Pentingnya Kualitas Udara Dalam Ruang
MKita sering berbicara tentang hidup sehat dan kualitas hidup tapi apakah Anda memperhatikan kualitas udara yang Anda hirup dalam ruangan?
Berdasarkan banyak survey, sebagian besar dari kita menghabiskan hingga 90 persen waktu kita di dalam ruangan.
Jika ditambahkan waktu yang Anda habiskan di rumah, di kantor dan di dalam perjalanan, dan Anda akan melihat betapa besarnya waktu yang kita habiskan di dalam ruangan.
Studi tentang kualitas udara dalam ruangan tidak menjadi perhatian publik sampai tahun 1970-an.
Namun kemudian terjadi apa yang disebut “Oil Shock ” dimana harga minyak dunia naik ke tingkat tertinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Karenanya para pemilik gedung di Amerika Serikat dan di tempat lain berusaha menghemat pengeluaran bahan bakar dengan mengurangi udara segar yang memasuki sebuah bangunan dan melakukan sirkulasi ulang sebanyak mungkin.
Sindrom ‘Sick Building’
Perubahan ini dilakukan namun tanpa pengertian lebih dalam mengenai pentingnya kualitas udara dalam ruang.
Maka kemudian timbul sebuah fenomena baru bernama “sindrom ‘sick building ” (sindroma gedung sakit).
Indikator pertama adalah bahwa kadar karbon dioksida yang tinggi (yang paling umum digunakan bio-efluen) yang dipancarkan oleh penghuni dalam sebuah gedung menimbulkan respons fisik dimana udara akan terasa “panas dan pengap” bagi penghuninya.
Yang kedua adalah pembentukan kelembaban, yang menyebabkan kondensasi, terutama di mana kondensasi terjadi di dalam rongga dinding bangunan.
Hal ini memungkinkan jamur berkembang tak terlihat dan tidak terdeteksi, sampai membuat kehadirannya dirasakan lewat iritasi mata, hidung, tenggorokan dan iritasi kulit dan akhirnya memancarkan bau dari bahan kimia yang ada.
Senyawa organik yang mudah menguap
Iritasi dan bau umumnya kemudian diduga karena paparan bahan kimia, bukan disebabkan karena asalnya biologisnya.
Penelitian dan pembicaraan selama 40 tahun kemudian dipusatkan pada apa yang disebut senyawa organik volatil (VOC) dan emisi bahan kimia ini ke udara dalam ruangan.
Hal ini sebagian bisa dimengerti karena VOC juga menjadi fokus utama lembaga perlindungan lingkungan pada saat itu.
Terlepas dari bahan kimia yang sangat agresif seperti formaldehid, yang dipancarkan dari resin di papan partikel dan laminasi, dan dioksida nitrogen dari kompor dan pemanas gas, sebagian besar VOC lainnya tidak pernah secara meyakinkan dibuktikan berpengaruh pada kesehatan.
Ini tidak mengherankan bila Anda membandingkan batas paparan pekerjaan terhadap bahan kimia yang sama dengan konsentrasinya di udara dalam ruangan.
Tingkat keterpaparan di tempat kerja yang aman seringkali 1.000 kali lebih tinggi. Jadi mengapa kita mengharapkan efek ini di rumah atau kantor?
Senyawa organik semi-volatil
Pada pertengahan tahun 2000 perhatian beralih ke senyawa organik semi-volatile (SVOCs).
Sebelumnya tidak ada yang menganggap kualitas udara dalam ruangan berbahaya karena tidak dapat diperkirakan bagaimana senyawa dengan volatilitas rendah dapat dihirup dalam jumlah yang signifikan.
Sekarang telah ditunjukkan bahwa debu yang menempel pada bahan yang mengandung SVOC (lantai vinyl dan sejenisnya) menyerap bahan kimia kemudian disaring kembali di udara, dan kemudian membuat kita bisa menghirupnya.
Studi Bornehag menghubungkan phthalate (bahan kimia yang banyak digunakan dalam plastik) yang diserap dengan asma.
SVOC yang paling banyak ditemui adalah peliat phthalate. Laboratorium dan studi lingkungan pada hewan memberikan indikasi kuat bahwa gangguan endokrin sedang terjadi.
Belum ada bukti kuat pada manusia saat ini. Tapi penelitian manusia tentang efek lain telah menunjukkan bukti yang lebih kuat.
Sebuah studi di Bulgaria oleh para peneliti Skandinavia menunjukkan tingkat peningkatan asma anak-anak berkorelasi dengan meningkatnya penggunaan phthlates di rumah.
Mengingat bahwa sebagian besar rumah tidak mengandung lantai vinil atau tempat duduk yang menutupi ini pada awalnya membingungkan.
Tapi wawancara dengan rumah tangga menunjukkan peningkatan besar dalam penggunaan produk pembersih tertentu yang mengandung phthalate.
Anda bisa membuka jendela, tapi bagaimana kalau di luar lebih buruk?
Cara tradisional kita untuk memperbaiki kualitas udara dalam ruangan yang buruk adalah dengan meningkatkan ventilasi untuk membersihkan kontaminan.
Ini bekerja dengan baik untuk bahan kimia organik yang mudah menguap dan bio-efluen seperti CO2 dan bau, dan juga bekerja dengan baik dalam menekan debu sarat SVOC.
Tapi apa yang Anda lakukan bila kualitas udara luar lebih buruk daripada udara di dalam? Ini sudah lama menjadi masalah di daerah kota terdepan sebelum era legislasi lingkungan hidup.
Kemudian, seiring dengan dimulainya penggunaan mesin diesel untuk kendaraan bermotor, kategori polusi baru telah muncul – polusi partikel ultra-halus (UFP).
Sumber lainnya adalah asap api dari kegiatan seperti pembukaan lahan di Asia Tenggara dan kegiatan mitigasi kebakaran di Australia selatan dan serbuk sari rumput, yang dapat menyebabkan “badai asma”.
Dalam kasus ini, pencemaran berasal dari dalam rumah dari luar, berlawanan dengan masalah kualitas udara dalam ruangan dari polusi yang ada di dalam dan mencoba untuk mengeluarkannya.
Sementara teknologi yang ada saat ini untuk mengurangi partikel ultra halus yang masuk ke dalam ruangan, harganya mahal dan tidak diketahui efektivitasnya.
Kita harus mengembangkan teknologi ini sebagai standar yang dibutuhkan untuk bangunan seperti rumah sakit, karena di sinilah penderita asma mencari perawatan selama kejadian tersebut.
Steve Atkinson adalah Manajer Keselamatan dan Fasilitas GTP di Deakin University Melbourne. Artikel ini awalnya diterbitkan di The Conversation