Perempuan Selandia Baru Kompak Berhijab Pasca Teror Christchurch
Para perempuan di seluruh Selandia Baru mengenakan jilbab untuk menunjukkan solidaritas kepada warga Muslim sepekan setelah 50 orang terbunuh di dua masjid Christchurch.
Dokter asal Auckland, Thaya Ashman, muncul dengan ide untuk mendorong orang mengenakan jilbab setelah mendengar tentang seorang perempuan yang terlalu takut untuk keluar karena ia merasa jilbabnya akan menjadikannya target terorisme.
“Saya ingin mengatakan: ‘Kami bersama Anda, kami ingin Anda merasa betah di jalanan Anda sendiri, kami mencintai, mendukung, dan menghormati Anda’,” kata Dr Ashman.
Ketika warga Christchurch berdoa di depan masjid Al Noor pada hari Jumat (22/3/2019), tempat di mana sebagian besar korban tewas minggu lalu, para perempuan di Auckland, Wellington dan Christchurch mengunggah foto diri mereka dengan jilbab, beberapa menggandeng anak-anak yang turut mengenakan jilbab.
“Mengapa saya memakai jilbab hari ini? Nah, alasan utama saya adalah jika ada orang yang menodongkan pistol, saya ingin berdiri di antara dia dan siapapun yang ia tunjuk,” kata Bell Sibly di Christchurch.
“Dan saya tak mau ia bisa membedakannya, karena tidak ada perbedaan.”
Banyak perempuan Muslim menutupi kepala mereka di depan umum, meskipun beberapa kritik melihatnya sebagai tanda penindasan terhadap perempuan.
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mendapatkan pujian luas pekan lalu karena mengenakan jilbab hitam ketika bertemu dengan anggota komunitas Muslim setelah penembakan.
Dan pada hari Kamis (21/3/2019), seorang petugas polisi perempuan dengan jilbab di atas kepalanya dan senjata otomatis di tangannya menjaga di pemakaman Christchurch di mana korban penembakan dimakamkan.
Solidaritas atau mencari perhatian?
Rachel MacGregor, yang terlibat dalam kampanye ‘Head Scarf for Harmony’, mengatakan ia merasa cemas pergi dengan kepala tertutup, dengan orang-orang menatapnya ketika ia memasuki gedung kantornya.
“Ini memberi saya penghargan untuk pertama kalinya bagaimana rasanya menjadi minoritas dan memakai pakaian yang mungkin biasanya tidak dipakai oleh mayoritas,” katanya.
Jilbab dan niqab, cadar yang menutupi wajah secara penuh, telah memicu perdebatan di sejumlah negara di seluruh dunia.
Beberapa negara telah mencoba untuk membatasi item-item tersebut, khususnya niqab, sementara yang lain meminta perempuan untuk memakainya.
Meski kampanye Selandia Baru mendapat dukungan dan apresiasi dari Dewan Perempuan Islam Selandia Baru dan Asosiasi Muslim Selandia Baru, kampanye ini medapat penolakan di Selandia Baru dan sekitarnya.
Dalam sebuah opini yang tak bernama di situs Stuff.co.nz, seorang perempuan Muslim menyebut gerakan itu “sangat mencari perhatian”.
“Serangan di Christchurch itu bukan hanya tentang Muslim, itu juga menyerang orang kulit berwarna di negara ‘putih’ sehingga fokus pada jilbab mengganggu narasi supremasi kulit putih, rasisme sistematis, orientalisme dan kefanatikan,” katanya.
Mehrbano Malik, seorang perempuan 22 tahun dari Pakistan juga menulis untuk Stuff.co.nz, mengatakan meski ia “sangat tersentuh oleh sentiment itu”, gerakan #headscarfforharmony (jilbab untuk harmoni) mencerminkan “ideologi Orientalis”.
“Ada banyak, banyak perempuan Muslim yang tidak berjilbab,” tulisnya.
Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Kebudayaan, Karima Bennoune, mengunggah postingan di Twitter untuk menantang gerakan itu, menunjuk ke kasus Nasrin Sotoudeh, yang dihukum dan menghadapi hukuman penjara karena membela perempuan yang ikut serta dalam protes viral yang menentang aturan wajib berjilbab di Iran.
“Bisakah saya dengan penuh hormat meminta mereka yang berpikir untuk berpartisipasi dalam #scarvesinsolidarity (jilbab untuk solidaritas) [untuk] juga mempertimbangkan bahwa jutaan #Muslim #women (perempuan Muslim) tidak mengenakan jilbab, tidak ingin [memakainya], [dan] banyak seperti #NasrinSotoudeh mengambil risiko besar [untuk] mempertahankan oposisi ini?,” tulisnya di Twitter.
Asra Nomani, mantan jurnalis di Washington, yang telah berkampanye untuk reformasi Muslim, mendesak perempuan untuk tidak mengenakan jilbab untuk harmoni.
“Ini adalah simbol budaya kemurnian yang bertentangan dengan nilai-nilai feminis. Ada perempuan di penjara dan mati, karena menolak interpretasi Islam yang Anda promosikan,” kata Profesor Nomani di Twitter.