ABC

Penyelenggaraan Sekolah Dasar di Indonesia Alami Kemajuan

Yuna Kadarisman, mahasiswa S2 Monash University, melakukan pengamatan praktek pengajaran di sekolah dasar di Australia maupun di Indonesia. Setelah mengunjungi sekolah di Australia Januari lalu, kini dia ke Indonesia untuk hal yang sama. Apa yang dilihatnya?

Dengan pengalaman dan latar belakang sebagai guru di sekolah Indonesia, saya tidak mengalami kesulitan untuk mendapatkan ijin bertamu dan bertandang ke delapan sekolah di wilayah Banten, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jogjakarta.

Sama seperti kunjungan saya ke 13 sekolah di Australia, saya juga meminta waktu untuk berbincang dengan kepala sekolah, duduk di kelas dan mengamati interaksi antara guru dan siswa, berbincang dengan guru, dan mengambil gambar tentang situasi sekolah.

Ketika saya berangkat menuju Australia, saya berbekal informasi dari media yang mengatakan bahwa siswa di Indonesia mengalami banyak tekanan di sekolah, guru mendapatkan banyak tekanan dari banyak pihak, semangat belajar siswa yang memprihatinkan, fasilitas sekolah yang tidak memadai, dan banyak hal negatif yang membuat saya miris menjadi bagian dari pendidikan di Indonesia.

Murid sekolah SD di Klaten ini sedang belajar menari tradisional. (Foto: Yuna Kadarisman)
Murid sekolah SD di Klaten ini sedang belajar menari tradisional. (Foto: Yuna Kadarisman)

Namun ternyata tidak semua hal itu benar. Apa yang tersampaikan, hanya menjadi sebagian kecil dari apa yang terjadi di kehidupan pendidikan Indonesia. Beberapa hal menarik yang saya temukan terkait dengan dukungan terhadap budaya lokal dan perubahan sikap siswa, guru, dan sekolah.

Dukungan terhadap budaya lokal

Saya merasa sangat beruntung menjadi bagian dari Indonesia, sebuah negeri dengan kekayaan budaya yang sangat besar. Tarian tradisional, permainan tradisional, lagu daerah, dan bahasa daerah masih sangat hidup di banyak bagian Indonesia.

Ketika saya berkunjung ke SD Muhammadiyah Macanan, Klaten, beberapa siswa dengan bersemangat mengikuti latihan tari tradisional. Saya sangat terharu melihat antusiasme mereka.

Walaupun beberapa dari mereka adalah pendatang dari daerah lain dengan budaya lain, namun mereka tetap belajar dengan ceria. Bagi setiap siswa di kelas tari itu, ini adalah hal menarik yang dengan suka cita mereka pelajari.

Perangkat gamelan di SMPN Jogorogo di Ngawi. (Foto: Yuna Kadarisman)
Perangkat gamelan di SMPN Jogorogo di Ngawi. (Foto: Yuna Kadarisman)

Nuansa lain saya temukan saat mengunjungi SMPN 1 Jogorogo di kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Sekolah menengah pertama ini sangat istimewa karena saya dulu bersekolah disini.

Saya masih ingat, ketika saat itu sekolah mengumumkan bawa mereka telah membeli satu set perangkat drumband.

Saat itu, sekitar tahun 1994, semangat modernitas sangat kami nantikan. Saya masih ingat betapa bangganya saya saat mengenakan seragam drumband dan berjalan dalam pawai hari kemerdekaan dengan dandanan modern memimpin rombongan yang menggunakan baju daerah.

Yuna Kadarisman
Yuna Kadarisman

Namun, ternyata, waktu sudah berganti, dan kebanggaan, kini, memiliki arti yang berbeda.  Mereka sekarang memiliki satu set gamelan.

Dan saya bisa melihat betapa bangganya bapak kepala sekolah dan guru yang mengantar saya berkeliling akan hadirnya set gamelan di sekolah mereka. Mereka bahkan bercerita tentang adanya ekstra kurikuler dalang cilik.

