ABC

Pertukaran Pemuda Muslim Indonesia-Australia Kembali Digelar

Australia-Indonesia Institute (AII) bekerjasama dengan Universitas Paramadina Jakarta kembali membuka kesempatan untuk mengikuti program tahunan pertukaran tokoh muda Muslim kedua negara atau Australia-Indonesia Muslim Exchange Program (MEP) 2017.

Program MEP ini sudah digelar sejak tahun 2002 bertujuan membangun hubungan baik antara masyarakat Muslim Australia dan Indonesia. Yaitu dengan meningkatkan pemahaman dan pengertian peranan agama dalam masyarakat di masing-masing negara.

Program ini meliputi kegiatan kunjungan selama dua minggu ke Australia oleh tokoh muda Muslim dari Indonesia dan kunjungan dua minggu ke Indonesia oleh mitra mereka dari Australia.

Saat ini, pendaftaran untuk MEP 2017 sudah dibuka. Tokoh muda dari berbagai profesi, seperti penulis, akademisi, aktivis lembaga swadaya masyarakat dan organisasi keagamaan dipersilakan untuk mendaftarkan diri di tautan ini.

Menurut koordinator pendaftaran MEP di Universitas Paramadina, Emil Radhiansyah, setiap tahun peminat program semakin meningkat.

“Pada 2015, sebanyak 333 orang mengajukan diri untuk ikut kegiatan ini, dan tahun lalu jumlah pendaftar mencapai 523 orang,” katanya.

“Seluruh proses seleksi ditangani oleh Australia-Indonesia Institute (AII) di Australia. Universitas Paramadina hanya membantu menangani berkas pendaftaran saja,” tambahnya.

Belajar keragaman dan pengakuan bagi minoritas

Peserta MEP 2016
Peserta program MEP 2016 melakukan kunjungan selama 2 minggu ke Australia, Maret 2016.

Dokumentasi: Umar Warfete

Hingga tahun 2016, tercatat sudah 52 peserta Australia dan 132 peserta Indonesia mengikuti program MEP. Beberapa peserta dari Indonesia mengaku banyak belajar mengenai harmonisnya kehidupan umat Islam di Australia di tengah masyarakat yang multikultur di Australia.

Seperti diakui Muslihati, dosen Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Malang (UNM) yang pada bulan Maret 2016 berkesempatan mengunjungi kota Canberra, Melbourne dan Sydney sebagai peserta program MEP 2016.

“Kami banyak belajar mengenai kehidupan dan kegiatan komunitas Muslim di Australia yang berada di lingkungan multikultur dan di negara yang mayoritas non Muslim,” ujar Muslihati kepada Iffah Nur Aifah dari Australia Plus di Jakarta.

“Menurut saya warga Muslim dan penduduk Australia umumnya memanfaatkan sifat multikultur mereka dan masyarakat di sana sepertinya sudah dewasa dalam menyikapi perbedaan dan keragaman. Saya melihat banyak yang belum diterapkan di Indonesia,” katanya.

“Misalnya saja merujuk pada kondisi saat ini di Indonesia, kita bisa melihat ada perbedaan sedikit saja terkait isu agama, gaduh sekali jadinya. Tapi di Australia tidak, mereka lebih memilih berpikir logis,” tuturnya.

Hal lain yang sangat dikagumi Muslihati dari kunjungannya ke Australia adalah mengenai keberadaan polisi yang terugas terkiat urusan multikultur.

“Saking menjunjung tingginya keragaman atau multikultur mereka, di sana itu sampai ada polisi yang khusus menangani isu multikultur,” ujarnya.

“Sepertinya di Indonesia perlu juga mungkin polisi yang khusus menangani keberagaman,” ujarnya sambil tertawa.

Sementara itu peserta MEP 2016 lainnya Umar Warfete dari Papua mengaku lewat program ini dia belajar banyak mengenai pentingnya saling mengenal dan perasaan diakui bagi kelompok minoritas.

“Saya mengunjungi komunitas Aghanistan yang sudah lama menjadi warga Australia. Tapi mereka terlihat bahagia dan tidak merasa diri mereka imigran lagi dan masyarakat di sana juga mendukung,” ujar Umar.

“Situasi ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan di Papua, bagaimana negara mengakui masyarakat asli dengan pendatang,” tambahnya.

Peserta program Muslim Exchange Program Australia - Indonesia 2016
Peserta program Muslim Exchange Program Australia – Indonesia 2016

dokumen: Umar Warfete

Baik Muslihati maupun Umar Warfete mengaku usai mengikuti kegiatan ini mereka berusaha berbagi pengalaman dengan mahasiswa dan kolega di lingkungannya masing-masing.

“Karena saya pengajar di jurusan bimbingan dan konsultasi, saya mengajak mahasiswa belajar di luar ruangan, guna meresapi lingkungan sekitar mereka,” ujar Muslihati.

“Metode pengajaran ini terinspirasi dengan sebuah tempat di Canberra yang saya kunjungi bernama ‘Bible Park’. Di situ semua pohon yang ada di dalam Injil ditanam dan menjadi semacam tempat berkontemplasi,” katanya.

“Saya ingin sekali ada taman serupa di sini. ‘Taman Alqur’an. Dimana bisa ditanami berbagai tanaman atau memelihara hewan yang disebut di dalam Alqur’an. Jadi bisa sekaligus menjadi tempat belajar,” kata Muslihati.

“Sehingga agama itu bukan hanya dipelajari dari aspek spiritualnya tapi juga diterapkan dalam konteks kehidupan dan lingkungan sehari-hari,” tambahnya.

Demikian juga dengan Umar, sejak kembali dia mengaku sudah beberapa kali menggelar kegiatan dialog lintasagama di kalangan anak-anak muda.

“Dalam pertemuan ini saya undang mahasiswa dan anak-anak muda yang berbeda iman dan keyakinan untuk bicara-bicara santai. Tujuannya agar mereka bisa saling mengenal dan berbicara satu sama lain. Ini langkah penting yang menurut saya perlu dilakukan agar mereka menjadi terbiasa, akrab dan terbuka satu sama lain,” katanya tokoh muda asal Papua ini.

Baik Muslihati dan Umar Warfete sepakat Australia Indonesia Muslim Exchange Program merupakan program bagus untuk memperluas wawasan kehidupan keberagamaan yang majemuk dan toleransi di kedua negara.