Pengobatan yang Disesuaikan: Cara Baru Memberantas Superbugs
Riset terbaru dari Monash University dan University of Queensland bisa mengubah cara pengobatan para pasien yang mengalami kondisi kritis di seluruh dunia.
Riset yang dilakukan oleh Centre for Medicine Use and Safety pada Monash University dan Burns, Trauma and Critical Care Research Centre pada University of Queensland, mengungkap bagaimana penggunaan antibiotik aman dengan dosis lebih tinggi dari standar bisa membantu memberantas meningkatnya infeksi yang disebabkan oleh superbugs. Superbugs merupakan infeksi bakteri yang resisten terhadap rezim pengobatan standar dewasa ini.
Dr Phillip Bergen dari Monash, yang turut menuliskan laporan riset ini, menjelaskan kerasnya situasi ini.
“Superbugs merupakan problem serius, khususnya bagi pasien dengan kondisi kritis,” kata Dr Bergen.
"Jika tren saat ini berlanjut, maka pada tahun 2050 mereka (superbugs) akan membunuh 10 juta orang setiap tahun."
Lebih memperburuk keadaan, pengembangan antibiotik baru sedang mengalami penurunan, sehingga membuat kian sulit bagi kalangan dokter untuk memilih rezim antibiotik yang akan menyelamatkan nyawa pasien.
Penulis laporan lainnya dari Monash, Dr Cornelia Landersdorfer menjelaskan bahwa hal ini khususnya terjadi pada pasien dengan kondisi kritis, yang sering menambah fungsi ginjalnya. Hal ini berarti antibiotik akan tereleminasi lebih cepat dari tubuh, yang bisa berakibat pada konsentrasi antibiotik yang sangat rendah dalam memberantas infeksi bakteri. Penelitian ini menggunakan model laboratorium yang sangat canggih untuk mengekspos bakteri terhadap naik-turunnya konsentrasi antibiotik darah dari waktu ke waktu, yang terjadi pada pasien kritis dengan berbagai fungsi ginjal.
“Ketika dilakukan simulasi pasien dengan fungsi ginjal yang ditambah, bahkan dosis harian tertinggi yang dibolehkan dari antibiotik yang umum digunakan, piperacillin/tazobactam, yang diberikan melalui metode biasa tidak efektif,” kata Dr Landersdorfer. “Dalam kasus fungsi ginjal yang normal, dosis tradisional mengakibatkan peningkatan resistensi yang akan memperburuk masalah pada pasien, sementara hanya dosis tertinggi yang disetujui yang (terbukti) efektif. “
Menurut tim peneliti, hal ini menunjukkan bahwa rezim pengobatan antibiotik individual diperlukan guna memaksimalkan kesembuhan klinis dan mencegah resistensi, sehingga menjaga sebanyak mungkin kegunaan antibiotik kita dewasa ini ke masa depan.
“Temuan kami menyoroti pentingnya memperhitungkan perubahan fisiologis pada pasien dengan kondisi kritis, yang bisa mengakibatkan turunnya efektivitas antibiotik dalam tubuh pasien seperti itu, ketika memilih rezim pengobatan antibiotik,” jelas penulis laporan lainnya Professor Jason Roberts dari University of Queensland.
Riset di waktu-waktu mendatang telah direncanakan guna menjawab kebutuhan bagi peningkatan rezim pengobatan antibiotik terindividualisasi. Jika hal ini tak bisa tercapai dengan memberikan antibiotik tunggal, rezim kombinasi antibotik yang dioptimalkan, didukung oleh model matematik berbasis mekanisme yang juga dikembangkan dalam penelitian ini, mungkin bisa diterapkan.
Penelitian ini didanai oleh National Health dan Medical Research Council dan dimuat dalam Journal of Antimicrobial Chemotherapy. Penelitian ini merupakan komponen penting dari REDUCE Centre of Research Excellence yang juga didanai oleh National Health dan Medical Research Council.
Artikel ini diproduksi oleh Monash University.