ABC

Perempuan Asia Jadi PSK di Australia Karena Dijanjikan Mendapat Visa Menetap

Sejumlah perempuan Asia di “rumah bordil murahan” di Sydney harus bekerja secara diam-diam karena takut akan anggapan soal pekerja seks yang buruk, meski menjadi pekerja seks di beberapa negara bagian Australia adalah pekerjaan yang legal.

KP Pekerja Seks

  • Peneliti telah berbicara kepada 100 pekerja seks Asia di “rumah bordil murahan” selama 10 bulan
  • Sebagian diberitahu jika menjadi pekerja seks akan membuka jalan menjadi penduduk tetap Australia
  • Hanya dua pertiga dari perempuan yang disurvei menggunakan kondom dengan pelanggannya

Ini adalah temuan survei yang baru dilakukan dan membuat para peneliti khawatir para perempuan tidak berani melapor saat mereka alami kekerasan atau serangan.

Mayoritas responden, sekitar 80 persen berasal dari negara-negara berbahasa China dan lebih dari setengahnya pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga di masa lalu.

Beberapa bahkan masih berusaha memenuhi kebutuhan dasar mereka setelah melarikan diri dari hubungan yang berunsur kekerasan.

Hasil survei ini ditulis dalam laporan berjudul ‘Working with Migrant Sex Workers in Sydeny’s Lower-End Brothels’, yang juga disiapkan khusus lembaga BaptistCare HopeStreet untuk program The Drum milik ABC.

Mereka menemukan adanya hubungan yang tinggi antara pengalaman kekerasan dalam rumah tangga di masa lalu dengan industri seks.

Terungkap juga tiga dari empat pekerja seks meyakini “masyarakat Australia memiliki pandangan soal industri seks yang tidak bisa diubah.”

Hanya lima persen perempuan yang nyaman untuk mengaku pekerjaan mereka kepada keluarga dan temannya dan dua persen diantaranya merasa keluarga mereka telah memberikan dukungan.

“Beberapa perempuan dari China merasa nyaman untuk memberi tahu keluarga tentang pekerjaan mereka dan mereka tidak merasa malu, tetapi saya tak seperti itu,” kata Sally, mantan pekerja seks yang merahasiakan identitasnya karena ia tak mau keluarganya tahu.

“Sebagian besar orang berpikir menjadi pekerja seks itu tidak baik.”

A woman in a wig poses in a shadow in front of a window
Sally menolak tawaran bayaran yang lebih besar untuk seks tanpa kondom.

ABC News: Kathryn Milliss

Tak selalu pakai kondom

Satu dari empat pekerja seks mengatakan mereka tidak bisa memilih siapa yang akan menjadi pelanggan dan 42 persen mengaku mendapat pelanggan yang keras dan sulit.

50 persen wanita mengatakan kadang-kadang mereka merasa aman di tempat kerja dan 36 persen pekerja seks yang disurvei selalu merasa aman.

Hanya satu dari empat pekerja mendapat kondom dari tempat mereka bekerja, padahal itu menjadi syarat yang berlaku di Australia, dan dua pertiga mengaku menggunakan kondom dengan pelanggan.

Teaser Support

Layanan bantuan terkait KDRT

Sementara bagi Sally, ia harus membeli kondom sendiri.

“Klien meminta saya untuk tidak menggunakan kondom dan mengatakan saya akan diberi tambahan $50, kurang dari Rp 480 ribu, tapi saya takut terkena HIV, jadi saya bilang tidak,” katanya.

Jade, yang juga ingin identitasnya dirahasiakan, juga harus membeli kondom sendiri saat ia pernah bekerja di sebuah rumah bordil.

“Beberapa pelanggan tidak memakai kondom. Saya bilang, ‘Jika kamu tidak menggunakan kondom, saya tidak melakukannya!’ karena saya memikirkan keselamatan dulu,” katanya.

Dari sebuah survei yang diterbitkan tahun 2015 oleh Australian Institute of Criminology, bekerja sama dengan Scarlet Alliance, organisasi yang membawahi pekerja seks di Australia, menemukan lebih dari setengah pekerja seks perempuan harus merogoh uang sendiri untuk membeli kondom.

A woman unidentified in a profile shot
Jade juga mengaku jika ia terpaksa "tinggal" di rumah bordil karena manajernya yang ingin ia bekerja 24 jam.

ABC News: Stephanie Boltje

‘Pertama kali melakukannya, saya sangat takut’

BaptistCare HopeStreet mendefinisikan “rumah bordil murahan” sebagai prostitusi dan panti pijat dengan harga di bawah rata-rata industri seks.

