ABC

Prof Jimly Asshiddiqie Optimis Indonesia Bisa Hapus Hukuman Mati

Pakar hukum konstitusi Prof Jimly Asshiddiqie menyatakan optimistis Indonesia sebagai negara demokrasi dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, suatu saat kelak bisa menghapuskan hukuman mati.

Berbicara dalam kuliah umum di Fakultas Hukum Universitas Melbourne, Selasa (11/8/2015) malam, Prof. Jimly menjelaskan penerapan hukuman mati tidak mesti ditafsirkan melalui pendekatan benar atau salah menurut UU, namun bisa dilakukan yang merujuk kepada pendekatan kemanusiaan.

Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) berada di Melbourne pekan ini selain memberikan kuliah umum juga sempat bertemu dan beramah tamah dengan warga Indonesia terkait sosialisasi pelaksanaan pilkada serentak.

"Saya akui bahwa hukum positif di Indonesia saat ini masih lebih mendahulukan hukuman mati daripada HAM, khususnya hak untuk hidup, namun saya optimistis  akan tiba waktunya hukuman mati akan dihapuskan," ujarnya.

Prof Jimly Asshiddiqie sebelum memberikan kuliah umum di Fakultas Hukum Universitas Melbourne, Selasa (11/8/2015) malam waktu setempat. (Foto: ABC/Farid M. Ibrahim)
Prof Jimly Asshiddiqie sebelum memberikan kuliah umum di Fakultas Hukum Universitas Melbourne, Selasa (11/8/2015) malam waktu setempat. (Foto: ABC/Farid M. Ibrahim)

Prof Jimly menyampaikan kuliah umum dalam Bahasa Inggris dengan tema Islam, Demokrasi, dan Hukuman Mati, yang dihadiri ratusan mahasiswa, praktisi hukum, dan kalangan akademik di Melbourne.

Ia membandingkan tiga negara demokrasi terbesar di dunia, yaitu Amerika Serikat yang mayoritas beragam Kristen, India yang mayoritas beragam Hindu, dan Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Ketiga negara demokrasi terbesar ini masih menerapkan hukuman mati.

Namun demikian, Prof Jimly memaparkan berbagai upaya dan langkah ke arah penghapusan hukuman mati di Indonesia.

Secara historis, katanya, hukuman mati sebagai hukum positif di Indonesia diadopsi justru bukan dari hukum Islam melainkan dari hukum peninggalan Belanda.

Prof Jimly menyadari bahwa dalam rancangan KUHP yang akan dibahas di DPR, bentuk-bentuk kejahatan yang bisa terancam hukuman mati justru mengalami penambahan dibandingkan KHUP yang berlaku selama ini.

Dalam rancangan KHUP yang baru itu, jelasnya, juga tercantum kejahatan seperti terorisme, narkoba, serta penyalahgunaan kekuasaan (korupsi).

Secara pribadi, Prof Jimly berharap hukuman mati tidak lagi diterapkan dan dilaksanakan.

"Dalam dua kali pelaksanaan eksekusi hukuman mati baru-baru ini, reputasi Indonesia di mata internasional cukup terpengaruh, namun secara domestik pemerintah justru mendapat dukungan luas," jelasnya.

Ia menambahkan, tampaknya dukungan publik terhadap perlunya hukuman mati bagi kejahatan narkoba dan korupsi, sangat mempengaruhi kalangan politisi.

Namun Prof Jimly menilai, terdapat perbedaan antara politisi dan negarawan. "Negarawan akan bertindak seperti cendekiawan yang lebih mendahulukan kemanusiaan dan peradaban untuk jangka panjang, bukan kepentingan politik jangka pendek," paparnya.

Inilah salah satu faktor, kata Prof Jimly, yang turut berpengaruh dalam hubungan antara pemerintah Australia dan Indonesia belakangan. "Jika para politisi hanya mendahulukan kepentingan politik jangka pendek, maka tugas kita kaum cendekiawan dan akademisi yang harus memperbaiki hubungan kedua negara," tambahnya.