ABC

Pertimbangan Memilih Nama Keluarga Untuk Anak

Seiring dengan semakin banyaknya wanita yang memilih mempertahankan nama lahir mereka dalam pernikahan dan struktur keluarga pun menjadi lebih bercampur dan tidak tradisional, tidak lagi tepat untuk mengasumsikan seorang bayi yang baru dilahirkan akan diberi nama dari garis keluarga ayahnya.

Meskipun ini masih menjadi pilihan yang paling umum, – dimana 90 persen anak-anak yang lahir di Victoria antara tahun 2005 dan 2010 diberi nama belakang [mengikuti nama] ayah mereka – namun  sejumlah pilihan lain saat ini juga semakin populer, entah itu bagi anak-anak dari pasangan heteroseksual ataupun pasangan sesama jenis.

Penelitian, seperti dalam sebuah publikasi tahun 2002 yang berjudul ‘Re-inventing the Family: In Search of New Lifestyles (“Menemukan Kembali [makna] Keluarga: Pencarian Gaya Hidup Baru’), mengemukakan nama keluarga menjadi lebih bermakna “individual” daripada dilihat sebagai representasi tingkat hubungan atau konektivitas keluarga.

Lorelei Vashti mengatakan bahwa tidak ada pendekatan satu ukuran untuk semua berkaitan dengan apa yang dia sebutnya sebagai “dilema nama tengah bayi”, karena orang termotivasi oleh nilai-nilai yang berbeda.

Lorelei  Vashti adalah penulis buku ‘How to Choose Your Last’s Last Name: A handbook for New Parents ( Bagaimana memilih nama akhir anda: sebuah pedoman bagi orang tua baru). Ia mengatakan bagi beberapa orang, kesatuan keluarga dan identitas adalah yang hal yang paling penting, namun bagi orang lain kesetaraan dan keadilan gender menjadi prioritas.

“Dan kadang-kadang, bagaimana sebuah nama keluarga terlihat atau terdengar dengan nama depan mengalahkan seluruh pertimbangan lainnya,” katanya.

“Tidak ada perspektif yang lebih baik atau lebih buruk untuk dibandingkan dengan yang lainnya, tapi di dalam pasangan bisa terjadi perdebatan.”

Apa pertimbangan dalam memberi nama?

Vashti mengatakan ada enam pilihan saat menamai anak Anda:

• Nama keluarga ayah

• Nama keluarga ibu

• Tanda penghubung, atau nama belakang laras ganda (tanpa tanda hubung)

• bergantian menggunakan dua nama keluarga orang tua di antara saudara kandung

• Menggabungkan dua nama keluarga menjadi sebuah portmanteau atau nama tengah campuran

• Membuat nama keluarga yang sama sekali baru.

Lorelei dan bub
Dua anak Lorelei Vashti diberi nama dengan mencampur nama keluarga.

Supplied: Lorelei

Bagi Vashti, pasangannya menyarankan agar mereka menggabungkan nama terakhir mereka untuk nama anak-anak mereka.

“Nama keluarga kami adalah Wortsman dan Waite – saya menggunakan Vashti, nama tengah saya, sebagai nama pena – dan kami telah memberi nama akhir bagi kedua anak kami dengan nama Waitsman,” katanya.

Vashti mengatakan tren yang paling cepat berkembang di kalangan keluarga di Australia adalah dengan bergantian menggunakan nama keluarga orang tua di antara saudara kandung.

“Beberapa orang khawatir jika kedua anak mereka atau lebih tidak berbagi nama keluarga maka orang tidak akan mengenali mereka sebagai bagian dari keluarga yang sama, tapi yang kita lihat sekarang adalah sebuah pengakuan kalau sebuah nama itu bukanlah hal yang menjadikan suatu keluarga adalah sebuah keluarga, “katanya.

“Sebagaimana keluarga campuran dan para perempuan yang memutuskan tetap mempertahankan nama lahir mereka saat menikah selalu dikenal {sebagai keluarga], tidak perlu bagi setiap orang didalam sebuah keluarga memiliki nama keluarga yang sama untuk menjadikan suatu keluarga sebagai sebuah keluarga.”

Bisakah orang tua benar-benar membuat sebuah nama baru?

Riset yang dilakukan oleh Swinburne University dari awal tahun ini menemukan 3 persen orang tua telah menciptakan sebuah nama keluarga baru untuk anak-anak mereka yang tidak diwariskan dari orang tuanya.

“Singkatnya, tidak ada hukum seputar nama keluarga, terlepas dari hukum standar yang berhubungan dengan nama depan, karena itu Anda bisa memberikan nama bagi anak anda dengan nama keluarga apapun yang Anda inginkan,” kata Vashti.

Misalnya untuk nama depan, ada beberapa aturan seputar pilihan, menurut otoritas catatan sipil Australia, misalnya tidak bisa berbau “cabul atau menyinggung”, atau “terlalu panjang”.

Mengapa pria begitu tersinggung?

Bagi sebagian pria, ini adalah topik yang sulit dibicarakan – gagasan untuk tidak melanggengkan nama keluarga mereka sering bertentangan dengan apa yang mereka anggap sebagai hal-hal yang bersifat  tradisional.

