ABC

Program Vaksinasi Mandiri Dinilai Tak Sesuai dengan Prinsip Kesehatan Publik

Opsi vaksinasi mandiri oleh perusahaan swasta kembali terbuka setelah diusulkan oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia.

Meski sempat ditolak, program vaksinasi mandiri yang diberi nama ‘Vaksinasi Gotong-royong’ tengah dipelajari oleh pemerintah.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, sekaligus Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Siti Nadia Tarmizi mengatakan pihaknya sedang mengkolsultasikan dengan berbagai pihak dan mematangkan regulasi pelaksanaan vaksinasi COVID-19 oleh perusahaan swasta.

Menurut Nadia Kemenkes berencana mengeluarkan regulasi dalam bentuk Peraturan Menteri Kesehatan dan Keputusan Menteri Kesehatan.

“Kebijakannya sedang dimatangkan,” ujar Nadia seperti yang dikutip Kontan, Selasa (15/02).

Penuturan Nadia sejalan dengan pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada pekan lalu (11/02) soal persiapan payung hukum terkait dengan vaksinasi mandiri COVID-19.

“Khusus vaksin gotong royong mandiri, akan ada permenkes khusus. Sekarang proses finalisasi. Mudah-mudahan menjawab mengenai di dalamnya,” ujarnya.

“Harga? kita akan atur, sehingga angka tak ke mana-mana, membuat orang jadi bertanya-tanya.”

Pekerja Garmen Indonesia
Menurut KADIN Indonesia, peminat vaksin mandiri paling banyak datang dari salah satunya industri tekstil.

ANTARAFOTO: Yulius Satria Wijaya

Ribuan perusahaan sudah mendaftar

Sebelumnya, Ketua KADIN Rosan Roeslani mengklaim aturan mengenai pelaksanaan vaksinasi gotong-royong diperkirakan akan rampung pada pekan ketiga Februari.

Berbeda dengan wacana vaksin mandiri sebelumnya, yang mengharuskan masyarakat untuk membeli sendiri, vaksin mandiri yang diusulkan bukan berarti vaksin COVID-19 dijual bebas di Indonesia.

Vaksin dalam program vaksinasi gotong-royong ini akan disediakan secara mandiri oleh perusahaan untuk karyawannya, dengan harapan mereka bisa mempercepat proses vaksinasi di Indonesia untuk mempercepat terbentuknya ‘herd immunity’ atau kekebalan kelompok.

Vaksinasi melalui program ini, menurut Rosan, diharapkan bisa dimulai pada kuartal pertama sampai kuartal kedua tahun 2021 dengan menggunakan vaksin merek lain dari yang dipakai pemerintah.

“Ternyata antusiasme swasta dari berbagai sektor sangat tinggi, khususnya oleh pengusaha sektor perbankan, manufaktur, tekstil, dan logistik,” tulis Rosan dalam keterangannya, Selasa (09/02).

Rosan mengatakan lebih efisien bagi perusahaan untuk menggelontorkan uang demi vaksinasi, ketimbang tes antigen atau tes reaksi rantai polimerase (PCR) secara terus menerus.

Jumlah perusahaan yang mendaftar sudah mencapai lebih dari 4000, menjelang akhir batas waktu pendaftaran program sejak dibuka oleh KADIN pertengahan Januari lalu.

“Saat ini sudah 3.500 perusahaan dengan empat juta peserta yang mendaftar … Kita masih tunggu sampai penutupan tahap pertama tanggal 17 Februari,” jelas Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani, Selasa kemarin (16/02).

‘Program vaksinasi ini akan mengacaukan’

Di atas kertas, usulan dan inisiatif KADIN terlihat tanpa masalah.

Namun, Koalisi Vaksin untuk Semua yang diwakili oleh Irma Hidayana dari Lapor COVID-19, epidemiolog Pandu Riono dari Universitas Indonesia, dan A/Professor Sulfikar Amir dari Nanyang Technological University di Singapura tidak sependapat.

Mereka menggagas sebuah petisi yang meminta Presiden Jokowi, Menkes Budi Gunadi Sadikin, dan Menteri BUMN Erick Thohir membatalkan program vaksinasi mandiri.

Kepada ABC Indonesia, A/Profesor Sulfikar menjelaskan beberapa poin penting mengapa vaksin mandiri gotong-royong ini harus dibatalkan.

Sulfikar Amir
A/Prof Sulfikar Amir menyinggung soal pasokan dan jalur distribusi vaksin yang akan digunakan swasta.

Supplied: Sulfikar Amir

“Kalau saya lihat, argumen vaksin mandiri yang tidak akan mengganggu vaksin gratis yang diadakan pemerintah, mungkin secara jatah, iya [benar], karena mereka akan memesan merk lain.”

“Tapi secara infrastruktur, itu akan mengacaukan. Belum lagi soal pendataannya,” ujar Sulfikar.

“Enggak mungkinlah mereka bikin cold-chain sendiri. Pasti pakai punya pemerintah. Vaksinatornya juga,” tambahnya.

