi tindak lanjutnya.”

Ia berharap hal yang sama terjadi pula untuk surpres revisi UU KPK.

Demo mendukung revisi UU KPK di depan gedung KPK di Jakarta.
Demo mendukung revisi UU KPK di depan gedung KPK di Jakarta (11/9/2019). Demo ini berakhir anarkis.

Supplied

Dalam revisi UU KPK yang disetujui itu, nantinya, pegawai KPK juga akan berubah status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Perubahan itu mendapat penolakan dari banyak pegawai KPK. Salah satunya adalah Ani, bukan nama sebenarnya.

Kepada ABC, Ani mengutarakan kekhawatirannya jika revisi itu benar-benar final dan diberlakukan.

“Presiden setuju pegawai KPK jadi ASN dan itu artinya pegawai KPK tidak independen lagi.

“Lantas kalau tidak independen, banyak intervensi artinya,” ujar Ani.

Politik hukum pengendalian

Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Profesor Hibnu Nugroho, mengatakan politik hukum Pemerintahan Jokowi terkesan ingin mengendalikan semuanya.

“Walaupun KPK itu adalah independen, tapi diinginkan dalam kontrol pengendalian.”

“Sehingga semua pengendalian itu menjadi sebuah kondisi yang ‘tidak menabrak institusi-institusi tertentu’. Saya melihatnya seperti itu,” kata akademisi yang vokal terhadap isu pemberantasan korupsi ini.

Menurut Hibnu, ada sisi positif dan negatif dari politik hukum yang dijalankan Jokowi.

“Nah sekarang enggak, kan ini ada gawangnya. Dengan gawang ini, pemberantasan korupsi jalan tapi juga dalam kendali pengawasan. Sehingga tidak terjadi kegaduhan.”

Hibnu mengatakan belum ada titik temu antara keinginan publik yang selalu memberikan dukungan untuk kerja cepat dengan kebijakan Pemerintah yang selalu menginginkan koordinasi.

Terkait adanya Dewan Pengawas di internal KPK yang disetujui Presiden, Hibnu menyebut dampak hukumnya bisa lambat.

“Karena ada kewenangan masalah dewan pengawas, ini kan jadi lambat. Ada sistem lagi, kan kalau orang bilang lebih baik miskin struktur kaya fungsi. Lah ini rupanya banyak struktur.”

“Kalau orang ekonomi bilang..buat struktur yang kaya fungsi, nah ini enggak. Harus lewat sini, harus lewat sini, kan gitu.”

Hal itu berpotensi melemahkan KPK karena semua berada dalam pengawasan. Hibnu mengutarakan, dalam ilmu hukum, ada teknik dan taktik.

“Untuk penyadapan itu memang tidak boleh terlalu panjang. Kalau terlalu panjang kan bocor. Ini yang harus dipahami antara teknik dan taktik. Nah ini rupanya ke depan ini pemerintah memikirkannya secara teknis. ‘oh lewat ini..lewat ini’..kan gitu?”

Adanya Dewan Pengawas justru memperpanjang sistem, karena dalam pemeriksaan pendahuluan, proses mencari bukti membutuhkan kecepatan, ujar Hibnu.

Simak informasi terkait komunitas Indonesia di Australia lainnya hanya di ABC Indonesia dan bergabunglah dengan komunitas kami di Facebook.