Penghitungan Resmi KPU: Joko Widodo, Presiden Terpilih Indonesia 2014
Setelah dua pekan proses penghitungan suara berlangsung, akhirnya pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla ditetapkan sebagai pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) Indonesia 2014 dengan perolehan suara sebanyak 70.997.833, mengalahkan pasangan Prabowo-Hatta.
Jokowi-JK memenangi perolehan suara Pilpres di sebagain besar provinsi. Perolehan suara telak didapat dari Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Bahkan di provinsi ter-timur Indonesia, Papua, kemenangan Jokowi-JK tampak menonjol dengan perolehan suara 2.026.739, dibanding Prabowo-Hatta yang hanya mengoleksi 769.132 suara.
Sementara itu, berbekal perolehan suara total 46.58%, Prabowo-Hatta unggul di 10 provinsi, di antaranya Aceh, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Gorontalo, Sumatera Barat, Riau, Jawa Barat, Banten, dan Maluku Utara.
Dari hasil rekapitulasi yang diumumkan ketua KPU, Husni Kamil Malik, pasangan Prabowo-Hatta menang telak atas Jokowi-JK di provinsi Sumatera Barat dengan perolehan suara 1.797.505. Sementara pasangan nomor urut 2 itu hanya mendapat 533.308 suara.
Adapun total suara sah yang masuk ke KPU sebesar 133.574.277.
“Menatapkan pasangan capres dan cawapres terpilih tahun 2014, nomor urut 2, saudara Insinyur Haji Joko Widodo dan Haji Muhammad Jusuf Kalla,” sebut Ketua KPU, Husni Kamil Malik, dalam pengumuman hasil penghitungan suara resmi KPU, pada 22 Juli malam waktu Indonesia Barat.
Husni juga mempersilahkan pihak Capres-Cawapres yang tidak puas terhadap hasil rekapitulasi KPU untuk memproses lebih lanjut di lembaga-lembaga yang berwenang.
Joko Widodo tampak hadir dalam pengumuman hasil rekapitulasi resmi di gedung KPU, Jakarta Pusat.
Ia mencontohkan 14 kabupaten di Papua yang tidak pernah mencoblos, namun memiliki hasil penghitungan suara. Kasus lain yang Prabowo singgung adalah munculnya 5000 lebih TPS di Jakarta yang direkomendasikan melaksanakan pemilihan ulang, namun tak digubris oleh KPU.
Prabowo menuding adanya kecurangan masif dan sistematis untuk mempengaruhi hasil Pilpres 2014. “Saya akan menggunakan hak konstitusional saya untuk menolak pelaksanaan Pilpres 2014 yang cacat hukum,” ujarnya kepada wartawan di rumah polonia.
"Kami tidak bersedia mengorbankan mandat yang telah diberikan oleh rakyat dipermainkan dan diselewengkan," tambah Prabowo. Di sisi lain ia menyampaikan, "Kami siap menang dan siap kalah dengan cara yang demokratis dan terhormat."
Prabowo Subianto juga meminta para pemilih serta pendukungnya untuk tetap tenang. Ia menginstruksikan saksi-saksi pihaknya yang sedang mengikuti proses rekapitulasi di KPU, untuk tidak melanjutkan tugas mereka di sana.
Terkait instruksi dan keputusan Prabowo tersebut, sejumlah pengamat politik dan pakar hukum di media sosial menyayangkanya. Mereka menyebut, keputusan Capres nomor urut 1 itu tidak konstitusional dan melanggar Undang-Undang Pilpres No. 42 tahun 2008 pasal 245 dan 246.
“Dalam UU Pilpres sebagaimana dalam UU Pileg dan Pilkada, seorang calon yang sudah disahkan sebagai calon tidak boleh mundur dengan alasan apapun. Apalagi mundur ketika pencoblosan sudah dilakukan. Hal tersebut tidak sejalan dengan UU Pilpres. Kalau Prabowo menolak hasil Pilpres dengan alasan banyak kecurangan, maka dia dapat mengajukannya ke MK atau laporkan pidana ke polisi,” tulisnya di lini masa media sosial twitter.
Namun di sisi lain, pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia, Margarito Kamis, mengungkapkan, langkah Prabowo untuk menolak dan mundur dari gelanggang Pilpres tak bisa dijerat hukum. Menurutnya, pasal 245 dan 246 Undang-Undang nomor 42 tahun 2008 tak menyebut keputusan Capres nomor urut satu itu sebagai sebuah pelanggaran.
“Unsur hukumnya tidak terpenuhi. Pertanyaan sederhana, ada berapa putaran Pilpres ini?. Di pasal 245 (UU 42/2008) disebut, Capres tidak bisa mengundurkan diri setelah ditetapkan. Sementara di pasal 246 disebut, calon tidak bisa mengundurkan diri setelah putaran pertama berlangsung. Nah MK kan sudah memutuskan Pilpres hanya 1 putaran,” jelasnya.
Margarito menambahkan, sebenarnya KPU memiliki waktu rekapitulasi hingga 9 Agustus, sehingga tak harus diselesaikan pada 22 Juli. “Rekapitulasi harus dihadiri pihak kedua pasangan calon dan Bawaslu agar sah, nah kalau salah satu calon mundur, tentu saja bisa dipertanyakan,” urainya.
Meski demikian, pakar hukum asal Maluku Utara ini menyebut bahwa di tengah kondisi yang rumit seperti pengunduran diri serta penolakan Prabowo, masih ada jalan keluar. “Presiden bisa terbitkan Perpu yang isinya mengatur mengenai rekapitulasi agar prosesnya tetap sah secara konstitusi,” tuturnya.