ABC

Populasi ternak merosot, peternak Indonesia kembali resah

Asosiasi Peternak Sapi Kerbau Indonesia (APSKI) mengkhawatirkan kabar  terus merosotnya populasi sapi di Indonesia. Peternak khawatir kondisi ini akan kembali menurunkan daya saing ternak sapi lokal dan sapi impor akan kembali merajai pasar dalam negeri.

Menyikapi kondisi ini, Ketua Asosiasi Peternak Sapi dan Kerbau  Indonesia, Teguh Budiana mendesak agar Badan Pusat Statistik (BPS) segera mengumumkan hasil survey populasi ternak sapi nasional terbaru.

Menurutnya dengan mengetahui data tersebut, organisasinya dapat segera  memberi masukan kepada pemerintah untuk melakukan langkah antisipasi guna menyelamatkan masa depan pembibitan sapi lokal dan agenda swasembada ternak sapi nasional.

“Kalau kita tahu persis jumlah populasinya, kami bisa memberikan masukan kepada pemerintah tentang langkah yang perlu dilakukan. Misalnya pemerintah perlu mengintensifkan upaya inseminasi buatan maupun melakukan pencegahan praktek pemotongan sapi betina produktif untuk menjaga suplay stok sapi di dalam negeri.” Katanya.

Teguh Budiana mengatakan lembaganya sangat bergantung dengan data hasil survey pemerintah tersebut, karena lembaganya tidak memiliki  kemampuan untuk menghitung total populasi ternak. Mengingat mayoritas peternak sapi di Indonesia adalah peternak sapi tradisional berskala kecil.  

Sebelumnya Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan 3 -4 tahun lagi Indonesia akan kehabisan stok sapi jika tidak menggenjot produksi dalam negeri atau impor. Gita memperkirakan stok sapi nasional saat ini berada di angka sekitar 13 juta hingga 14 juta ekor, sementara kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia sekitar 3 juta-4 juta ekor per tahunnya.

Pernyataan Mendag Gita disampaikan menyusul bocornya hasil survei yang mengungkapkan, jumlah ternak sapi Indonesia telah berkurang sebanyak 2,4 juta ekor dalam dua tahun terakhir.

Penurunan drastis jumlah ternak sapi ini bertolak belakang dengan target pemerintah untuk mencapai swasembada sapi tahun depan.

Laporan situs berita Tempo menyebutkan stok sapi-sapi pembibitan terus dipotong untuk memenuhi kebutuhan daging sementara harga daging tidak menurun meskipun telah terjadi penambahan jumlah impor sapi selama bulan Ramadan.

Teguh Budiana tidak menampik dugaan banyaknya praktek pemotongan sapi produktif untuk memenuhi kebutuhan daging di dalam negeri. Menurutnya dalam kasus seperti itu pihak peternak tidak bisa disalahkan mengingat mayoritas peternak sapi di Indonesia adalah peternak tradisional berskala kecil yang mungkin terdesak memenuhi kebutuhan keluarganya.

Sebaliknya Asosiasi Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia menuding tidak adanya upaya pencegahan dan pengawasan praktek pemotongan sapi betina produktif oleh  pemerintah.

“Kalau pemerintah konsekwen dengan program swasembada sapi, harusnya pemerintah memperketat pengawasan di RPH untuk memastikan sapi-sapi betina yang masih produktif tidak dipotong, tapi sejauh ini langkah itu belum dilakukan,” ungkapnya.

Upaya pencegahan pemotongan sapi itu harus dilakukan oleh pemerintah karena hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang kompeten seperti dokter hewan atau petugas khusus yang bisa memastikan sapi itu masih produktif. Sayangnya mekanisme penempatan orang-orang yang kompeten seperti itu di RPH belum disiapkan pemerintah.

Langkah pengawasan seperti itu menurutnya sangat penting mengingat RPH saat ini menjadi satu-satunya pintu yang bisa mencegah terus berlanjutnya praktek pemotongan sapi betina produktif yang bisa mengancam kelanjutan stok bibit ternak sapi didalam negeri.

“RPH-RPH nakal yang memotong sapi betina produktif harus ditindak. Kalau perlu diberi sangsi berat. Itu sudah menjadi tuntutan kami sejak lama,” tegasnya.

Hingga kini otoritas Kementrian Pertanian yang dihubungi Radio Australia mengenai hal ini belum bersedia memberikan keterangan.

Sejumlah instansi pemerintah termasuk Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian dan Bulog akan mengadakan pertemuan membahas isu ini dan mencari solusi atas krisis ternak sapi di Indonesia.