ABC

Perusahaan Global Lakukan Aksi Atasi 40 Juta Buruh Perbudakan Modern

Ketika salah satu perusahaan makanan terbesar di dunia, Nestle, menemukan perbudakan di rantai pasokannya pada tahun 2015, perusahaan itu membuat pengakuan publik, sebuah langkah yang dipuji oleh kelompok anti-perbudakan.

Nestle telah melakukan penyelidikan beberapa bulan sebelumnya setelah media melaporkan bahwa para pekerja di industri perikanan Thailand diperlakukan secara brutal.

Investigasi perusahaan menemukan, banyak dari pekerja itu berasal dari Myanmar dan Kamboja.

Beberapa dari mereka benar-benar dirantai ke kapal nelayan Thailand. Beberapa dianiaya secara fisik. Sebagian besar dibayar kecil, jika memang dibayar.

Para pekerja ini memasok sebagian besar makanan laut yang Nestle dan perusahaan lainnya jual ke konsumen.

Kepala eksekutif organisasi anti-perbudakan, The Freedom Fund, Nick Grono, mengatakan kepada bahwa ia baru saja berada di Thailand dan berbicara dengan para korban praktik perbudakan tersebut.

“Kami bertemu dengan orang-orang yang telah diperbudak di kapal penangkap ikan selama enam atau delapan tahun sekaligus, dengan kekerasan yang mengerikan,” katanya.

Sejak awal penyelidikan Nestle, perusahaan itu telah merilis temuannya di depan umum, serta tindakan yang diambil untuk memperbaiki masalah tersebut.

Margaret Stuart dari Nestle Oceania mengatakan bahwa perusahaannya tidak sendiri dalam memiliki produk dengan bahan yang didapat menggunakan tenaga kerja model perbudakan.

“Jika Anda memperoleh bahan ikan dari Thailand, maka Anda punya masalah,” sebutnya.

“Ada banyak masalah yang mewabah di seluruh industri itu dalam hal pelanggaran hak asasi manusia, dan kami telah terus-menerus mengatasinya selama beberapa tahun terakhir untuk mencoba dan menerapkan beberapa solusi.”

Bukankah perbudakan telah ditinggalkan tahun 1800an?

Perbudakan modern adalah istilah yang luas, yang melibatkan berbagai praktik eksploitatif, termasuk perdagangan manusia, kerja paksa, eksploitasi upah, pekerja anak dan perbudakan bersistem hutang.

Nick Grono mengatakan, kebanyakan orang terkejut bahwa perbudakan masih ada.

“Banyak orang akan berpikir, ‘Bukankah kita menghapuskan sebagian besar perbudakan di tahun 1800an?’,” sebutnya.

Jadi, bagaimana mungkin perusahaan multinasional benar-benar tahu apa yang terjadi pada setiap tahap rantai pasokannya?

Industri pertambangan memiliki beberapa rantai pasokan yang paling kompleks di dunia.

Vanessa Zimmerman memimpin Human Rights Leadership Group untuk Global Compact Network Australia -inisiatif tanggung jawab sosial korporat sukarela terbesar di dunia -dan ia juga merupakan penasihat hak asasi manusia di Rio Tinto.

“Ada sebuah contoh yang dilaporkan setahun lalu, di salah satu dokumen pengiriman yang kami gunakan, jadi tim kami di laut segera mengambil langkah untuk berbicara dengan kapten, untuk berbicara dengan perusahaan yang memiliki kapal tersebut, untuk masuk ke kapal dan melihat kondisi di sana dan bersikeras melakukan perbaikan saat itu juga,” jelasnya.

Perbudakan modern adalah masalah yang banyak diketahui tokoh pertambangan terkemuka, Andrew ‘Twiggy’ Forrest.

Ia telah vokal dalam menyuarakan gerakan anti-perbudakan selama bertahun-tahun.

Bersama putrinya, Grace, Forrest mendirikan kelompok anti-perbudakan Walk Free Foundation di tahun 2011.

Tapi ia juga telah menemukan perbudakan modern di rantai pasokan perusahaan pertambangannya sendiri, Fortescue Metals Group.

