ABC

Pria Melbourne Divonis Penjara Karena Rencana Bergabung Dengan Militan Islam Di Filipina

Seorang pria asal Melbourne, Victoria, Australia dijatuhi hukuman 3 tahun 10 bulan penjara karena bersama kelompoknya berencana berlayar ke Filipina selatan untuk berjuang bersama militan Muslim disana guna menggulingkan pemerintah yang berkuasa di negara itu.

Shayden Thorne adalah satu dari enam pria yang mengaku bersalah karena mempersiapkan “penyerangan ke luar negeri ” pada pertengahan 2016.

Pekan lalu, empat rekan tertuduhnya – Paul Dacre, Antonino Granata dan saudara-saudaranya Murat dan Kadir Kaya – dijatuhi hukuman penjara untuk peran mereka dalam memperlengkapi diri mereka sendiri untuk melakukan sebuah perjalanan ke wilayah Mindanao di Filipina untuk mendukung pemberontak Muslim.

Rencana perjalanan itu dilakukan sejak November 2015 hingga penangkapan mereka pada Mei 2016.

Keenam orang itu membeli kendaraan roda empat dan sebuah kapal dan melabuhkan kapal itu di Cape York, Queensland.

Dokumen pengadilan menunjukkan bahwa mereka telah membeli perlengkapan untuk bertahan hidup serta peralatan navigasi – kadang-kadang mereka menggunakan kartu voucher dari toko retail meskipun ada upaya untuk menutupi perencanaan mereka – dan telah menggambar peta laut di dekat lokasi tujuan yang ditargetkan.

Pemimpin kelompok itu, Robert Cerantonio, akan dihukum bulan depan.

Thorne, 31, ditetapkan untuk disidangkan di pengadilan bulan depan tetapi memilih untuk mengaku bersalah pekan lalu, yang menyebabkan dicabutnya perintah supresi dalam kasus ini.

Para lelaki itu mengakui menggunakan kalimat menggunakan sandi, melakukan aliansi di internet, dan meminta pinjaman bank untuk membiayai perjalanan itu.

Mereka semua mengaku bersalah karena bersiap untuk pergi “dengan maksud untuk terlibat dalam kegiatan kekerasan” untuk mendorong penggulingan pemerintah sehingga hukum syariah dapat diberlakukan.

Dokumen-dokumen pengadilan juga menunjukkan bahwa masing-masing pria itu “memiliki kedekatan dengan ekstremisme Islam”.

Dalam putusannya terhadap Thorne, Hakim Michael Croucher mencatat Thorne tidak “secara resmi melepaskan keyakinan ekstremis yang memotivasi kesalahannya”.

“[Tapi] saya puas dia telah menunjukkan tanda-tanda positif bahwa dia telah beralih dari posisi seperti itu,” kata Hakim Croucher.

‘Diprediksi akan gagal’

Thorne lahir di Australia dan merupakan penutur bahasa Arab yang fasih setelah pindah ke Arab Saudi sebagai anak lelaki dari ibu yang berkewarganegaraan Australia dan ayah tirinya yang berasal dari Maroko pada tahun 1997.

Pengadilan juga mengungkap ayah tirinya kejam dan sadis dan ia pindah ke Perth ketika ibunya meninggalkan pernikahannya dengan ayah tirinya.

Ketika dia kembali ke Arab Saudi, dia menjadi tunawisma pada suatu saat dan diradikalisasi oleh seorang syekh yang menawarkan tempat tinggal kepadanya.

Pengadilan juga mengungkap bahwa dia ditangkap di Arab Saudi pada tahun 2011, dan disiksa selama interogasi selama enam minggu.

Dia menghabiskan beberapa tahun di tahanan sebelum dideportasi ke Australia pada 2014, di mana dia pindah ke Melbourne dan bertemu istrinya.

Pengadilan diberi tahu Thorne dicegah membawa istri dan anaknya ke Malaysia pada Oktober 2015 dan paspornya disita.

Pengadilan mengungkap Thorne menginginkan tinggal di bawah hukum syariah dan membesarkan putranya di negara Muslim.

Dokumen-dokumen pengadilan menunjukkan keenam pria yang terlibat dalam kondisi ini telah disita paspor Australia mereka pada waktu yang berbeda, sehingga mereka tidak dapat meninggalkan Australia secara legal.

Hakim Croucher mengatakan kepada pengadilan “seluruh usaha itu tidak direncanakan dengan baik dan, saya khawatir, memang dipastikan akan gagal”.

"Sulit membayangkan bahwa kelompok itu akan berhasil berlayar jauh melewati wilayah di utara Queensland," katanya.

Hakim Croucher menetapkan masa bebas bersyarat dua tahun dan 10 setengah bulan.

Thorne telah menjalani sebagian besar hukuman minimumnya dan dapat dibebaskan pada 26 Maret mendatang.

Simak beritanya dalam bahasa Inggris disini.