ABC

PM Bob Hawke Menangis Melihat Peristiwa Tiananmen

Australia termasuk negara yang cukup terpengaruh oleh protes berdarah Tiannamen Square di China tahun 1989. Peristiwa ini tercatat membuat Perdana Menteri Australia waktu itu, Bob Hawke, meneteskan air mata di depan umum dan Australia pun membolehkan warga China yang ada di Australia pada saat itu untuk tetap berada di Australia bila berkenan.

Hawke membolehkan mereka tetap di Australia karena tak ingin mereka pulang ke tempat di mana nasib mereka tak menentu.

Yang memberi kabar tentang peristiwa yang kabarnya memakan korban ratusan, bahkan ribuan, itu adalah para diplomat Australia yang berada di China waktu itu.

Salah satunya adalah Gregson Edwards, yang saat itu menjabat petugas media kedutaan besar Australia di China. Ia menyelundupkan rekaman dari kantor-kantor berita internasional keluar dari China agar bisa disiarkan.

Liu Xiabo, pemenang penghargaan nobel perdamaian, sempat ditawarkan suaka di Australia pada tahun peristiwa Tiannamen terjadi. Ia menolak, dan kritikus yang menjadi aktivis itu pun ditangkap dan disiksa.

Sebelum peristiwa Tiannamen terjadi pada tanggal 3 dan 4 Juni 1989, Liu Xiaobo sudah berteman dengan konselor budaya kedutaan besar Australia di Beijing, yaitu Nick Jose.

Jose bercerita bahwa Ia sempat ingin menyelamatkan Liu Xiaobo. "Saya antar dia menggunakan mobil saya ke gerbang kedutaan besar. Saya berkata. 'Ini dia, kita bisa masuk, gerbang dibuka, ditutup, dan kamu pun sudah mencari suaka dari Australia, atau kamu bisa mencari teman-teman yang tinggal dekat sini', teman yang juga saya kenal," cerita Jose.

"Ia mempertimbangkan itu, menatap saya dan berkata, 'Terimakasih, tapi, tidak,' Ia akan tinggal di China. Ia orang China, China adalah negaranya, China adalah nasibnya."

Malam itu, sekitar jam 11, pacar Liu Xiaobo menelepon, dan bercerita bahwa Liu Xiaobo disergap oleh orang-orang yang mengendarai mobil van.

Jose berhasil menyelamatkan penyanyi Taiwan Hou Dejian, yang juga mendukung gerakan mahasiswa, seperti halnya Liu Xiaobo.

"Seingat saya, Ia dimasukkan ke dalam dengan ditutupi selimut," ceritanya, "Tapi Ia tiba dengan selamat. Kita amat mengkhawatirkan dia. Ada diskusi tentang apa yang terjadi dengan duta besar, diplomat senior lainnya, dan kita memutuskan bahwa ini pantas diperjuangkan, yaitu memberi suaka padanya."

David Sadleir, yang saat itu menjabat duta besar, bercerita bahwa mereka menunda memberi tahu pemerintah China bahwa Hou Dejian ada di dalam kedutaan, dengan pertimbangan ketegangan akan menurun, China akan ingin kembali ke dunia internasional, dan kesempatan untuk mengeluarkan Hou Dejian dalam keadaan selamat pun lebih besar.

Setelah negosiasi berlangsung, Hou Dejian keluar dari kedutaan besar. Kemudian, Ia dibawa dengan truk ke Tianjin, dibawa dengan menggunakan perahu nelayan ke Taiwan. Dari situ, Ia berangkat ke Selandia Baru, cerita Jose dan Sadleir.

Atase militer Angkatan Udara, Kapten Peter Everett, pada saat itu bekerja dengan rekan-rekannya dari kedutaan besar negara barat lainnya. Ia mengumpulkan 72 peluru "dumdum" yang ditembakkan ke bangunan staf kedutaan besar di dekat jalan besar Chang An Boulevard.

"Intinya dikelilingi timah. Kemudian dilapisi lagi oleh tembaga tipis yang bisa mengelupas seperti pisang," jelas Everett tentang peluru tersebut. Dari keterangannya, staf kedutaan besar bisa menangkap betapa berbahayanya situasi saat itu.

Setelah penyerangan terhadap demonstran, berbagai peristiwa kekerasan pun mulai menyebar di Beijing. Hingga, keluar keputusan untuk mengevakuasi kedutaan besar, dan hanya meninggalkan beberapa staf.

Namun, sebelum pergi, peralatan pembuat kode rahasia dan dokumen rahasia harus dihancurkan dulu. Salah satu yang melakukan ini adalah Kerry Costanzo, seorang stenografer.

"Waktu itu, kita harus membakar sebanyak mungkin dokumentasi, menghancurkan sebanyak mungkin alat komunikasi dan hal-hal lain," ceritanya.

Ada yang bertanya-tanya, apakah Australia akan bertindak serupa bila peristiwa itu terjadi saat ini, mengingat pentingnya hubungan ekonomi China-Australia sekarang.