“Kami mendapat kecurigaan bahwa kesejahteraan buruh di Timur Tengah tidak sesuai dengan standar dan kami mengirimkan sebuah tim untuk pergi dan memeriksanya dan saat itulah kami menemukan ribuan pekerja di India dan Asia Tenggara diperlakukan jauh lebih buruk daripada hewan ternak,” ungkapnya pada bulan Agustus.

Forrest bisa menggunakan bukti yang dikumpulkan oleh investigasi timnya untuk menekan perusahaan yang terdaftar secara publik di bagian atas rantai pasokan tersebut untuk mengakhiri perlakuan buruk terhadap para pekerjanya.

“Perusahaan itu sejak dulu tidak memiliki standar perburuhan,” sebutnya.

Hukum Inggris desak pengungkapan rantai pasokan

Perbudakan modern memengaruhi hampir setiap industri, mulai dari pertanian dan kelontong hingga pakaian, teknologi, bahkan pengelola dana dan layanan keuangan, industri yang membuat banyak orang berinvestasi.

Pada tahun 2015, negara ini memberlakukan Undang-Undang Perbudakan Modern, sebuah undang-undang yang dirancang untuk memperbaiki upaya memerangi perbudakan.

UU ini mengharuskan perusahaan untuk menerbitkan laporan tahunan di situs mereka mengenai langkah-langkah yang diambil untuk memastikan perbudakan tidak berada dalam rantai pasokan mereka.

Jadi, apakah Australia perlu memberlakukan UU perbudakan modern?

Ini adalah apa yang tengah diselidiki sebuah komite Parlemen di Canberra sejak bulan Februari.

“Apakah Anda membeli kaos atau makanan … kemungkinan ada perbudakan modern dalam rantai pasokannya,” kata Chris Crewther, anggota Parlemen Australia dari dapil Dunkeley dan ketua Sub-Komite Urusan dan Bantuan Luar Negeri.

“Kami telah melihat, misalnya, di sepak bola Sherrin di masa lalu, ada kasus-kasus pekerja anak di rantai pasokan pada tahun 2011. Ada seseorang di daerah pemilihan saya yang pada dasarnya tinggal di dinding rumah pelacuran.”

Upayanya untuk menyusun sebuah UU perbudakan modern menerima lebih dari 200 pengajuan dan sempat disosialisasikan di seluruh Australia.

Namun para kritikus mengatakan bahwa Undang-Undang Perbudakan Modern Inggris tidak berjalan cukup jauh.

Tidak ada persyaratan standar untuk informasi yang perlu disertakan perusahaan dalam pernyataan mereka, dan tidak ada hukuman karena tidak melaporkannya.

Sejauh ini, hanya sekitar 3.000 pernyataan yang telah dihasilkan, dari 12.000 perusahaan Inggris yang seharusnya melaporkan rantai pasokan mereka.

Australia siapkan UU anti-perbudakan

Investigasi Australia tersebut mengeluarkan laporan akhir mereka di bulan Desember, dengan 49 rekomendasi.

Laporan itu mengusulkan untuk melangkah lebih jauh dari undang-undang yang ada di Inggris dan, sejauh ini, baik bisnis maupun LSM tampaknya terpuaskan.

“Tidak sering Anda melihat bisnis yang mendukung peraturan baru dan persyaratan baru, namun kami telah melihat banyak bisnis mendukung dan melakukan hal itu,” kata Vanessa Zimmerman.

Rekomendasi utama dari laporan penyelidikan itu adalah membuat undang-undang yang mewajibkan pelaporan rantai pasokan untuk bisnis, organisasi dan pemerintah dengan omset lebih dari $ 50 juta (atau setara Rp 500 miliar).

Pernyataan tersebut harus dipegang di database pusat, dan harus ada standar dasar dari apa yang diperlukan dalam laporan.

Organisasi yang gagal menghasilkan sebuah pernyataan dapat dikenakan sanksi.

“Kami juga merekomendasikan komisaris anti-perbudakan independen untuk memimpin tuntutan di Australia dalam menangani perbudakan modern,” kata anggota Parlemen Australia dari Partai Liberal, Chris Crewthers.

Sampai undang-undang tersebut disusun – mungkin pada awal tahun 2018 -akan terserah perusahaan untuk mengarahkan diri mereka sendiri ke dalam menyelidiki perbudakan modern, dan terserah konsumen untuk mengajukan pertanyaan tentang rantai pasokan sebelum mereka membeli.

Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.