ABC

Penuturan Keluarga Ekstrimis di Australia: “Tadinya Dia Cuma Memanjangkan Janggut”

Keluarga dari para ekstremis asal Australia yang terlibat dalam konflik di Suriah untuk pertama kalinya membuka diri dengan tujuan agar keluarga lainnya bisa memetik pelajaran.

11 orang yang semuanya tinggal di Melbourne diwawancarai peneliti Deakin University bekerja sama dengan Victorian Arabic Social Services.

Salah satu narasumber mengaku sebelum tewas di Suriah, anggota keluarganya itu sempat menelpon mereka di Melbourne.

“Dia menyampaikan akan melakukan bunuh diri besok pagi. Dia menelepon untuk mengucapkan selamat tinggal,” katanya.

Nama-nama ke-11 orang ini tidak disebutkan demi melindungi kerahasiaan identitas mereka.

Beberapa di antaranya mengaku menyadari tanda-tanda ekstrimisme itu dan melaporkannya ke pihak berwajib.

Sementara yang lainnya baru menyadari tanda-tanda tersebut setelah kejadian.

“Sama sekali tak ada tanda apa-apa. Tadinya dia memanjangkan janggutnya, tapi memangnya kenapa?” kata seorang narasumber.

“Dia masih bergaul dengan sepupunya, semuanya berjalan normal. Kadang nonton YouTube, video tentang Suriah, anak-anak yang dibunuh. Dia marah dan bertanya mengapa begini, mengapa begitu?'” tuturnya.

A man stares into his reflection, pulling at a section of his beard, wearing a t-shirt.
Kebiasaan yang normal seperti memanjangkan janggut bagi anak muda, belakangan disadari sebagai salah satu tanda anggota keluarganya itu terpapar ekstrimisme.

ABC News: Paul McClintock

Perilaku remaja umumnya seperti bermain video game, menghabiskan banyak waktu online, berpesta, dan menarik diri, belakangan diketahui dialami para ekstrimis itu.

Para narasumber menyebut penggunaan narkoba terutama sabu sebagai faktor kunci terjerumusnya keluarga mereka itu dalam ekstremisme.

Menurut ketua Victorian Arabic Social Services Leila Alloush, menyebut kecanduan narkoba sebagai “faktor pendorong anak-anak muda itu terlibat ekstremisme.”

Dalam satu kasus, perilakunya digambarkan sebagai ingin “berbuat kebaikan dan berbuat keburukan”.

Diungkapkan bahwa sejumlah anak muda tersebut kadang keluar pagi-pagi sekali dan tidak kembali sampai larut malam.

Mereka biasanya beribadah dalam kelompok kecil, menjauh dari musala atau masjid, tanpa sepengetahuan orangtua mereka.

“Mereka mengumpulkan orang-orang sepaham dan mengisolasi diri,” kata seorang narasumber.

Seorang ibu yang jadi narasumber mengungkap bagaimana anaknya diperalat oleh kelompok teroris ISIS.

“Dia diperalat oleh ISIS dan oleh pemerintah. Saya ini korban perekrut ISIS dan polisi federal,” jelasnya.

Depdagri Australia menolak menjawab apakah ada warga Australia sengaja bergabung dengan ISIS sebagai agen intelijen.

“Radikalisasi menuju kekerasan itu unik untuk setiap individu. Sehingga penanganannya fleksibel sesuai kebutuhan tiap individu,” kata jurubicara Depdagri.

Dia mengimbau keluarga dan masyarakat menghubungi pihak berwenang jika mereka melihat indikasi seseorang berpartisipasi dalam konflik di negara lain.

Duncan Lewis, direktur badan intelijen ASIO, mengatakan 230 orang Australia terlibat konflik di Timur Tengah sejak 2012, 94 di antaranya telah tewas.

Mereka umumnya meninggalkan Australia untuk bergabung dengan ISIS.

