Penyintas Bom Bali Pertanyakan Persidangan Hambali
Phil Britten, seorang penyintas atau korban selamat dari bom Bali tahun 2002 menyatakan heran mengapa Hambali yang diduga sebagai dalang perencana serangan sampai kini belum juga diadili. Dia menuduh Pemerintah Australia tidak begitu bersemangat untuk mendesak digelarnya peradilan.
“Saya tidak tahu mengapa Australia atau Indonesia seakan lepas tangan,” kata Phil Britten dalam program 7.30 ABC.
“Mereka menyerahkannya pada AS untuk menanganinya,” ujarnya.
"Saya merasa sebagai penyintas dan korban kami berhak bicara, mengambilalih kendali situasi dan menegaskan ‘kami tidak mau seperti ini’," kata Birtten.
“Jadi saya agak heran karena mereka tidak melakukan hal itu dan menyerahkannya pada sistem Amerika untuk menanganinya,” tambahnya.
Riduan Isomuddin alias Hambali (53 tahun) lahir di Indonesia dan dibawa ke penjara AS di Teluk Guantanamo pada tahun 2006. Sejak itu dia ditahan di Kamp 7 yang diperuntukkan bagi para tahanan “bernilai tinggi”.
Bisa diadili di Australia atau Indonesia
Pengacara militer AS untuk Hambali mengatakan klien mereka tidak mendapatkan keadilan melalui pengadilan perang di Guantanamo. Klienya terbuka untuk diadili di yurisdiksi lain – mungkin di Australia atau Indonesia.
Hambali ditahan tanpa tuntutan oleh AS sejak ditangkap di Thailand pada tahun 2003.
Jaksa penuntut umum di Guantanamo menyusun tuntutan terhadapnya pada Juni tahun lalu, namun tidak ada perkembangan sejak itu.
“Ketika kami pertama kali mendengar tuntutan itu telah disusun pada musim panas lalu, baginya itu semacam harapan bahwa akhirnya ada yang mungkin terjadi,” ujar Letnan Kepala Greg Young, salah satu dari beberapa pengacara yang mewakili Hambali, kepada ABC.
Kemudian upaya menyusun tuntutan kedua kalinya dilakukan pada bulan Desember dan diajukan ke Pentagon untuk disetujui.
Pejabat di sana mengembalikan tuntutan itu ke jaksa penuntut, dan minggu lalu tiba-tiba dipecat.
"Saya pikir wajar bila dikatakan bahwa penundaan terus-menerus, ketika ada tuntutan tapi tidak ada yang terjadi dengan dia, maka hal itu sulit baginya," kata Letnan Young.
Departemen Pertahanan AS mengatakan berkas tuntutan dikembalikan karena masalah “prosedural”, namun tidak memerikan penjelasan lebih lanjut.
Sepanjang proses tersebut, Hambali tetap ditahan dengan akses sangat terbatas ke dunia luar.
Pengacaranya menggambarkan Hambali sebagai pembaca dan konsumen berita yang rakus. Mereka mengatakan bahwa dia “bijaksana” dan “sangat cerdas”.
Berkas tuntutan menyebutkan dia bertanggung jawab atas serangan teroris terburuk terhadap warga Australia.
Tuduhan
Hambali dituduh melakukan banyak kejahatan, termasuk terorisme. Berkas tersebut menjelaskan bagaimana Hambali diduga mengatur pemboman simultan pada 12 Oktober 2002, yang menewaskan 202 orang, termasuk 88 warga Australia.
Disebutkan bahwa Hambali berencana menyaksikan pemboman itu melalui TV kabel dari kamar hotel di Kamboja. Dia diduga menyampaikan rasa kagetnya kepada seorang pelaku lainnya mengenai akibat serangan dan “tidak menduga banyak orang meninggal”.
Tidak seperti berkas tuntutan pertama, berkas kedua mencakup tuduhan terhadap dua deputi Hambali – pria Malaysia Mohammed Nazir Bin Lep, dikenal sebagai Lillie, dan Mohammed Farik Bin Amin, dikenal sebagai Zubair, yang juga ditahan di Guantanamo.
“Saya pikir satu kemungkinannya bahwa mereka mencoba menekan para deputi agar memberatkan dalang perencana,” kata Carol Rosenberg, jurnalis Miami Herald yang telah meliput Guantanamo sejak dibuka pada tahun 2002.
