ABC

Presiden Jokowi Harus Berhati-hati dalam Isu Pernikahan Anak

Presiden Joko Widodo dikabarkan telah setuju untuk mengakhiri pernikahan anak-anak di bawah umur, namun perlu berhati-hati mengingat sensitifnya isu ini.

Pakar antropologi hukum dari Universitas Indonesia Prof Sulistyowati Irianto mengatakan, dalam pertemuan di Kantor Sekretariat Presiden belum lama ini, terungkap perlunya kehati-hatian dalam upaya menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) UU Perkawinan 1974.

“Presiden berada di bawah tekanan karena di satu sisi ingin mengakhiri perkawinan anak di bawah umur tapi di sisi lain tak ingin memicu kontroversi di kalangan yang tidak menghendaki perubahan UU Perkawinan,” jelasnya kepada wartawan ABC Farid M. Ibrahim di Melbourne pekan lalu.

UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan batasan usia pernikahan 19 tahun untuk pria dan 16 untuk wanita.

Di sisi lain, kata Prof Sulistyowati, terdapat perangkat perundang-undangan lainnya yang menetapkan batasan berbeda usia dewasa dan anak-anak.

UU Perlindungan Anak misalnya, menyebutkan batasan 18 tahun. Artinya, mereka yang berusia di bawah 18 tahun masih dikategorikan sebagai anak-anak dalam UU itu.

Selain itu, UU Pemilu mengatur usia 17 tahun sebagai batasan “dewasa” sehingga sudah berhak untuk memberikan suara dalam proses politik.

“Ada ketidakkonsistenan aturan hukum terkait batasan usia anak-anak dan dewasa,” katanya.

news_9351_1387344455.jpg
Prof Sulistyowati Irianto.

istimewa

Menurut Prof Sulistyowati, maraknya pernikahan anak di sejumlah daerah belakangan ini sudah menunjukkan kondisi kegentingan.

“Sehingga menurut saya solusinya yaitu menerbitkan Perppu,” ujarnya.

Laporan yang dirilis UNICEF dan Pemerintah RI bertajuk Progress on Pause memperkirakan 17 persen gadis Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun.

UNICEF menempatkan Indonesia di urutan ke-7 di dunia dalam jumlah kasus pernikahan anak. Di Asia Tenggara, Indonesia bahkan menempati posisi kedua di bawah Kamboja.

Namun, upaya mengubah batasan usia pernikahan diperkirakan akan memicu perdebatan karena secara kultural tidak sedikit warga masyarakat yang berpandangan perempuan bisa menikah jika sudah akil-baligh.

Sumber yang hadir dalam pertemuan di kantor sekretariat presiden mengatakan, dalam pertemuan itu disebutkan bahwa di kalangan pemuka agama pun ada yang menikahi anak di bawah usia 16 tahun karena dianggap sudah akil-baligh atau dewasa.

Bahkan, UU Perkawinan pun memberikan fleksibilitas terkait batasan usia pernikahan ini.

Jika petugas KUA atau catatan sipil menolak mencatatkan pernikahan pasangan yang belum mencapai batasan usia 19 (pria) dan 16 (wanita), maka pasangan tersebut dapat meminta kelonggaran kepada pengadilan agama.

Sejumlah orangtua menggunakan kelonggaran ini untuk menikahkan anak-anak mereka yang belum mencapai usia 16 tahun.

Tidak sedikit orangtua, katanya, yang justru bersyukur dengan menikahkan anak gadis mereka meski belum mencapai usia 16 tahun karena faktor ekonomi.

Prof Sulistyowati mengakui bahwa pernikahan memang bukan semata-mata masalah hukum.

Selain faktor budaya, pertimbangan ekonomi juga sangat berperan.

Dalam pemaparannya pada seminar di Melbourne University, Prof Sulistyowati mengungkapkan hasil penelitiannya terkait tanggapan polisi terhadap pernikahan anak.

Dia mencontohkan terjadinya perkawinan anak karena faktor ekonomi di kalangan perempuan keturunan China di Entikong dan Singkawang di Kalimantan Barat dengan pria-pria dari China, Taiwan dan Singapura.

“Polisi tidak menganggap praktek pernikahan seperti itu sebagai kejahatan yang harus ditindaki. Polisi baru bertindak jika ada yang melapor,” katanya.