ABC

Pengungsi Asal Suriah Senang Tinggal di Newcastle Australia

Lima tahun lalu di tengah pemboman, desingan peluru, pembunuhan dan penculikan, Bachar Bani Marjeh, isterinya Rahaf Al Tabbaa, dan ketiga anak mereka yang masih kecil meninggalkan rumah di Damaskus, Suriah, karena khawatir dengan keselamatan mereka.

Yang terjadi berikutanya adalah perjalanan panjang selama bertahun-tahun untuk mendapatkan keamanan yang bersifat permanen.

Pada September 2016, keamanan itu akhirnya tiba ketika mereka berada di antara ratusan pengungsi asal Suriah yang dimukimkan di Kota Newcastle, New South Wales, Australia.

Tinggal di tengah pembantaian

Diperkirakan lebih dari 300.000 warga Suriah tewas terbunuh selama 6 tahun terakhir, setelah pemberontakan terhadap Presiden negara itu Bashar al-Assad berubah menjadi perang.

Gambar-gambar dari zona konflik tersebut telah menyebar ke seluruh dunia – wajah berlumuran darah, dilanda teror dan putus asa.

Bagi mereka yang beruntung dapat lolos dari konflik itu, meskipun raut kesedihan sudah berkurang dari wajah mereka, namun kenangan mengenai tanah air yang hancur masih tetap hidup bersama mereka.

Wajah-wajah yang sama, dengan bekas paparan teror dan mata yang cekung menerawang, sekarang bisa menjejakkan kaki di jalan-jalan kota seperti Newcastle, kota yang tidak pernah mengenal perang yang mematikan, seperti yang dialami para pengungsi.

“Situasi di Suriah sebelum perang sangat sempurna, sangat baik,” kata Bani Marjeh melalui penerjemah.

“Tapi karena perang ini, kehidupan menjadi amat sulit di sana,” katanya.

“Bahkan ketika anak-anak Anda pergi ke sekolah – anda tidak tahu apakah mereka akan pulang atau tidak,” tambahnya.

“Terjadi pembunuhan dan penculikan, kekacauan yang besar dan memaksa kami meninggalkan negara kami,” katanya.

“Bukan hal mudah meninggalkan negara kami, orang-orang yang tinggal bersama Anda, dan tempat kerja seumur hidup Anda,” tambah Bachar lagi.

“Anda harus menjaga kelangsung hidup orang-orang yang Anda cintai,” ujarnya.

Mengungsi ke Yordania

Bani Marjeh dan keluarganya yang pada awalnya tetap berada di Suriah akhirnya mengungsi ke Damaskus. Mereka kemudian bepergian ke Yordania tiga tahun lalu.

Bachar Bani Marjeh looks down the camera.
Bani Marjeh mengatakan dia ingin mendapatkan pekerjaan di Australia.

ABC Newcastle: Robert Virtue

“Itu bukan hal mudah bagi kami. Rumah kami dibombardir, dan kami harus meninggalkan rumah itu untuk menyelamatkan diri dan orang-orang yang kami cintai,” kata Rahaf Al Tabbaa melalui jasa penerjemah.

Meski mereka merasa lebih aman di Yordania, namun kehidupan di sana masih tetap sulit.

“Kami tidak dapat bekerja, tidak dapat mengendarai mobil, tapi bagaimana pun kami menjalani kehidupan kami,” kata Al Tabbaa.

Kemudian PBB menawarkan mereka kesempatan untuk datang ke Australia sebagai pengungsi.

“Kami selalu mendengar tentang Australia, tentang keamanan di Australia dan kebebasan yang dapat dinikmati para pendatang,” ujarnya.

“Australia merupakan pilihan yang bagus. Kami tidak pernah keberatan untuk datang ke sini,” jelasnya.

Bani Marjeh dan keluarganya tiba di Australia enam bulan lalu, tapi beberapa dari kerabat mereka masih berada di Suriah.

Harapan baru

Bagi Al Tabbaa, salah satu perbedaan besar antara Australia dan Suriah adalah lansekapnya.

“Hal pertama yang menarik perhatian saya adalah lingkungannya — Australia sangat hijau,” katanya.

“Kedua adalah senyum dan keramahan penduduknya,” tambahnya.

“Terima kasih Tuhan segala sesuatunya sudah baik sekarang,” katanya.

Dengan bantuan lembaga pendukung pengungsi, keluarga ini terus berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan di rumah baru mereka.

Tujuan awal mereka adalah meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris dan mendapatkan pekerjaan.

“Harapan terbesar kami adalah untuk dapat menetap dan menjadi seperti warga Australia lainnya,” kata Bani Marjeh.

“Australia telah memberi kami segalanya, dan kami ingin membalasnya,” ujarnya lagi..

“Salah satu hal yang kami inginkan saat ini adalah mendapatkan pekerjaan. Kami tidak ingin menjadi beban. Kami ingin mendapatkan pekerjaan,” kata Bani Marjeh.

“Kami memiliki kekuatan, memiliki pengetahuan dan mampu memberi untuk Australia,” ujarnya.