Setengah dari responden mengatakan mereka akan berhenti jika menemukan cara lain untuk menghasilkan uang, sementara seperempatnya mengindikasikan bahwa mereka lebih memilih pekerjaan seks, ketimbang pekerjaan lain.

Sally masuk ke industri seks setelah disarankan oleh teman kuliahnya di Sydney, agar ia bisa mendapat lebih banyak uang untuk dikirim kepada keluarga di negara asalnya.

Ia menghasilkan antara AU$350 hingga AU$1.000 per hari, sekitar lebih dari Rp 3 juta hingga Rp 9,5 juta, yang berada di bawah penghasilan pekerja seks biasanya, menurut BaptistCare HopeStreet.

“Saat itu saya mengalami kesulitan keuangan dan saya perlu menghidupi anak-anak dan juga keluarga saya,” kata Sally.

“Pertama kali melakukannya, saya sangat takut. Saya merasa sangat kotor dan sampai di rumah saya terus membersihkan.”

Tetapi kesehatan seksual bukan kekhawatiran terbesarnya. Dengan visa pelajar, Sally takut ditangkap oleh imigrasi karena waktu bekerja yang lebih lama dari aturannya. Ia juga takut jika orang-orang yang ia kenal memperhatikannya.

“Saya takut kalau ternyata ketemu teman sekelas lain, teman sekelas pria, dan kemudian akan merasa malu,” katanya.

BaptistCare HopeStreet menemukan sembilan dari 10 pekerja seks memiliki visa sementara di Australia, sepertiganya adalah visa pelajar.

Ada pula mereka yang terperangkap karena diberi tahu pekerja seks akan membuka jalan untuk menjadi penduduk tetap Australia, seperti yang ditemukan oleh para peneliti.

Tapi laporan tersebut menekankan bahwa “semua perempuan memberikan indikasi bahwa mereka telah membuat keputusan pribadi untuk bekerja di industri seks.”

‘Ia ingin saya bekerja 24 jam’

Sebagian besar pekerja seks yang disurvei mengatakan mereka bekerja antara tiga sampai lima hari seminggu, tetapi juga “siap dipanggil” di waktu tersebut.

BaptistCare HopeStreet menyebutnya sebagai tinggal di tempat kerja, jika bekerja lebih delapan jam atau semaleman.

Kepada The Drum Jade mengatakan jika ia tinggal di rumah bordil dan “manajer tak senang saat saya keluar, ia ingin saya kerja 24 jam”.

“Manajer menyuruh saya lakukan ini, saya kemudian melakukan apa yang mereka mau.”

Jessica Davidson, manajer pelayanan perempuan dari BaptistCare HopeStreet mengatakan yayasan mereka berupaya untuk menciptakan ruang yang aman bagi perempuan.

“Kami pikir yang pertama kali para perempuan tahu adalah mereka memiliki nilai, martabat, dan terlepas dari pilihan yang sudah mereka buat atau belum, mereka layak diperlakukan hormat,” katanya.

Survei dilakukan selama 10 bulan dengan wawancara mendalam bersama 100 perempuan asal Asia tentang pengalaman mereka sebagai perempuan dari budaya lain yang bekerja di “rumah bordil murahan” di kota Sydney.

Dengan penelitian ini, BaptistCare HopeStreet berharap dapat mengidentifikasi cara-cara yang lebih baik untuk membantu mereka yang punya keterbatasan bahasa untuk tetap bisa mengakses layanan dukungan.

Jessica mengatakan sering kali mereka juga melihat eksploitasi.

“Hal-hal seperti tak mendapat kondom, bekerja dengan jam kerja yang panjang, dan kadang-kadang juga tidak tahu bagaimana mengkomunikasikan apa yang mereka inginkan dan apa yang mereka butuhkan,” katanya.

Tahun lalu, BaptistCare HopeStreet melihat lebih dari 800 perempuan telah mendapat sejumlah pelayanan, seperti konseling gratis, manajemen kasus, serta menjangkau rumah bordil untuk memberikan perlengkapan terkait aktivitas seks agar para pekerja perempuan bisa lebih aman.

Survei terakhir terhadap pekerja seks migran di Australia dilakukan hampir satu dekade lalu oleh Australian Institute of Criminology dan Scarlett Alliance.

Hasilnya para migran puas dengan kondisi mereka, tetapi “jauh lebih kecil kemungkinannya mendapat dukungan, informasi, kondom gratis, hingga akses ke layanan kesehatan seksual atau bekerja di lingkungan yang lebih aman, dibandingkan pekerja seks bukan migran.”

Artikel ini telah disadur dari laporannya dalam Bahasa Inggris yang bisa dibaca disini. Baca juga laporan-laporan terkini dari Australia di situs ABC Indonesia.