ABC

Pengungsi dan Imigran di Australia Dinilai Punyai Etika Kerja Baik

Mencari kerja di Australia bagi Laith Al-Azooz bukanlah tanpa tantangan. Ketika ia melarikan diri dari Irak sebagai pengungsi beberapa tahun yang lalu, ia adalah seorang asisten teknik yang sangat terampil. Namun saat akhirnya ia sampai di Australia, ia merasa sulit bekerja tanpa pengalaman lokal.

“Pada dasarnya, pendatang baru menghadapi hambatan untuk mendapatkan kesempatan kerja di Australia. Anda memerlukan banyak pengalaman di Australia untuk memenuhi persyaratan tempat kerja (yang berbeda),” kata Laith.

Laith Al-Azooz telah menetap di Australia dan menemukan pekerjan yang disukai yang sesuai dengan kemampuannya.
Laith Al-Azooz telah menetap di Australia dan menemukan pekerjan yang disukai yang sesuai dengan kemampuannya.

ABC: Lisa Clarke

Laith beruntung, ia hanya butuh beberapa bulan sebelum diterima sebagai pendukung teknis di dalam perusahaan yang mengkhususkan diri pada monitor beresolusi tinggi.

“Saya sebenarnya terkejut mendapatkan pekerjaan ini begitu saja. Karena ketika saya bercakap-cakap dengan orang dan teman, mereka menderita dan tak mendapat kesempatan semacam itu,” kata Laith.

Matthew Bauer, CEO EIZO Oseania dan Asia Pasifik, membuat keputusan yang sadar untuk mulai merekrut orang-orang dari latar belakang pengungsi dan imigran dalam perusahaan tersebut.

“Ketika saya mempertimbangkan kandidat yang saya cari, saya berpikir bahwa tindakan migrasi itu sendiri adalah tindakan yang mengubah hidup, dan untuk melakukannya dengan sukses, Anda harus memiliki kesabaran dan fleksibilitas serta ketangguhan. Hal-hal yang diinginkan oleh pemberi kerja,” jelas Matthew.

"Jadi di antara orang-orang yang saya wawancara…para imigran-lah yang menawarkan etika kerja yang begitu menyegarkan pikiran. Imigran menjadi daftar teratas saya."

– Matthew Bauer, CEO dari EIZO Oseania dan Asia Pasifik

“Orang-orang ini telah menempuh perjalanan jauh hingga ke titik ini, mereka tak akan gagal sekarang,” sebutnya.

Setelah bekerja di perusahaan tersebut selama lebih dari sebulan, Laith menganggap dirinya beruntung mendapat kesempatan.

“Sebagian besar dari kami berasal dari negara-negara lain sebagai pengungsi, jadi kami harus mulai dari awal (di Australia),” kata Laith.

“Saya punya kualifikasi elektro di luar negeri, jadi mereka memilih saya untuk melakukan … konfigurasi profesional dari jenis monitor ini, karena saya memiliki keterampilan seperti itu.”

Sejak memulai pekerjaannya, Laith juga telah bekerja keras untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya dengan pelatihan yang ditawarkan oleh Matthew.

“Laith berada di sini untuk waktu yang singkat, tapi pelatihan yang kami tawarkan kepadanya telah diterima dengan baik,” kata Matthew.

“Saya menyarankan agar semua migran yang tiba di Australia untuk fokus pada bahasa mereka, untuk terus memperbaiki diri,” kata Laith.

Nirary Dacho dan Anna Robson dari lembaga 'Refugee Talent' membantu Laith Al-Azooz menemukan pekerjaan di EIZO, Sydney.
Nirary Dacho dan Anna Robson dari lembaga 'Refugee Talent' membantu Laith Al-Azooz menemukan pekerjaan di EIZO, Sydney.

ABC: Lisa Clarke

Laith menemukan pekerjaan yang sesuai saat staf yang menangani berkasnya merekomendasikan agar ia berhubungan dengan lembaga Refugee Talent, yang mengkhususkan diri dalam mencocokkan pengungsi dan migran dengan bisnis yang mencari karyawan yang memiliki keahlian khusus.

Organisasi yang berbasis di Sydney yang baru didirikan ini didirikan oleh pengungsi Suriah -Nirary Dacho, setelah ia memiliki pengalaman serupa karena tak bisa menemukan pekerjaan di Australia.

Berbekal gelar Master di bidang sains web dan gelar sarjana di bidang TI, Nirary melamar lebih dari 100 pekerjaan setelah pertama kali tiba di Australia pada tahun 2015, dan ditolak dari pekerjaan tersebut karena kurangnya pengalaman lokal.

“Sejak saya tiba, saya mulai melamar banyak pekerjaan. Saya ingin memulai karir saya di Australia dan melamar pekerjaan yang berbeda di bidang TI dan tingkat yang berbeda, tapi saya tak bisa mendapatkannya karena saya tak mempunyai pengalaman lokal,” jelas Nirary.

"Semua pengalaman saya bertahun-tahun tak dianggap di sini di Australia."

– Nirary Dacho, co-founder of Refugee Talent

“Jadi saya pikir, ini bukan hanya saya satu kasus, ada ratusan atau ribuan pengungsi dan pendatang imigran ke Australia dengan situasi yang sama.”

Menghadiri hackathon pengungsi pada akhir tahun 2015, Nirary bertemu dengan rekan senegaranya Anna Robson, yang memiliki gagasan serupa untuk menciptakan sebuah platform atau solusi untuk membantu para pengungsi terhubung dengan bisnis yang berbeda sehingga mereka bisa memulai karir mereka di Australia.

“Idenya adalah, karena meski ada bisnis yang ingin membantu pengungsi atau migran, tak ada lokasi atau titik tertentu di mana mereka bisa menemukan kandidat terbaik untuk bisnis mereka,” kata Nirary.

Dengan terjun ke lapangan, pasangan tersebut sekarang telah membantu puluhan pendatang baru di Australia untuk mendapatkan pekerjaan di berbagai bidang dan tingkat keahlian, termasuk Laith.

“Gagasan kami adalah membuat saluran lain bagi para pengungsi atau imigran yang ingin memecahkan hambatan-hambatan ini.”

Pekan Pengungsi 2017 berlangsung mulai 18-24 Juni, meningkatkan kesadaran akan masalah yang memengaruhi pengungsi dan merayakan kontribusi positif yang dibuat para pengungsi di tengah masyarakat Australia.

Diterjemahkan Jumat 23 Juni 2017 oleh Nurina Savitri dari artikel berbahasa Inggris di sini.