Peringati Hari Buruh, Tuntutan Ini Masih Sama Sejak 20 Tahun yang Lalu
Diperkirakan puluhan ribu buruh menggelar sejumlah aksi unjuk rasa serempak di beberapa kota seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Bandung, dan Yogyakarta, untuk memperingati Hari Buruh Internasional atau 'May Day', yang jatuh setiap tanggal 1 Mei.
Di Jakarta, demonstrasi tadinya dipusatkan di dua lokasi, yakni di depan Istana Negara dan Istora Senayan. Namun massa batal berdemo di depan istana dan gedung Mahkamah Konstitusi, sehingga aksi dilakukan di sekitar kawasan patung kuda.
Sementara di Jawa Timur, lokasi yang dipilih adalah kantor Gubernur Jatim, di Jalan Pahlawan sebagai lokasi unjuk rasa.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, saat memperingati 'May Day', ada beberapa poin spesifik yang menjadi tuntutan buruh, termasuk tuntutan yang sudah dikumandangkan setiap tahunnya, tapi belum juga tercapai.
Tujuh poin tuntutan Hari Buruh
Dalam demo hari ini, serikat buruh akan menyampaikan tujuh tuntutan buruh, yakni:
-
Cabut Omnibus Law UU No 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja -
Cabut 'Parliamentary threshold' empat persen dan 'Presidential threshold' 20 persen karena dianggap bahayakan demokrasi. -
Sahkan RUU DPR dan perlindungan pekerja rumah tangga. -
Tolak RUU kesehatan. -
Reforma agraria dan kedaulatan pangan. Menolak bank tanah, impor beras, kedelai dan lain-lain. -
Pilih calon presiden yang pro buruh dan kelas pekerja, serta partai buruh "haram hukumnya" berkoalisi dengan partai politik yang mengesahkan UU Cipta Kerja. -
Permintaan Hapus OutSourcing Tolak Upah Murah, atau HOSTUM
Upah dan 'Outsourcing'
Dari tujuh poin tersebut, poin terakhir terkait penghapusan sistem alih daya atau 'outsourcing' dan penolakan upah murah sepertinya merupakan poin tuntutan buruh yang "abadi" atau selalu ada, bahkan sejak 20 tahun yang lalu.
Dari catatan Hukum Online disebutkan penolakan buruh dan sejumlah akademisi terhadap sistem 'outsourcing' dan kontrak kerja sudah bergulir sejak pembahasan UU No 13. Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Salah satu kecaman yang paling keras datang dari Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia, Profesor Aloysius Uwiyono.
Ia menyebut UU Ketenagakerjaan ini sebagai UU Kanibalisme.
Meski proses 'judicial review' telah dilakukan pada 28 Oktober 2004, Mahkamah Konstitusi bergeming atas tuntutan pembatalan pasal yang terkait dengan sistem kerja kontrak dan 'outsourcing'.
Desakan atau tuntutan penghapusan 'outsourcing' ini tetap disuarakan buruh setiap peringatan Hari Buruh.
Undang-Undang Cipta Kerja
Poin tuntutan lain yang disuarakan buruh sejak tahun 2020 adalah penolakan dan pencabutan Omnibus Law yang telah menjelma menjadi UU No.6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Buruh menilai banyak aturan di dalam UU Cipta Kerja tersebut yang merugikan buruh, antara lain aturan tentang upah kerja, kondisi kerja yang adil, dan aturan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Sepanjang tahun 2022, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melaporkan sudah menerima 270 pengaduan ketenagakerjaan dan menilai "pola penindasan terhadap buruh tidak berbeda secara signifikan dari tahun-tahun sebelumnya."
YLBHI juga memproyeksikan kondisi di tahun ini dan tahun-tahun mendatang akan lebih parah dari tahun 2022, karena "pengesahan UU No 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dengan memuat beberapa pasal yang memangkas jaminan hak-hak buruh dalam beberapa aspek."
Larangan dari Bawaslu
Di luar poin-poin tuntutan buruh tadi, satu hal yang benar-benar baru dialami dalam perayaan hari buruh tahun ini adalah larangan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menggelar aksi.
Alasannya, karena aksi tersebut dikhawatirkan melanggar aturan pemilu.
Kok bisa? Ini karena Partai Buruh, yang dimotori oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) merupakan salah satu partai peserta pemilu 2024.
Menurut Ketua Tim Pemenangan Partai, Buruh Said Salahudin, Bawaslu telah mengirimkan pesan bernada ancaman kepada pengurus Partai Buruh di sejumlah daerah untuk tidak membawa atribut partai dan menyuarakan isu perburuhan yang menjadi program Partai Buruh.
"
"Pembatasan aksi May Day oleh Bawaslu daerah itu jelas kami tentang. Tidak mungkin Partai Buruh diminta untuk tidak merayakan Hari Buruh Internasional dan dilarang menyuarakan kepentingan buruh, sedangkan jati diri dan alasan partai ini didirikan adalah untuk membela kepentingan kelas pekerja," kata Said dalam keterangan resmi, Senin (01/05).
"
Said menilai Bawaslu belum memahami kultur buruh, juga tidak memahami jika buruh dan Partai Buruh adalah dua entitas yang menyatu dan tidak bisa dipisahkan.
Ia memastikan aksi 'May Day' yang diikuti dan diselenggarakan oleh Partai Buruh bukan kegiatan kampanye.