Pola Tidur Manusia Modern Mungkin Masih Sama Dengan Manusia Purbakala
Saat mengalami kesulitan tidur, kita kerap menyalahkan teknologi dan kehidupan modern. Tetapi penelitian baru menunjukkan pola tidur kita tidak terlalu menyimpang jauh dari kebiasaan tidur orang-orang di masa lalu.
Dalam sebuah makalah yang diterbitkan di Current Biology, para peneliti AS mengungkapkan pola tidur manusia hanya berubah sedikit sepanjang sejarah evolusi.
Bukan hanya cahaya, tetapi suhu cuaca juga memegang peranan kunci untuk memudahkan beristirahat dan tidur.
Penemuan ini berdasarkan pada pengamatan yang dilakukan terhadap kelompok tradisional, yang memiliki kebiasaan berburu, di kawasan-kawasan terpencil dekat khatulistiwa.
Penelitian dilakukan oleh Profesor Jerome Siegel dari University of California, Los Angeles.
Kelompok yang ia teliti adalah 94 orang yang berasal dari kelompok di kawasan terpencil yang masih hidup dengan cara tradisional. Mereka berasal dari kelompok Hadza di Tanzania, kelompok San di Namimbia, dan kelompok Tsimane asal Bolivia.
Ia menemukan orang-orang dari kelompok tradisional tersebut memiliki waktu beristirahat sekitar 6,5 jam. Jumlah ini hampir sama dengan kehidupan manusia modern di tengah jaman teknologi.
Dengan temuan ini, Dr Siegel seolah membantah jika tidur orang modern sudah sangat berkurang karena adanya teknologi.
Sebelumnya juga ada anggapan bahwa waktu tidur manusia berkurang karena penemuan lampu listrik, sehingga tidak menciptakan suasana yang gelap.
Dr Siegel mengaku jika dirinya terkejut dengan keseragaman pola tidur di tiga kelompok masyarakat tradisional, padahal satu sama lain berada di lokasi yang berbeda-beda.
Ini bisa menunjukkan sebagai, "pola dasar kebiasaan tidur orang-orang di era pra-modern, atau di jaman Homo Sapiens," kata Dr Siegel.
"Hal ini memiliki implikasi penting bagi pemikirian sebelumnya, jika kita perlu menelan pil tidur karena tidur telah berkurang, karena meningkatnya penggunaan listrik, TV, internet, dan sebagainya."
Dr Siegel mengatakan dari analisis soal tidur pula diketahui jika suhu udara lebih memerangkan peranan penting, ketimbang faktor cahaya.
"Tidur itu terjadi saat periode terdingin dari malam dan saat suhu udara menurun antara matahari terbenam dan matahari terbit," ujarnya.
"Ketika suhu mencapai minimum, biasanya manusia bangun, dan ini adalah saat mendekati matahari terbit," jelas Dr Siegel.
Penemuan soal peranan suhu udara ini bisa terus dikembangkan untuk menghemat energi, dengan mengurangi perbedaan antara suhu tubuh dan lingkungan dan melihat konsekuensi dari panas yang hilang.
Dr Siegel juga menambahkan jika studi soal suhu udara ini dapat digunakan untuk mengobati insomnia dan gangguan tidur lainnya.
Sementara itu, presiden dari Asosiasi Studi Tidur di Australia, Nick Antic mengatakan para peneliti telah melakukan pendekatan yang menarik. Tapi ia masih mempertanyakan kesimpulan dari studi yang ada.
"Untuk membandingkannya secara langsung dengan warga yang hidup di negara-negara barat masih merupakan sesuatu yang besar," katanya.
Profesor Antic mengatakan setiap usia memiliki waktu tidur yang berbeda-beda. Yayasan yang meneliti tidur di Amerika Serikat misalnya, menyebutkan mereka yang berusia 18 hingga 25 tahun membutuhkan waktu tidur tujuh sampai sembilan jam.
"Para peneliti tidak menunjukkan apakah mereka [orang-orang dari kelompol tradisional] memiliki kinerja yang baik, sehingga kita tidak tahu apakah tidur [mereka] cukup untuk dapat tampil optimal," dia berkata.