“Saya kira bisa juga mereka sedang berhati-hati, mengapa harus menggelar tiga peradilan jika bisa melakukannya sekali?” ujarnya.
Korban
Phil Britten berada di sebuah klub malam di Bali sebagai bagian dari perjalanan akhir musim klub bolanya pada malam pemboman tersebut.
Dia menderita luka bakar hingga 60 persen di tubuhnya dan giginya copot oleh ledakan tersebut.
Dia juga kehilangan tujuh temannya.
"Ketika saya sadar dan … saya masih hidup dan melihat sahabat dan teman dan betapa menyakitkan bagi orangtua, ayah, ibu, saudara-saudara mereka – hal ini membuat Anda hancur," katanya.
“Dan Anda berpikir, ‘Saya akan bertukar tempat’. Ada pikiran seperti itu,” tambahnya.
Setelah berjuang mengatasi sakit dan sejenak beralih ke narkoba dan alkohol, Britten menghabiskan 15 tahun untuk mengembalikan hidupnya.
Dia heran saat mengetahui bahwa Hambali masih hidup. Dia mengaku sulit memahami mengapa butuh waktu lama untuk mengadili Hambali.
“Jurjur saja saya agak tercengang, bagaimana seseorang yang memiliki andil besar dalam merenggut begitu banyak nyawa, kini masih hidup,” katanya.
"Dia mungkin tidak memegang senjata atau bukan orang yang menelepon tapi tanpa dia … dia seperti kepala ular," ujar Britten.
Britten memiliki permintaan terhadap mereka yang bertanggung jawab atas penuntutan.
“Saya tidak bisa mengubah apa yang terjadi padaku, tapi semoga saya bisa membantu orang lain,” katanya.
“Karena saya tahu efeknya bukan hanya pada orang selamat seperti saya, tapi mereka yang meninggal dan keluarga yang harus mengalami hal itu,” ujarnya.
“Saya harap, tunjukkan hati, siapa pun yang harus berurusan dengan kasus ini dapat mempertimbangkannya dan membuat pilihan yang tepat,” tambah Britten.
Tidak ada keadilan
Jika pun ada, keadilan sangat lambat datangnya di Guantanamo.
Para pelaku serangan 9/11 telah menjalani persidangan pra-peradilan sejak 2012.
Pengacara Hambali mengatakan bahkan jika berkas tuntutan berakhir di persidangan, ada sejumlah alasan mengapa kliennya mungkin tidak mendapatkan pemeriksaan yang adil melalui komisi militer.
“Tujuh dari delapan pria yang ditangkap di Indonesia yang didakwa melakukan pemboman secara fisik telah meninggal atau dieksekusi,” kata Letnan Young.
“Mereka itu saksi potensial yang bisa memberikan banyak informasi. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan mereka katakan sekarang di pengadilan,” tambahnya.
Rekan pengacara Mayor Scott Medlyn menambahkan, “Ini juga menyulitkan bagi jaksa”.
"Bukti menjadi basi, saksi, kenangan memudar, jadi ini merupakan penahanan tak menentu. Menunggu 15 tahun tidaklah memberikan keadilan terhadap siapapun yang terlibat dalam proses ini," tambahnya.
Mantan jaksa penuntut di Guantanamo, Kolonel Morris Davis, mengatakan pemrosesan kasus terhadap tahanan lainnya, seperti pelaku 9/11, lebih diprioritaskan dibandingkan tahanan seperti Hambali.
“Mendapat perhatian namun tidak banyak,” katanya kepada ABC.
Tujuh warga Amerika tewas dalam pemboman Bali dibandingkan dengan ribuan orang dalam serangan 9/11.
Kolonel Morris, yang ditempatkan di Guantanamo saat Hambali dibawa ke sana pada 2006, mengatakan saat ini ada pembicaraan mengenai pemindahan Hambali ke Australia atau Indonesia.
"Saya pikir Pemerintah AS mungkin akan dengan senang hati melepaskan kasus itu dari tangan mereka," katanya.
Letnan Young mengatakan kliennya Hambali terbuka untuk diadili di wilayah hukum lain.
“Saya pikir jika peradilannya adil, jika dia dijamin hak-hak mendasar yang kami anggap penting untuk proses yang adil, dia akan menerima hal itu,” katanya.
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.