Profesor Islam di Australia Soal Mengucapkan Selamat Natal
Professor Mohamad Abdalla, pakar mengenai Islam dari University of South Australia di Adelaide mengatakan bahwa ucapan selamat hari raya kepada pemeluk agama lain seperti Hari Raya Natal seyogyanya dilihat dalam konteks hubungan kemanusiaa. Prof Abdallah menyampaikan hal itu di hadapan peserta diskusi Kajian Islam Adelaide (KIA), wadah bagi para warga Islam asal Indonesia di sana.
Prof Abdalla mengatakan hal tersebut hari Sabtu (17/12/2016) dalam pertemuan KIA bekerjasama dengan Centre for Islamic Thought and Education (CITE) University of South Australia menyenggarakan diskusi dengan tema “Building Harmony in Diverse Faith Traditions” (Membangun Harmoni di tengah Tradisi keyakinan yang beragam).
Prof Abdalla adalah direktur dan sekaligus penggagas lembaga riset dan pendidikan tersebut dan kegiatan diskusi dalam Bahasa Inggris tersebut mengambil lokasi di Café Gembira restoran khas Indonesia yang tentu saja tidak asing bagi para jamaah di wiliayah Adelaide.
Di awal acara, Mujahiduddin selaku ketua KIA menjelaskan mengapa pertemuan mengambil tema ini.
“Acara ini merupakan gagasan dari pengurus serta senior permanen residen di Adelaide untuk bisa memperluas jangkauan kegiatan KIA dalam mempromosikan Islam wasathiyyah (moderat) tidak hanya untuk kalangan masyarakat Indonesia sendiri, namun juga untuk memperluas jaringan kepada kalangan akademik dan masyarakat lokal secara umum”.
Dalam sambutan, Muja menandaskan bahwa “Hidup sebagai muslim di Australia haruslah mampu mengambil spirit ajaran untuk bisa diterapkan dalam beradaptasi dengan lingkungan tanpa harus meninggalkan inti ajaran, oleh sebab keberagamaan tidak hanya membutuhkan pemahaman yang baik terhadap teks ajaran, namun juga pemahaman baik terhadap konteks ajaran.”
” Kegiatan ini sebagai upaya kita untuk menyampaikan kepada masyarakat tentang pentingnya hal tersebut”.
Suasana diskusi sangat hangat dan akrab, dipandu oleh Sabilil Muttaqien, salah seorang penerima beasiswa program 5000 doktor dari Kementerian Agama Republik Indonesia ini mampu menjadi moderator diskusi dengan apik, baik dengan Bahasa Inggris maupun Indonesia.
Sabil memulai diskusi dengan menyampaikan pernyataan pembuka bahwa hidup dalam keragaman keyakinan merupakan bagian dari sunnatullah.
Namun tidak dipungkiri bahwa masyarakat muslim Indonesia yang berada di Australia dihadapkan pada berbagai macam persoalan keagamaan baik muamalah maupun ubudiyah terkait dengan keberadaannya sebagai kaum minoritas dalam hal jumlah.
Prof Abdalla menanggapi pernyataan tersebut sekaligus membuka ceramahnya dengan menyampaikan bahwa hanya ada dua kemungkinan bagi seorang muslim yang hidup di negeri barat sebagai minoritas, yakni menjadi sangat kuat atau justru semakin kehilangan ke-Islam-annya karena pengaruh lingkungan dan mengikuti hawa nafsu.
Menyitir pendapat Sayyid Hossen Nasr, pemikir keislaman dari Iran, Abdalla mengungkapkan bahwa proses modernisasi dan sekularisasi yang berada di bawah pengaruh peradaban barat ini tidak bisa meruntuhkan nilai-nilai tauhid yang dimiliki seorang muslim.
Beliau meyakini bahwa apa pun dampak dari situasi ini, ruh tauhid dari seorang muslim akan selalu berada di dalam dirinya, dan sesekali hanya dibutuhkan pemantik untuk menghidupkan kembali nilai-nilai dasar tauhid yang dimilikinya itu untuk kembali hidup.
Lebih lanjut, pendiri Griffithh University Islamic Research Unit (GIRU) ini menyampaikan pentingnya pendidikan manusia muslim yang mengarah pada tiga hal, yakni akal, jasad dan ruh, dan yang terakhir ini merupakan esensi dari keberadaan kita sebagai manusia.
Kegagalan pada orientalis barat dalam menjelaskan Islam salah satunya adalah karena mereka tidak memiliki ruh Islam dalam dirinya, ketidakpercayaan mereka terhadap ajaran Islam menjadikan apa yang mereka jelaskan menjadi kurang relevan dan tidak bermakna.
Hal ini disebabkan karena Islam dipandang sebagai objek kajian yang dianggap sebagai golongan luar dirinya (otherism) yang lebih inferior.
Di sisi lain, banyak sekali para sarjana-sarjana Islam yang sangat mahir dalam bidangnya masing-masing namun tidak mampu menghadirkan kemampuan intelektualnya di lingkungan dimana Islam berada.
Itulah sebabnya, Abdalla bersama dengan tim riset dan akademisnya di CITE memfokuskan kegiatan lembaganya dalam pembaharuan pendidikan sekolah Islam untuk mendidik para sarjana-sarjana ilmu keislaman supaya bisa memahami keduanya, teks dan konteks.
Di akhir ceramahnya, Abdalla mengatakan bahwa sebagai seorang sarjana muslim, selain niat menjadi sangat penting yakni untuk berserah diri kepada Allah atau ma’rifatullah, namun juga kemampuan untuk memberikan transformasi dan kontekstualisasi keilmuannya.
