ABC

Peter Susanto, Si Jenius Asal Indonesia yang Mengukir Prestasi di Australia

Sebuah lomba anak-anak jenius di Australia, Child Genius, menjadi ajang munculnya Peter Susanto, putra dari pasangan Henri dan Lenny Susanto asal Jawa Timur. Dia berhasil meraih peringkat ketiga.

Lomba yang ditayangkan oleh jaringan televisi SBS itu berakhir minggu lalu setelah tayang enam episode, bekerja sama dengan MENSA, sebuah organisasi nirlaba yang menghimpun orang-orang yang memiliki IQ tinggi.

Peter (12 tahun) bersama adiknya Eva (9 tahun) merupakan anggota MENSA mewakili Northern Terrotory (NT).

Hanya mereka yang memiliki IQ di atas 132 yang bisa diterima keanggotaannya dalam MENSA.

Child Genius merupakan ajang lomba bagi anak-anak jenius umur antara 9 dan 12 tahun. Mereka diuji dalam berbagai kategori antara lain matematika, pengetahuan umum, sains, menghapal, mengeja dalam Bahasa Inggris.

Pembawa acaranya yaitu Dr Susan Carland, seorang penyiar TV terkenal di Australia.

Peter dengan salah satu medali yang diperolehnya mengikuti lomba
Peter dengan salah satu medali yang diperolehnya.

Foto: Istimewa

Peter sejak awal lomba merupakan salah satu yang difavoritkan untuk menang, karena selalu mendapat nilai terbaik dalam beberapa kategori awal.

Hanya saja di babak akhir menjelang final, terjadi kontroversi ketika Peter mendapatkan nilai 19 dari maksimal 20 dalam kategori teknologi masa depan.

Dalam episode tersebut, Henri mengajukan pertanyaan kepada panitia mengenai jawaban anaknya Peter yang dianggap salah. Henri beranggapan pertanyaannya kurang jelas.

Namun seorang juri yang menjadi pemutus akhir tetap mengatakan jawaban Peter salah. Dia harus bertanding lagi dengan seorang peserta perempuan karena sama-sama mendapatkan nilai 19.

Di babak ‘play off’ ini Peter kalah sehingga gagal maju ke babak final, dan hanya meraih posisi ketiga.

Keluarga Henri Susanto bermukim di ibukota NT, Darwin, setelah sebelumnya tinggal di Adelaide.

Peter sekarang duduk di kelas 9 sekolah swasta Haileybury Rendall di Darwin.

Walau baru ditayangkan, rekaman acara tersebut sebenarnya sudah dilakukan beberapa bulan lalu.

Dalam Bahasa Indonesia yang lancar dengan logat Jawa, Peter berusaha mengenang hal positif dari lomba tersebut.

Dia mengaku sudah bisa melupakan kekecewaannya dalam lomba tersebut, meski sampai sekarang dia masih yakin jawaban yang dia berikan dalam lomba tersebut benar.

“Saya bisa berjumpa dengan teman-teman yang ikut lomba, dan sampai sekarang saya masih melakukan kontak dengan mereka,” kata Peter kepada wartawan ABC Sastra Wijaya.

Peter yang baru merayakan ulang tahun ke-12 bulan Oktober lalu dengan yakin mengatakan ingin menjadi dokter, sekaligus bisa memberikan sumbangan sosial.

"Saya ingin jadi dokter yang bisa menemukan obat untuk menyembuhkan banyak orang seperti misalnya HIV atau Ebola," katanya.

Peter bersama keluarganya ketika berlibur di Surabaya
Peter bersama keluarganya ketika berlibur di Surabaya

Foto: Istimewa

Sejak kecil sudah menunjukkan perbedaan

Peter lahir di Adelaide (Australia Selatan) karena sebelumnya kedua orangtuanya, Henri dan Lenny pernah tinggal dan belajar di sana, sebelum pindah ke Darwin.

Henri seorang insinyur kimia yang bekerja di perusahaan pemerintah, sementara Lenny bekerja sebagai guru.

Kepada ABC, Lenny mengaku sudah melihat perbedaan pada diri Peter dalam hal kecerdasan sejak anak itu masih kecil.

“Saya ingat di usia 2 tahunan, dia sudah bisa menerjemahkan percakapan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia untuk neneknya,” jelas Lenny.

“Padahal ketika itu dia sama sekali tidak kami ajari Bahasa Inggris, karena di rumah kami menggunakan Bahasa Indonesia campur Jawa,” tambahnya.

Hal lain yang berkesan bagi Lenny yaitu ketika masuk sekolah, Peter pernah menyelesaikan persoalan yang dihadapinya dengan seorang murid lain, yang melakukan bully terhadapnya.

“Dia kemudian berteman dengan murid yang membully tersebut, karena Peter mengaku beberapa kali dipukul anak tersebut. Dia memutuskan berteman dengannya, dan kemudian bullying itu berhenti. Saya terkesan dengan jalan pikirannya di usia yang masih begitu muda,” tambah Lenny lagi.

Sampai di usia 12 tahun, Lenny melihat anaknya ini tidak sekadar mampu di bidang akademik, namun juga sudah berpikir jauh ke depan, misalnya melakukan kegiatan sosial.

"Setiap minggu, dia dan adiknya berjualan kue khas Indonesia yang dibuat neneknya di salah satu kawasan pinggir pantai di Darwin," kata Lenny.

“Hasil keuntungan penjualan kue tersebut digunakan membeli coklat dan buku-buku yang disumbangkan kepada anak-anak ketika kami pulang ke Indonesia,” jelasnya.

Malah sekarang, menurut Lenny, Peter sudah memikirkan untuk membantu anak-anak aborijin di Darwin yang memiliki prestasi bagus di sekolah.

“Dia melihat bahwa perhatian untuk anak-anak aborijin untuk bergerak di bidang olahraga sudah ada, namun di bidang akademik belum banyak. Jadi dia sekarang berusaha mencari sponsor untuk mengumpulkan dana bantuan kepada anak-anak aborijin yang berprestasi,” tutur Lenny.

Lenny enggan mengungkapkan berapa ukuran IQ yang dimilki Peter. Namun faktanya, Peter sejauh ini sudah meloncat tiga tahun di masa sekolah, dibandingkan anak-anak seusianya.

Dia duduk di kelas 9 pada usia 11 tahun, padahal rata-rata murid lain di kelas tersebut berusia 14-15 tahun.

Selain Child Genius Australia 2018, Peter juga terlibat dalam beberapa kegiatan lainnya.

Belum lama ini dia mendapat penghargaan tertinggi Kompetisi Matematika Kelas 9 terbaik di Northern Territory.

Selain itu, Peter juga menjadi juara Kelas 9 lomba Australian History Competition (Lomba Sejarah Australia), serta ikut lomba robot junior nasional 2018 dan mendapat tempat kedua di kategori Open Maze.

“Saya menyukai semua pelajaran di sekolah,” kata Peter saat ditanya pelajaran favoritnya.