Pergumulan Suku Aborigin Tinggalkan Rokok dan Alkohol
Seorang perempuan baya berdiri di tengah jalan beraspal di pusat kota Nhulunbuy, Semenanjung Gove, Arnhem Land, Northern Territory, Australia, malam itu.
Matanya setengah tertutup, tangannya terjuntai ke bawah. Jalannya sempoyongan, kadang maju mundur, kadang ke kiri dan ke kanan. Bibirnya meracau tak jelas.
Saat ada mobil yang hendak melintas menuju ke arahnya, tiba-tiba dia membuka tangannya lebar-lebar seperti bermaksud menghalangi mobil tersebut lewat. Dia lalu akan menunjuk-nunjuk orang yang ada di dalam mobil sambil kembali meracau.
Tak ingin cari masalah, paling tidak ada dua mobil yang sudah putar balik menjauh dari perempuan yang mabuk itu. Malam itu, sudah lepas pukul 21.00 waktu setempat.
***
Donald Marawili, Miwatj Men Health Staff, mengatakan bahwa alkohol menjadi salah satu persoalan pelik di dalam komunitas suku Yolngu, penduduk Aborigin yang tinggal di Arnhem Land, terutama kaum lelaki di Nhulunbuy dan sekitarnya.
Lalu, meski tak terlalu banyak, ada juga warga perempuan yang terjerat persoalan serupa. Donald, lanjutnya, kerap menerima laporan dan mendampingi warga yang mengalami masalah kesehatan serius karena kebanyakan menenggak alkohol.
“Di Nhulunbuy, kami menghadapi persoalan kebiasaan minum alkohol. Sebagian orang, terutama laki-laki, sakit lalu datang ke rumah sakit, mencari pengobatan. Kadang-kadang seseorang bahkan perlu pergi ke Darwin, bertemu dengan dokter spesialis, dirawat di rumah sakit dan kami harus membantu memberi tahu keluarga mereka bahwa dia sangat sakit,” tuturnya saat ditemui di kantor Miwatj di Nhulunbuy.
Lari dari kesepian
Untuk menekan angka ketergantungan warga Yolngu terhadap alkohol, Donald mengatakan, Miwatj kerap memberikan edukasi kepada warga untuk mengurangi kebiasaan pergi ke bar atau pub dan menenggak alkohol.
Para pecandu alkohol ini tak sekadar dilarang tetapi dibantu dengan cara didampingi untuk mengurangi kebiasaan minum minuman keras. Mereka diajak untuk tidak langsung berhenti, tetapi mengurangi kebiasaan itu secara perlahan.
“Mereka biasanya terlalu banyak pergi ke pub dan minum 2-3 kaleng alkohol di situ. Kami mendorong mereka untuk tidak minum terlalu banyak dan tidak meminumnya setiap hari. Mungkin hanya sekali-sekali saja, setiap Jumat atau malam Minggu, misalnya. Jadi tidak setiap hari,” ungkapnya kemudian.
Menurut Donald, para laki-laki dan perempuan Yolngu ini kebanyakan lari ke alkohol karena merasa kesepian, lalu depresi. Namun ada juga yang terbiasa minum alkohol karena sedang memiliki banyak uang.
“Kadang-kadang mereka merasa kesepian lalu minum alkohol karena tidak punya teman. Mereka pergi ke pub untuk mencari teman. Kadang mereka pergi ke pub karena mereka hanya ingin menikmati minum-minum, butuh kesenangan dan bertemu teman baru,” tuturnya.
Bagi mereka yang sedang memiliki uang, biasanya baru berhenti minum alkohol atau merokok dan berjudi sampai uang yang ada di kantong mereka habis.
Ya, kecanduan para warga Yolngu, lanjut Donald, tak hanya pada alkohol, tetapi juga pada rokok dan judi. Perempuan biasa menghabiskan uang di mesin judi atau poker machine.
Edukasi tidak merokok
Pemandangan orang-orang dalam satu keluarga yang punya kebiasaan merokok dengan mudah bisa ditemui di kalangan suku Aborigin. Bahkan, hingga di lingkungan klinik.
Dua perempuan berdiri di depan Yirrkala Clinic yang dikelola oleh Miwatj Health Aboriginal Corporation. Di bawah pohon, perempuan yang lebih tua tengah merokok, sedangkan yang perempuan yang lebih muda menggendong seorang bayi.
Selang beberapa waktu, mereka bergantian menggendong bayi dan perempuan yang lebih muda lalu mulai menghisap rokoknya.
Rokok habis, bayi Malisha beserta nenek dan ibunya, Trish Maymuru, duduk di ruang tunggu untuk menunggu giliran diperiksa. Dia anteng di pangkuan neneknya. Matanya terpaku pada mainan edukasi alur kawat berwarna-warni yang ada di atas meja tamu di tengah ruang tunggu.
Tubuh mungilnya yang gempal lalu berpindah ke pelukan ibunya untuk menyusu. Menyusu usai, dia kembali berpindah ke dalam pelukan hangat sang nenek.
Saat dipanggil masuk ke dalam ruang periksa, Malisha yang digendong neneknya masuk bersama ibunya. Kepada Cynthia, sang nenek bercerita bahwa cucunya yang berusia 5 bulan itu agak sesak ketika bernafas.
Cynthia mendengarkan dengan seksama lalu memeriksa dada dan punggung bayi Malisha dengan stetoskop, lalu memeriksa mata dan lubang telinganya. Sang bayi sedang terlelap nyenyak di pangkuan Trish.
