ABC

Pihak yang Pro dan Kontra Perubahan Iklim Diminta Tak Saling Serang

Hasil penelitian terbaru mengungkap, mereka yang sepakat dan mereka yang ragu akan adanya perubahan iklim mudah tersulut oleh kemarahan masing-masing terhadap satu sama lain.

Penelitian tersebut, yang diterbitkan pada (3/2) di jurnal ‘Nature Climate Change’, menunjukkan, upaya untuk memahami dinamika kelompok dan meningkatkan dialog adalah kunci dalam mencapai konsensus tentang perubahan iklim.

"Pengetahuan dan pendidikan tentang sains itu penting tapi mereka sendiri tak cenderung mengarah ke konsensus," kata ilmuwan social, Dr Ana-Maria Bliuc, dari Universitas Monash.

Bagaimana masyarakat saling berkomunikasi tentang perubahan iklim benar-benar berpengaruh. (iStockphoto: AMR_Photos)

Sementara sebagian besar ilmuwan percaya bahwa manusia berkontribusi terhadap perubahan iklim, masyarakat umum – baik yang ada di Australia dan belahan Bumi lainnya – terbelah pada pertanyaan seputar penyebab perubahan iklim.

"Pandangan masyarakat tentang perubahan iklim sangat bervariasi. Beberapa orang yakin bahwa perubahan iklim terjadi dan disebabkan oleh tindakan manusia (golongan yang percaya perubahan iklim), sementara lainnya memiliki keraguan tentang apakah mungkin perubahan iklim disebabkan oleh manusia (golongan yang skeptis terhadap perubahan iklim)," jelasnya.

Pemahaman yang berbeda ini dikaitkan dengan beberapa faktor seperti sikap politik, status sosial-ekonomi, nilai-nilai moral, tingkat pemahaman ilmiah dan kegagalan komunikasi sains.

Ana-Maria dan koleganya menggunakan sebuah survei online untuk menyelidiki apa yang ada di balik pemahaman 120 orang dengan pandangan skeptis dan pemahaman 328 orang yang sepakat.

Mereka melihat seberapa kuat individu merasa dirinya terikat pada satu kelompok atau kelompok lainnya, seberapa efektif mereka berpikir bahwa kelompok mereka bisa membawa perubahan sosial atau politik, dan bagaimana marahnya terhadap kelompok lain.

Bagi kedua kubu (yang percaya dan yang skeptis), semakin kuat tiap-tiap variabel ini, semakin aktif masyarakat untuk mempromosikan pemahaman mereka, kata Ana-Maria.

"Sebagai contoh, seseorang yang sangat skeptis dan cukup marah terhadap mereka yang percaya, lebih mungkin untuk melakukan aksi protes, menyumbangkan uang untuk organisasi yang sama-sama skeptis, atau menulis blog online untuk mencoba membujuk orang lain agar mempercayai pandangan mereka ,” tuturnya.

Ia menambahkan, "Ini bukan hanya pendapat Anda yang penting. Ini adalah fakta bahwa pendapat Anda telah menjadi bagian dari identitas kelompok Anda."

Temuan dari studi baru ini menunjukkan, selama identitas kelompok skeptis dan kelompok yang percaya tetap kuat, tindakan mereka cenderung untuk mempolarisasi perdebatan.

Ana-Maria mengatakan, studi sebelumnya telah fokus pada upaya untuk memahami kelompok yang skeptis tapi studi tersebut benar-benar unik karena melihat pada kedua sisi, yakni kelompok skeptis dan kelompok yang percaya.

"Kami melihat kelompok-kelompok tersebut sebagai dua gerakan sosial dalam konflik. Apa yang dilakukan satu kelompok akan mempengaruhi apa yang dilakukan kelompok lain," utaranya.

Ia menjelaskan, jika, misalnya, orang-orang yang percaya bertindak atau berkomunikasi dengan cara tertentu yang meningkatkan amarah di kelompok skeptis, maka kemungkinan pihak yang skeptis juga akan menjadi lebih aktif.

"Lebih baik fokus pada komunikasi, untuk menjaga dialog tetap terbuka dan mencoba untuk tak mengejek, mengabaikan dan memusuhi satu sama lain," sebutnya.

Dr Ana mengungkapkan, hal yang berguna untuk mengalihkan fokus dari perdebatan tentang penyebab perubahan iklim demi ‘tujuan bersama yang lebih luas’, yang terkait dengan pelestarian lingkungan.

"Mungkin kita bisa menerima perselisihan di tingkat tertentu," tuturnya.

Penelitian ini sebagian didanai oleh Dewan Penelitian Australia.