ABC

PM Selandia Baru Minta Maaf Atas Kegagalannya yang Menyebabkan Masjid Diserang

Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern menyampaikan permintaan maaf atas kegagalan pihak berwenang dalam menjaga keamanan masyarakat terkait aksi terorisme di Christchurch tahun 2019 lalu.

Permintaan Maaf PM Ardern

  • Laporan setebal 800 halaman mengkaji seluruh peristiwa serangan terorisme di Christchurch
  • Brenton Tarrant yang melakukan serangan kini menjalani hukuman penjara seumur hidup
  • Laporan mengatakan petugas kontraterorisme lebih sibuk memonitor ekstrimisme kalangan Muslim

Sebuah penyelidikan nasional yang disebut ‘Royal Commision’ telah mengajukan serangkaian aturan baru guna mencegah kemungkinan serangan serupa di masa depan.

Di bulan Maret 2019, pria Australia bernama Brenton Tarrant menembak jemaah di dua masjid di Christchurch, sehingga menewaskan 51 orang dan mencederai 40 orang lainnya.

Penyelidikan tersebut mengusulkan dibuatnya sebuah aturan baru untuk menangkap pihak yang merencanakan atau mempersiapkan serangan terorisme, serta memperkuat aturan hukum mengenai ‘hate speech’ atau ujaran kebencian.

PM Jacinda Ardern mengatakan di dalam aturan tersebut akan ada akuntabilitas, di mana pihak yang berbuat akan dimintai pertanggung jawaban.

Ia juga mengatakan penerapan usulan ini akan menjadi ‘pembayaran hutang’ terhadap mereka yang meninggal karena serangan.

“Tentang bagaimana serangan terjadi dan apa yang seharusnya bisa dilakukan untuk mencegahnya, penyidik tidak menemukan adanya kesalahan pada pekerjaan badan pemerintah yang berkapasitas mendeteksi perencanaan dan persiapan sang pelaku teror,” kata PM Ardern.

“Tetapi mereka menemukan banyak pelajaran yang bisa diambil dan beberapa bagian penting yang harus diubah.”

Laporan itu menyimpulkan bahwa Dinas Intelijen Selandia Baru gagal melakukan penyelidikan terhadap kelompok ekstrim sayap kanan sebelum serangan terjadi.

Datang ke Selandia Baru ‘untuk membunuh’

Dalam laporan setebal 800 halaman tersebut diungkapkan bahwa Brenton Tarrant mengalami cedera akibat senjata api di bagian mata dan pahanya pada tahun 2018, setahun sebelum serangan terjadi.

“Yang bersangkutan memberitahu Petugas Departemen Keadaan Darurat bahwa cederanya disebabkan oleh beberapa amunisi yang meledak ketika ia sedang membersihkan senjatanya,” bunyi laporan tersebut.

Tarrant sempat dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan di kota Dunedin, Selandia Baru, namun kejadian tersebut tidak dilaporkan ke polisi.

Komisi Penyelidikan Nasional kini mengusulkan agar Selandia Baru mewajibkan semua petugas kesehatan untuk melaporkan cedera akibat senjata api kepada polisi.

Police outside a home in Dunedin, New Zealand.
Brenton Tarrant disebut sudah mulai merencanakan serangan teror tidak lama setelah tiba di Selandia Baru di tahun 2017.

ABC News: Barbara Miller

Laporan tersebut juga menemukan bahwa Tarrant sudah merencanakan serangan tersebut hampir segera setelah mendarat di Selandia Baru tahun 2017.

Namun laporan ini menyimpulkan bahwa polisi dan pihak berwenang yang mengurusi kontraterorisme tidak akan tahu mengenai rencana serangan.

“Melihat keamanan operasional yang berhasil dibangun yang bersangkutan…dan kapasitas badan kontraterorisme, tidak ada kemungkinan baginya untuk terdeteksi, kecuali karena kebetulan,” bunyi laporan itu.

Brenton Tarrant dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atas 51 pembunuhan, 41 usaha berusaha melakukan pembunuhan dan satu tindak terorisme.

Hasil wawancara Tarrant dengan komisi tidak akan pernah dibuka untuk publik sehingga tidak menginspirasi pihak lain untuk melakukan tindakan yang sama.

Muslim harus merasa aman

Badan-badan pemerintah Selandia Baru telah gagal melindungi komunitas Muslim Christchurch, menurut perwakilan dari dua masjid yang menjadi sasaran serangan teror.

Gamal Fouda, imam di masjid Al Noor Christchurch, mengatakan dia telah melaporkan orang-orang yang mencurigakan berkeliaran di sekitar masjid dan kecewa dengan tanggapan polisi.

PM Ardern mengatakan semua warga di Selandia Baru harus merasa aman.

“Warga Muslim Selandia Baru harus merasa aman,” kata Ardern.

“Siapa pun yang menyebut Selandia Baru sebagai rumah, terlepas dari ras, agama, jenis kelamin, atau orientasi seksualnya harus merasa aman.”

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dan lihat artikelnya dalam bahasa Inggris di sini.

Ikuti berita seputar pandemi Australia dan lainnya di ABC Indonesia.