Menjawab pertanyaan dari Sukendar Sodik, kandidat doktor dari Flinders Univesity yang juga pengasuh kajian rutin KIA, tentang bagaimana mengaplikasikan konsep bahwa Islam adalah agama yang sangat relevan di semua zaman dan waktu, Abdalla mengatakan bahwa jawaban atas pertanyaan tersebut memiliki aspek yang sangat luas, salah satunya adalah dengan memahami Maqashid Syari’ah dalam menentukan hukum Islam, Mengutip pendapat Al Juwaini dan juga muridnya yakni Al-Ghazali, Abdalla menandaskan bahwa jika sesuatu itu wajib maka segala sesuatu yang mendukun kewajiban tersebut pun akan menjadi wajib.
Dia mencontohkan kewajiban umat Islam untuk memahami al-Qur’an menjadikan kegiatan mencari ilmu untuk bisa memahami al-Qur’an itu wajib.
Lebih lanjut, beliau menjelaskan sebagaimana disampaikan ulama hukum Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyah bahwa esensi dari syari’ah adalah keadilan (‘Adl) dan kasih sayang (Rahmah), dan keduanya tidak bisa dipisahkan.
Hal demikian, menurutnya bisa dirasakan dalam kehidupan keseharian masyarakat di Australia, dimana keadilan bisa dicapai tanpa meninggalkan aspek rahmat dari keadilan itu sendiri.
Ucapan Selamat Hari Natal
Menanggapi pertanyaan tentang munculnya isu tahunan tentang hukum mengucapkan selamat hari natal kepada umat kristiani, profesor Islamic Studies yang sudah lebih dari 30 tahun menetap di Australia ini menjelaskan bahwa menyampaikan ucapan selamat hari raya kepada pemeluk agama lain seyogyanya dilihat dalam konteks hubungan kemanusiaan atau muamalah dan bukan ubudiyyah, apalagi jika perayaan tersebut merupakan bagian dari adat istiadat masyarakat setempat, seperti halnya merayakan ulang tahun, dan lain sebagainya.
Namun, beliau juga mengingatkan bahwa muslim juga harus berhati-hati jika praktek muamalah ini dipandang memiliki aspek ubudiyah dan bisa membahayakan tauhid dan keimanan.
Dalam sejarah peradaban Islam, lanjut Abdalla, sejak zaman Rasulullah dan Khulafaurrasyidin, umat Islam dilarang untuk mengganggu ibadah umat agama lain apalagi sampai merusak tempat peribadatan mereka.
Beliau juga mengingatkan bahwa manusia secara fitrah memiliki loyalitas natural (wala’ thobi’i) dan loyalitas keyakinan (wala’ diniy).
Beliau mencontohkan bahwa manifestasi loyalitas natural ini seperti halnya cinta tanah air sehingga seseorang menjadi patriotik dan nasionalis, sebagaimana ungkapan yang disampaikan oleh ulama pendahulu Nahdlatul Ulama’ atau NU yakni hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman). Ringkasnya, loyalitas natural ini memberikan ruang manusia untuk memiliki hubungan fungsional dengan sesama.
Di akhir diskusi, Professor Abdalla menjelaskan tentang bagaimana konsep Islami, yang menerapkan nilai-nilai keadilan yang memberikan rahmat untuk semuanya diterapkan di Australia.
Beliau mencontohkan kasus yang menimpa seorang dokter muslim dari India yang berpraktek medis dengan visa kerja di wilayah Gold Coast tahun 2005 yang sempat ditahan oleh pemerintah yang berkuasa pada waktu itu dengan tuduhan terkait dengan kegiatan terorisme, beberapa saat setelah terjadinya ledakan bom di London.
Masyarakat pada waktu itu melakukan protes besar-besaran sehingga sang terdakwa kemudian dibebaskan dan bahkan menuntut balik pemerintah yang akhirnya menutup kasus tersebut dengan pembersihan nama baik.
"Artinya, sistem pengadilan di Australia memungkinkan semua orang untuk memperoleh keadilan dan diberikan ruang dan fasilitas bagi individu untuk melakukan hal tersebut." katanya.
Meskipun diakui, bahwa keadilan di dunia ini tidak ada yang bersifat mutlak atau absolut, namun paling tidak sistem yang dibangun berdasarkan semangat keadilan haruslah ada.
Selain memberikan ceramah keagamaan, Professor Abdalla yang datang bersama dengan stafnya Dr Dylan Chown, seorang muallaf yang kini menjadi tim peneliti dan Direktur Program Pendidikan Islam itu menyampaikan bahwa CITE baru-baru ini menandatangani kerjasama program beasiswa dengan Kementerian Agama Republik Indonesia bagi pada sarjana ilmu keislaman di Indonesia untuk melanjutkan jenjang pendidikan doktor dan memperdalam ilmunya di lembaga yang di pimpinnya itu.
Hadir juga dalam kesempatan itu, dosen senior akuntansi dari University of South Australia, Dr Elvia Shauki yang juga sebagai penggagas acara diskusi ini yang menyampaikan keinginannya untuk bisa menjalin kerjasama dalam bidang akademik baik melalui internship maupun riset dalam bidang perbankan Islam dan ekonomi Islam.
* Tufel Musyadad adalah Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Australia dan New Zealand, sudah tinggal di Adelaide (Australia Selatan) sejak tahun 2008