Obsesif dan rentan

Illustration of a woman in hijab peering into her son's room as he looks at extremist content on his laptop, sitting at a desk.
Keluarga dari para ekstrimis menyebut media sosial sebagai faktor utama radikalisasi.

ABC News: Paul McClintock

Ketika perang berkecamuk di Suriah, media sosial berperan menyebarkan video dan foto-foto kekerasan.

“Inilah yang membuat kami marah. Pembunuhan terhadap umat Islam di luar negeri,” kata seorang wanita yang jadi narasumber.

“Saya kira hal itu yang memotivasi mereka menjadi radikal. Terkadang mereka kehilangan akal sehat, ingin membantu,” jelasnya.

“Media sosial banyak menyebarkan hal negatif tentang Islam sehingga memudahkan para influencer membangun narasi, bahwa kami bukan bagian (dari Australia),” kata narasumber lain.

Orang pun dengan mudah mempertanyakan untuk apa berada di sini jika masyarakat Australia tidak menghendaki keberadaan mereka.

Sejumlah narasumber menyebut propaganda ISIS memperkuat anggapan demikian.

“Bagi saya ini propaganda perang, sama saja degan bagaimana pedofil menggoda anak-anak,” kata narasumber wanita tersebut.

Propaganda ISIS, katanya, sangat menggoda karena menawarkan perasaan bahwa mereka akan berbuat sesuatu yang besar, dengan tujuan mulia dibandingkan kehidupan mereka di Australia.

“Kehidupan sehari-hari di sini seringkali membosankan,” katanya.

Illustration of a woman in hijab sits on a couch, sitting across from two people holding notepads and bed sitting in chairs.
Keluarga para ekstrimis membuka diri agar keluarga lain bisa memetik pelajaran.

ABC News: Paul McClintock

Dalam wawancara itu terungkap seorang ayah yang kena serangan jantung setelah mendengar putranya bertempur untuk ISIS.

Yang lain hanya mengetahui anggota keluarganya itu telah tewas setelah membaca beritanya di media.

Ada duka dan juga rasa malu selama berlangsung wawancara yang dipandu Profesor Michele Grossman dan Dr. Vivian Gerrand.

Hal itulah yang mendorong mereka berbicara terbuka, agar keluarga lainnya memetik pelajaran.

“Saya selalu mau menangis dan menangis memikirkan saudaraku,” kata seorang wanita yang saudaranya terlibat perang di Suriah.

Yang lain mengaku menyesal karena tidak membimbing anak-anak mereka untuk melihat agama secara berbeda.

“Saya menyerahkannya ke dunia luar dan hanya Tuhan yang tahu apa yang mereka cecokkan ke anakku. Islam bukan ajaran tentang ekstremisme. Mereka mendapatkan ajaran keliru,” kata seorang ibu yang jadi narasumber.

Seorang ibu lainnya menyesali mengapa tidak mendidik langsung anaknya ketika menunjukkan minat pada agama.

“Saya malah mendorong mereka menjauh dari agama. Mereka memberontak dan lari ke agama,” katanya.

Para narasumber mengatakan pihak berwenang seharusnya melarang ceramah yang memuja-muji kekerasan Islam.

Selain itu, pengajar Bahasa Arab dan Agama Islam harus diperketat akreditasinya.

Profesor Michele Grossman menambahkan masih perlu penelitian lanjutan mengenai peran yang dimainkan para perekrut ISIS.

Dari 11 orang yang berpartisipasi kali ini, delapan orang keturunan Lebanon.

Empat di antaranya bersaudara kandung, tiga orang ibu, tiga lainnya teman atau sepupu, serta dua narasumber merupakan istri dari kombatan.

“Salah satu pelajaran yang bisa dipetik pihak berwajib yaitu intervensi dini berupa dukungan bagi keluarga mereka. Tidak selalu berupa penegakan hukum,” kata Profesor Grossman.

Simak berita selengkapnya dalam Bahasa Inggris di sini.