ABC

Polda NTT Ungkap Dugaan Penyuapan Awak Kapal Indonesia oleh Petugas Australia

Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) mengungkap rincian dan kronologi dugaan penyuapan yang dilakukan oleh petugas Bea Cukai (Customs and Border Protection) Australia terhadap awak kapal asal Indonesia. Uang dolar AS pecahan 100 senilai total 31 ribu turut disita sebagai barang bukti.

Dalam pemaparan yang disampaikan AKBP Ronalzie Agus dari Polda NTT kepada wartawan ABC, disebutkan bahwa petugas patroli perbatasan Australia itu mencegat perahu asal Indonesia yang mengangkut 65 imigran gelap, akhir Mei 2015.

Ronalzie menjelaskan, perahu yang diawaki 6 orang Indonesia itu mengangkut 10 imigran Bangladesh, 54 imigran Sri Lanka, dan seorang asal Myanmar.

Menurut hasil penyelidikan polisi, perjanalan para imigran itu bermula dari pantai selatan Jawa Barat hingga ke perairan internasional di lepas pantai Timor Leste sebelum dicegat oleh patroli Australia, dan dipulangkan kembali ke wilayah Indonesia.

Menurut Ronalzie, polisi telah memeriksa enam orang saksi di samping kapten dan awak kapal.

Nakhoda Yohanis Humiang dengan barang bukti uang dolar diperiksa Polda NTT.
Nakhoda Yohanis Humiang dengan barang bukti uang dolar diperiksa Polda NTT.

 

Kronologi kejadian

Dokumen penyelidikan polisi itu juga mengungkapkan bahwa lima orang awak kapal ini berasal dari Manado dan satu orang asal Jakarta. Menurut polisi, keenamnya direkrut oleh sindikat penyelundup manusia awal April 2015.

Perekrut itu telah diketahui oleh polisi dengan inisial AJ, yang merekrut keenam awak kapal untuk bekerja di kapal nelayan dengan iming-iming imbalan Rp 150 juta.

Menurut polisi, mereka diketahui berkumpul di Hotel Cempaka pada 16 April, sebelum melakukan perjalanan dengan bus ke Tegal.

Kelompok ini menginap di sebuah hotel di Tegal sembari mencari perahu yang akan mereka pergunakan. Begitu perahunya ditemukan, dari Tegal mereka berlayar menyusuri Laut Jawa di utara ke Cidaun di pantai selatan Jawa Barat.

Dokumen polisi menyebutkan, sindikat itu kemudian mulai mendatangkan 65 orang imigran gelap pada Pukul 2 pagi, tanggal 5 Mei 2015, untuk menaiki perahu.

Salah seorang saksi berinisial AY, yang diduga menyiapkan akomodasi bagi awak kapal, memberitahu awak kapal itu untuk membawa para imigran ini ke Selandia Baru.

Pada sekitar Pukul 4 pagi di hari yang sama, perahu kayu itu pun angkat sauh dan berlayar kembali menyusuri Laut Jawa, ke arah timur melewati Bali dan terus ke timur.

Begitu lepas Timor Leste, perahu itu memasuki perairan internasional dan dicegat patroli bea cukai Australia.

Para petugas Australia kabarnya menjelaskan kepada awak dan penumpang perahu tersebut bahwa mereka tidak boleh masuk ke perairan Australia.

Petugas bea cukai itu juga kabarnya membagikan kartu peringatan bertuliskan, "Tanpa visa anda tidak diperobolehkan masuk ke Australia".

Sesudah itu, menurut dokumen penyelidikan polisi NTT, perahu tersebut dilepaskan. Namun, dengan tidak mengindahkan peringatan petugas Australia, perahu itu terus berlayar.

Empat hari kemudian, mereka kembali dicegat oleh patroli Australia yang terdiri atas kapal bea cukai dan kapal perang Angkatan Laut, diduga saat masih di perairan internasional.

Perahu Jasmine yang digunakan mengangkut para imigran kembali ke Indonesia.
Perahu Jasmine yang digunakan mengangkut para imigran kembali ke Indonesia.

Kapten kapal bernama Yohanis Humiang, kabarnya naik ke kapal bea cukai Australia, diinterogasi, dan diperingatkan bahwa ia tidak bisa meneruskan perjalanan ke Selandia Baru karena kondisi perahunya serta ombak yang besar.

Menurut dokumen penyelidikan Polda NTT, diduga keras terjadi kesepakatan antara petugas bea cukai Australia dengan Yohanis Humiang, bahwa perahunya akan diamankan dan dikawal ke perairan Australia yang memakan waktu empat hari.

Begitu tiba di titik yang dituju, semua penumpang dan awak perahu diidentifikasi oleh petugas bea cukai Australia. Setelah itu, sebagian penumpang dipindahkan ke kapal bea cukai dan sisanya tetap di perahu dinakhodai Yohanis Humiang.

Setelah itu, perahu tersebut digiring ke wilayah Australia di Ashmore Reef, sementara awak perahu dan para imigran dipindahkan ke kapal perang AL Australia.

Menurut polisi, awak perahu dan para imigran itu kemudian dipindahkan ke dua buah perahu berbeda, masing-masing bernama Jasmine dan Kanak, yang konon disiapkan oleh petugas Australia.

Satu perahu dimuati 32 imigran dan satunya lagi 33 orang, masing-masing dengan tiga awak kapal. Menurut saksi, mereka diberi jaket pelampung, peta dan petunjuk arah ke Pulau Rote.

Diperkirakan, pada saat itulah petugas Australia diduga memberikan 6 ribu dolar kepada nakhoda seta masing-masing 5 ribu dolar kepada awak perahu asal Indonesia.

Lalu, kedua perahu itu pun berlayar kembali ke perairan Indonesia, selama sekitar 8 jam, sampai salah satu perahu, yaitu Jasmine kehabisan bahan bakar sehingga semua awak dan penumpangnya dipindahkan ke perahu satunya lagi, Kanak.

Kepada penyidik Polda NTT, saksi menjelaskan bahwa para imigran itu marah dan bertengkar satu dengan lainnya serta mengancam para awak kapal.

Perahu Kanak yang karam di sekitar Pulau Rote.
Perahu Kanak yang karam di sekitar Pulau Rote.

Pada sekitar Pukul 5 sore tanggal 31 Mei 2015, perahu Kanak kemudian kandas di perairan dangkal terumbu karang di Pulau Landu, dekat Rote di Timor Barat.

Sejumlah orang loncat ke laut dan berenang ke pantai. Penduduk kampung pun kemudian menolong mereka.

Menurut polisi, nakhoda dan awak kapal kemudian menyewa perahu dan berlayar ke Pulau Rote.

Sementara penduduk kampung di Pulau Landu melaporkan kepada polisi mengenai adanya imigran gelap yang terdampar di pulau mereka.

Polisi kemudian tiba di lokasi dan mengamankan para imigran tersebut, dan langsung melakukan pengejaran kepada nakhoda dan awak kapal yang melarikan diri.

Pada hari yang sama, 31 Mei 2015, sekitar Pukul 9 malam nakhoda dan lima awak kapal berhasil ditangkap polisi di Pulau Rote.

Keenamnya kini dalam tahanan polisi dan bisa terancam 15 tahun hukuman penjara atas perbuatan mereka serta denda Rp 1,5 miliar.

Sementara ke-65 imigran gelap itu hingga kini dalam pengawasan Imigrasi dan ditempatkan di satu lokasi di Kupang.