Di beberapa daerah lain yang memiliki lebih banyak pendatang daripada penduduk lokal, seperti Jakarta dan banyak kota besar lainnya, hal yang sama juga masih terjadi.

Ekstrakulikuler tari Saman, atau Angklung masih tetap mendapat tempat di hati banyak siswa di Indonesia. Memang ada anggapan jika hal semacam ini menghambat siswa dengan latar belakang budaya yang berbeda.

Namun, di dunia yang semakin global dan tanpa batas, sisi budaya lokal, apapun bentuknya akan selalu tampil sebagai identitas pembeda yang selalu dihargai dan diapresiasi.

Perubahan sikap siswa, guru, dan sekolah

Hal lain yang saya amati adalah peran siswa dan guru di kelas. Kelas sekarang sudah bukan seperti ketika jaman saya sekolah dulu, dimana siswa yang paling duduk manis, yang paling pendiam dianggap teladan.

Dengan tangan terlipat dan pandangan penuh hormat ke guru. Siswa yang saya temui sangat aktif dan tidak lagi malu-malu mengemukakan pendapatnya.

Beberapa dari mereka berbisik dan bertanya kepada saya kenapa saya ada dikelas dan duduk dibarisan belakang. Beberapa dari mereka bahkan bertanya, ‘Beneran dari Australia?’ karena merasa saya tidak tampak seperti ‘bule’.

Guru juga tidak lagi melulu mengisi jam pelajaran dengan mencatat.

Dalam perjalanan saya kali ini, saya bertemu lebih dari 20 orang guru, dan sebagian besar sudah menerapkan cara belajar aktif yang menuntut siswa untuk lebih dari sekedar membaca dan menjawab pertanyaan.

Saya datang tepat pada ‘Market Day’ di SD Takmirul Islam, Surakarta. Anak kelas 3 SD bersama guru dan beberapa pendamping belanja ke pasar tradisional, dan menjual hasil ‘kulakan’-nya pada siswa kelas lain di halaman sekolah.

Mereka tidak sedang belajar untung rugi, mereka sedang belajar tentang nilai uang. Walau dalam diskusi kelas setelah kegiatan ada juga siswa yang berceloteh kalau mereka rugi atau untung dengan harga yang ditetapkan kelompoknya, namun semua anak belajar langsung tentang nilai mata uang dan operasi matematika yang menyertainya.

 Pelajaran matematika dengan praktek langsung belanja ke pasar. (Foto; Yuna Kadarisman)
Pelajaran matematika dengan praktek langsung belanja ke pasar. (Foto; Yuna Kadarisman)

Selain siswa yang sudah mulai aktif dan guru yang juga mulai berubah, sekolah juga mulai banyak yang mengembangkan budaya positif.

Ketika saya berkunjung ke SDN Babarsari, Yogjakarta, saya sangat tertarik dengan salam ‘Hi-five’ yang diberikan kepala sekolah dan guru pada seluruh murid yang baru datang pagi itu.

Pertama siswa akan mencium punggung tangan sang guru, seperti yang biasa dilakukan di banyak sekolah lain di Indonesia, lalu kemudian mereka akan saling ‘Tos (Hi-five)’. ‘Supaya siswa bersemangat belajar di sekolah’ kata kepala sekolah yang saya tanyai kemudian. Saya juga bisa langsung melihat efeknya. Setiap siswa yang selesai melakukan salam unik ini akan tersenyum sambil berjalan menjauh.

Sebuah perubahan kecil yang sangat berpengaruh pada semangat belajar siswa.

Delapan sekolah mungkin bukan sampel yang relevan untuk menggambarkan ribuan sekolah di Indonesia. Namun delapan sekolah ini cukup memberi saya harapan atas perkembangan positif pendidikan di Indonesia.

*Yuna Puteri Kadarisman adalah mahasiswa Master of Education di Monash University. Yuna memenangkan Allison Sudradjat Prize yang sebagian dimanfaatkan untuk melakukan observasi di sekolah-sekolah di Australia dan Indonesia untuk mengumpulkan praktek pengajaran yang baik dan bermanfaat yang dapat berguna untuk memajukan pendidikan di Indonesia.