Dari observasinya, Cynthia berkesimpulan bahwa bayi Malisha mengalami flu. Sesak saat bernafas disebabkan oleh lendir yang mengering di hidungnya.
Dia lalu memberikan obat tetes ke dalam hidung bayi Malisha dan mengajari nenek dan ibunya untuk melakukan hal serupa di rumah selama beberapa hari ke depan. Sambil menasihati keduanya untuk tidak merokok, setidaknya saat berada di dekat sang bayi.
“Satu lagi, jangan dulu merokok di dekatnya. Nanti bisa makin buruk sakitnya,” kata Chyntia sambil bergantian menatap lekat-lekat mata Trish dan ibunya.
Diperkenalkan oleh pelaut Makassar
Kisah manis hubungan dagang dan persahabatan suku Yolngu dan para pelaut dari Makassar pada akhir abad 17 ternyata juga membawa persoalan hingga saat ini.
Ngarali adalah kata dalam bahasa Yolngu yang berarti tembakau atau rokok. Kata ini diserap dari bahasa ibu para pelaut Makassar. Tembakau diperkenalkan pertama kali oleh para pelaut dari Makassar ini kepada suku Yolngu sebagai salah satu barang barter ketika mereka membeli teripang dari penduduk asli Aborigin di Arnhem Land ini.
Hayden Rickard, Koordinator Regional Tobacco Miwatj Health mengatakan bahwa persoalan rokok merupakan buntut dari perkenalan suku Yolngu dan pelaut dari Makassar.
Awalnya, para tetua suku Yolngu merokok dalam setiap upacara adat. Namun, mengisap tembakau kemudian dilakukan di luar keperluan adat hingga menjadi candu.
“Banyak penyakit muncul di dalam komunitas dalam waktu yang sangat lama sejak tembakau diperkenalkan oleh para pelaut Makassar. Banyak suku Yolngu yang kecanduan rokok, terutama para orang tua,” kata Hayden.
Seiring perkembangan zaman dan kedatangan para misionaris ke Tanah Arnhem, suku Yolngu menerima pemahaman bahwa merokok itu berbahaya. Namun, lanjut Hayden, karena rokok masih kerap dipakai dalam berbagai ritual tradisi, memberikan pemahaman bahwa merokok itu berbahaya masih terasa sulit hingga kini.
“Kebiasaan merokok di sini sudah menjadi candu. Ada kasus satu keluarga merokok bersama-sama,” kata Hayden.
“Selain itu, sering anak-anak merokok bersama-sama, mereka berbagi rokok dan itu menjadi perhatian kami kepada mereka bahwa itu perilaku yang tidak bisa diterima,” tambahnya.
Lucas de Toca, Chief Health Officer Miwatj Health Aboriginal Corporation, mengatakan, munculnya kebiasaan merokok pada anak-anak suku Yolngu menjadi masalah besar yang dihadapi saat ini. Persoalan ini tak lepas dari pemahaman bahwa mengisap tembakau merupakan sesuatu yang diperbolehkan dalam ritual adat.
“Tugas kami adalah menyatakan bahwa tembakau berbahaya dan bukanlah bagian dari kehidupan yang normal dan berusaha memisahkan budaya tradisional yang menggunakan tembakau dengan hidup sehari-hari,” ucap Lucas.
“Seperti Anda tahu, daerah ini memiliki sejarah panjang dengan pelaut Makassar dan keduanya memiliki hubungan yang sangat baik dan saling memengaruhi. Tembakau juga salah satunya yang diperkenalkan oleh pelaut dari Makassar dan ini menjadi bagian yang penting dalam upacara adat dan mereka biasanya merokok saat para pelaut Makassar hendak kembali ke daerah asalnya,” kata Lucas.
Namun, kebiasaan itu kini menjadi masalah yang problematik. “Sekarang tembakau malah dipakai untuk merokok sepanjang waktu. Jadi tim fokus pada memberi pemahaman bagaimana memisahkan ini sebagai bagian dari tradisi dan fakta bahwa tembakau itu berbahaya,” kata Lucas.
Sementara itu, menurut Hayden Rickard, Miwatj mencatat, 80 persen dari sekitar 3.000 penduduk Yolngu di Nhulunbuy berada dalam jerat tembakau. Meski perlahan, lanjutnya, jumlah pengguna rokok menurun.
Banyak laki-laki dan perempuan ikut dalam program pendampingan yang dilakukan Miwatj untuk berhenti merokok.
Program edukasi juga menyasar ke sekolah-sekolah melalui Outreach Team. Tak hanya memberi edukasi terkait kesehatan pria, anak-anak, perempuan, perawatan menyeluruh dan penyakit kronik, tim dari Miwatj ini juga berkeliling ke Nhulunbuy dan sekitarnya untuk menjangkau anak-anak suku Yolngu.
Seperti yang dilakukan Cynthia Anderson, Child and Family Health Nurse dari Yirrkala Clinic yang berkunjung ke salah satu sekolah di Yirrkala untuk memeriksa kesehatan bocah Catherine dan memberikan vitamin.
“Anak perempuan saya tidak harus datang ke klinik untuk mencari tahu apa ada yang sakit. Saya sangat senang ada tim yang datang, menanyakan keadaan kami dan anak-anak kami,” ungkap Bruce, ayah Catherine.
Berbagai upaya itu diharapkan mampu memberikan edukasi kepada warga Aborigin bahwa minuman keras dan rokok bukanlah cara sehat untuk lari dari rasa kesepian. Pendampingan dari lembaga-lembaga yang kompeten di bidangnya pada akhirnya sangat diharapkan, demi terciptanya generasi Aborigin yang bebas dari Alkohol dan tembakau.