ABC

Penghentian Kapal Penangkap Ikan Ilegal Tingkatkan Jumlah Nelayan Kecil RI

Kecenderungan untuk meledakkan kapal penangkap ikan ilegal telah membuat Menteri Perikanan Indonesia, Susi Pudjiastuti, menjadi anggota kabinet paling populer, dan mengembalikan puluhan ribu pekerjaan perikanan skala kecil selama upaya ini berlangsung.

Ketika ia diangkat sebagai menteri di dalam kabinet Presiden Joko Widodo 14 bulan yang lalu, komentator berpikir Menteri Susi Pudjiastuti dan tindakan keras terhadap penangkapan ikan ilegal tidak akan bertahan.

Di Bali pekan lalu, ia mengatakan kepada delegasi dari 40 negara yang menghadiri perundingan perikanan Pasifik bahwa menipisnya perikanan di Indonesia begitu sehingga bahwa bisnis senilai 4 miliar dolar (atau setara Rp 40 triliun) terpaksa ditutup.

Antara tahun 2003 dan 2013, jumlah rumah tangga yang mendapatkan penghasilan utama dari aktivitas perikanan menurun setengah hingga 800.000 rumah tangga.

"Udang dan ikan di desa-desa kecil menurun setiap tahunnya sampai suatu hari semuanya berhenti. Tak ada yang bisa diekspor lagi, dan bahkan sulit untuk menemukan sesuatu untuk dimakan," jelas sang Menteri.

Indonesia, dengan 17.000 pulau-nya, memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia dan 5,8 juta kilometer persegi wilayah laut. Ikan merupakan sumber protein penting bagi 250 juta penduduk negara ini.

Dari bisnis kecil ikan dan lobster yang ia rintis 30 tahun lalu, Menteri Susi Pudjiastuti sekarang memiliki sebuah maskapai penerbangan perintis domestik.

Dari posisi itulah, Presiden Jokowi memasukkannya ke dalam rencana ambisius untuk mengubah pandangan dunia terhadap bangsanya.

"Visi Presiden adalah untuk membawa kembali kemakmuran Indonesia sebagai negara maritime. Kami ingin membangun kembali kekuatan kami sebagai pusat gravitasi aktivitas kelautan di sekitar kawasan," jelas Susi.

Pendekatan tegas timbulkan hasil yang cepat

Menteri Susi Pudjiastuti mempelajari data perikanan dan muncul dengan pendekatan baru yang radikal – melarang kapal-kapal nelayan asing yang besar dan pemindahan ikan di laut, membatasi penangkapan ikan komersial dalam jarak sempit antara 12-20 mil laut di lepas pantai, dan menghentikan penangkapan ikan ilegal.

Untuk setiap kapal penangkap ikan yang berlisensi, Menteri Susi menemukan ada lima atau enam dari mereka yang tidak memiliki lisensi. Serangan dari negara-negara tetangga sering diterimanya.

Untuk menunjukkan komitmennya, Menteri Perikanan ini meledakkan lebih dari 40 perahu nelayan ilegal dan mengunggah foto-fotonya di media sosial.

Ia mengatakan, awalnya masyarakat takut tindakannya akan menutup industri perikanan, salah satu yang terbesar di Asia.

"Pada akhirnya, kami menemukan hasilnya berbeda. Hasil tangkapan tuna lebih banyak," kata Susi.

Dalam 12 bulan sejak kebijakan baru itu diperkenalkan, pertumbuhan ekonomi di sektor perikanan telah lebih dari 40%.

Puluhan ribu rumah tangga telah kembali menangkap ikan untuk hidup, dan tuna sirip kuning terlihat kembali di dekat pantai dan ditangkap oleh nelayan skala kecil.

Menteri Susi bertujuan untuk meningkatkan jumlah usaha perikanan skala kecil kembali ke 1,6 juta. Rantai pasokan untuk ekspor yang sudah ada dalam bisnis ini, sedang direvitalisasi.

Dengan minyak, pertambangan, penebangan dan industri pertanian Indonesia yang menurun atau berjuang untuk mencapai lebih dari rata-rata pertumbuhan, semua mata kini tertuju pada perikanan.

"Satu-satunya harapan bagi bangsa ini adalah lautan," kata Susi di depam hampir 600 delegasi dari negara-negara Pasifik kecil, serta negara perikanan besar seperti China, Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat dan Eropa.

Tuna bermigrasi ribuan kilometer melalui perairan banyak negara.

"Kami mengambil langkah yang sangat sulit dan sangat kuat. Ini adalah demi kebaikan bangsa kami dan kawasan kami, tak hanya bagi kami di sini," terang Menteri Susi.

Indonesia, baru-baru ini, menandatangani kesepakatan dengan Australia dan Papua Nugini untuk bekerja lebih erat dalam memerangi penangkapan ikan ilegal.

Namun Komisi Tuna Pasifik, yang menetapkan aturan untuk perikanan terbesar di dunia, membuat keputusan dengan konsensus dan pertemuan di Bali ini gagal untuk mengambil langkah-langkah baru untuk melindungi spesies –yang bahkan terlalu sering ditangkap.

Jumlah tuna sirip biru dan tuna mata besar menurun 4-16% dari stok awal mereka.