“Ini sangat mengakar dalam budaya kita, dalam hubungan heteroseksual, untuk menyematkan nama keluarga ayahnya,” kata Vashti.

“Tapi menyadari bahwa ada banyak kekuatan yang melekat pada nama belakang itu penting, dan bagi banyak pria untuk mulai memikirkan hal ini dan mendapati gagasan ini telah dipertanyakan, mungkin itu bisa sangat bertentangan bagi mereka.”

Menurut Vashti itu adalah “guncangan besar” dari apa yang para pria pernah diberitahukan sebagai sesuatu yang perlu mereka percayai.

Selain sudah menjadi tradisi usang “menjadikan anak laki-laki sebagai pihak yang harus memelihara nama keluarga”, Vashti mengatakan alasan untuk melanggengkan nama keluarga laki-laki termasuk “karena nama mereka lebih mudah untuk dieja atau ucapkan, atau ibu sama sekali tidak menyukai nama keluarganya, atau demi tujuan ‘penelusuran silsilah keluarga'”.

“Tapi semua alasan ini bisa juga diperlakukan sama dengan menggunakan nama ibu,” katanya.

Dia mengatakan alasan yang lebih “tidak menyenangkan” untuk melanggengkan nama keluarga sang ayah adalah “bersenandung diam-diam di latar belakang”.

"Beberapa dari diskusi seputar pemberian nama keluarga bagi anak adalah masalah patrilineal atau garis keturunan ayah: wanita khususnya diberitahukan untuk menginginkan ‘menampilkan’ bahwa anak itu sah: itu adalah sesuatu yang kuno, anak saya bukan anak haram.”

Isu ini didukung oleh penelitian Universitas Swinburne yang menemukan “hubungan kekuatan gender di antara pasangan heteroseksual tampaknya mendukung visibilitas dan kontinuitas nama keluarga laki-laki”.

Riset ini mendapati penggunaan nama keluarga ayah adalah “cara yang ampuh untuk menampilkan legitimasi untuk pasangan bersama-sama – menampilkan kalau anak tersebut memiliki seorang ayah dan ibunya memiliki pasangan heteroseksual, di mana menggunakan nama ibu mungkin sering disalahartikan karena masih terstigmatisasi atau keluarga dari seorang ibu tunggal” .

Para penulis mengatakan bahwa perempuan sering terlibat dengan “dividen patriarkal” karena mereka merasakan keuntungan, seperti “kemudahan sosial”, untuk diri mereka sendiri dan anak-anak mereka.

Nama berlaras ganda sebuah ‘perayaan’

Rosemary Shapiro-Liu mengatakan keputusan untuk mempertahankan nama gadisnya dan mengambil nama keluarga suaminya, Liu, adalah yang pertama kali mendorong diskusi tentang nama apa yang akan mereka berikan pada seorang anak di masa depan.

Rosemary Shapiro-Liu bersama suami dan anaknya
Putra Rosemary Shapiro-Liu adalah "warga dunia" dan dia ingin namanya mencerminkan hal itu.

Supplied: Rosemary Shapiro-Liu

Dasar dari pertimbangan ini adalah untuk saya sebagai wanita dalam masyarakat patriarkal. Saya ingin memiliki hubungan dengan suami saya tapi tidak melepaskan identitas dan sejarah saya,” katanya.

Saat mereka menantikan anak mereka, yang sekarang berusia delapan tahun, percakapan berlanjut.

“Kami memang sudah menjadi pasangan yang tidak biasa … dia adalah seorang Katolik China kelahiran Australia dan saya adalah seorang Yahudi asal Afrika Selatan,” kata ibu asal kota Sydney tersebut.

Sedangkan terkait argument kalau nama berlaras ganda menciptakan masalah di kemudian hari jika putra mereka menikahi seseorang di keluarga yang sama, Shapiro-Liu mengatakan “ini masalah sekarang dan itu masalah nanti “.

“Hidup berubah sepanjang waktu, tradisi berubahm proses dan ritual juga berubah.”

Apakah motivasi untuk pasangan sesama jenis berbeda dengan pasangan heteroseksual?

Vashti mengatakan karena isu tradisi tidak berlaku untuk pasangan sesama jenis, memilih nama seringkali lebih sederhana.

“Tampaknya jauh lebih mudah untuk pasangan sesama jenis pada umumnya, tanpa seluruh pertimbangan kalau wanita adalah beban bagi laki-laki yang sudah berlangsung selama beberapa ribu tahun terakhir.”

Swinburne University menemukan bahwa strategi nama keluarga termasuk nama berlaras ganda atau membuat nama baru lebih populer di kalangan pasangan lesbian daripada heteroseksual.

Ini juga ditemukan karena “taruhan non-pengakuan sebagai alat tenun keluarga sangat besar bagi pasangan lesbian” mereka sadar memilih nama yang secara akurat akan mencerminkan hubungan orang tua.

“Terlepas dari perbedaan mereka, yang menghubungkan pasangan lesbian dan heteroseksual dalam penelitian kami adalah pertimbangan bersama mereka terhadap nama keluarga sebagai penanda kuat dari jarak kejelasan dan status hubungan keluarga,” kata penulis penelitian ini.

Simak beritanya dalam Bahasa Inggris disini.