Padahal, menurutnya saat ini semua sumber daya vaksinasi di Indonesia sedang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan vaksinasi kelompok prioritas.

“Jadi program vaksinasi [gotong-royong mandiri] ini pasti akan mengacaukan [skema vaksinasi yang telah dirancang].”

A/Profesor Sulfikar juga mempertanyakan klaim KADIN Indonesia dan Kementerian BUMN soal waktu pengadaan vaksin mandiri ini.

“Kalau mereka mau beli vaksin dari Moderna atau Sputnik, misalnya, perlu waktu minimal dua sampai tiga bulan di luar proses di BPOM dan lain sebagainya, jadi secara realistis vaksin ini baru tersedia bulan Mei.”

Ia mengaku curiga jika program vaksinasi mandiri akan mengambil jatah vaksin yang dipesan pemerintah, yakni AstraZeneca dan Covax, yang memang dijadwalkan akan tiba di Indonesia pada bulan Maret-April 2021.

“Kecurigaan saya, mereka akan mengambil jatah ini, dan itu jauh lebih jahat, karena Covax kita dapatkan gratis, 50 juta dosis,” katanya kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.

Jadi menurutnya, jika pihak BUMN dan KADIN masih bersikeras memulai vaksin mandiri pada bulan Maret, padahal vaksin dari Sputnik, Moderna, dan sejumlah pemasok lainnya belum tersedia, perlu dipertanyakan apa pasokan vaksin yang digunakan jalur mandiri gotong-royong ini.

Ia menambahkan bahaya lain dari pengadaan vaksin yang melibatkan swasta adalah kemungkinan kebocoran vaksin ini ke publik, dalam arti akan dijual kembali oleh swasta ke orang-orang yang mau membeli.

“Jangankan vaksin mandiri, tanpa itu pun kita kemarin sudah melihat skandal penyalahgunaan status Nakes untuk sekelompok orang yang belum mendapat vaksin, selebgram-selebgram itu.”

Paradigma ‘public health’ dalam logika distribusi vaksin

Program vaksinasi mandiri gotong-royong ini juga dikritik oleh Epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health, Griffith University Australia, dr Dicky Budiman.

“Kita mengapresiasi inisiatif para pengusaha untuk berkontribusi. Namun dalam merespon pandemi, kita harus berpatokan pada standar rujukan yang bukan saja baku, tapi juga sudah terbukti efektif.”

Standar rujukan yang dimaksud dr Dicky adalah epidemiologi, ‘public health’ atau kesehatan publik dan kondisi medis, sehingga pemberian vaksin diprioritaskan pada populasi tertentu yang berisiko atau rentan terinfeksi.

Apalagi, jumlah vaksin masih sangat terbatas, sehingga pemberian vaksin benar-benar harus tepat sasaran.

Penentuan kriteria kelompok prioritas seperti pekerja esensial, tenaga kesehatan, dan kelompok lansia bukannya tanpa alasan.

Petugas Vaksinasi di Indonesia
Program Vaksinasi Gotong Royong mandiri dinilai bisa mengganggu skema pengendalian pandemi.

Reuters

“Untuk fase jangka pendek, tujuan pemberian vaksin bertujuan untuk menekan angka kesakitan dan angka kematian.”

“Oleh karena itu yang ditargetkannya adalah kelompok atau populasi yang berkontribusi pada angka kesakitan dan kematian itu, yakni tenaga kesehatan, lansia, dan pekerja dengan risiko. Itu yang harus didahulukan.”

Maka, menurut dr Dicky, keberadaan skema vaksin mandiri gotong-royong ini tidak sesuai dengan strategi yang dibangun dengan rujukan epidemiologi, public health, dan medis.

“Paradigma public health itu bukan mementingkan sekelompok orang yang tidak ada kaitan dengan upaya menurunkan angka kesakitan dan kematian.”

“Kalau yang swasta ini saya khawatir arahnya lebih ke ekonomi, sehingga akhirnya tujuan kita menurunkan angka kesakitan dan kematian dengan vaksinasi tadi tidak tercapai.”

Diah Saminarsih, penasihat senior direktur jenderal Organisasi Kesehatan Dunia, menilai skema swasta harus menunggu sampai persediaan berlimpah, mengingat kelangkaan vaksin saat ini secara global.

“Vaksin harus diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan lebih banyak bantuan,” katanya, daripada “mereka yang memiliki kekuasaan, yang tidak rentan.”

Jumlah orang yang telah menerima vaksin COVID-19 di Indonesia sampai Rabu (17/02) adalah 1.149.939 untuk dosis pertama dan 597.328 untuk dosis kedua.

Rata-rata harian jumlah suntikan dalam seminggu terakhir adalah 25.770 untuk dosis pertama dan 45.440 untuk dosis kedua, jauh dari target Presiden Joko Widodo yakni 1 juta orang per hari sehingga vaksinasi bisa dituntaskan dalam kurun waktu setahun.

Twitter