ABC

Penghayat Kepercayaan Indonesia Ingin Diakui Lebih Dari Kolom KTP

Akhir pekan lalu, masyarakat adat di seluruh Indonesia, termasuk para penghayat kepercayaan, merayakan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara ke-20. Meski kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa sudah diizinkan tercantum di kartu tanda penduduk (KTP), perjuangan mereka untuk mencapai kesetaraan terus berlanjut.

Bagi banyak penghayat kepercayaan di Republik ini, mengisi kolom agama di KTP tanpa harus meminjam agama orang lain dulunya sebuah kemewahan. Selama bertahun-tahun, mereka terpaksa mengosongi kolom itu atau menerima satu dari enam agama resmi yang ada.

Dewi Kanti (44), pendamping komunitas adat Karuhun Sunda Wiwitan di Jawa Barat, mengatakan praktek tersebut meresahkan untuk banyak penghayat seperti dirinya.

Ia menyebut situasi yang dialami komunitas penghayat selama ini nyatanya lebih dari sekedar keresahan. Dewi menilai ada semacam diskriminasi sistematis yang mungkin tak disadari banyak orang.

Perempuan penghayat ini menuturkan, Pemerintah Indonesia harus bertindak lebih. Mengakui Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa di KTP hanyalah langkah awal, namun masih banyak yang perlu dibereskan.

Dewi mengatakan, kebijakan Pemerintah harus melebihi interpretasi atas keputusan Mahkamah Konstitusi pada bulan November 2017 tentang uji materi pasal 61 dan 64 dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 yang membahas masalah Administrasi Kependudukan.

“Kami berharap sebetulnya ketika keputusan itu mengatakan antar agama dan kepercayaan itu setara, artinya teknisnya di tingkat administrasi juga diberikan keleluasaan ketika agama-agama yang 1-6 itu dicantumkan, agama-agama Nusantara pun bisa seperti itu.”

Ia juga menerima laporan dari anggota komunitas yang masih menemui kendala administrasi.

“Ini saya dapat laporan terbaru awal Maret ini dari Kuningan. Dia perbarui KTP tapi kolom agamanya masih kosong, belum bisa diisi Kepercayaan, jadi ya dia biarkan kosong,” ujar Dewi seraya menunjukkan KTP yang dimaksud via pesan teks.

Di sisi lain, ia mengetahui bahwa di beberapa kota dan kabupaten, opsi kepercayaan telah digunakan. Misalnya pada akhir Februari lalu, Kota Bandung telah menerbitkan KTP dengan kolom kepercayaan untuk pertama kalinya.

Pencetakan KTP bagi para penghayat yang belum seragam tersebut dibenarkan oleh Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri. Ketika ABC mengirimkan foto KTP anggota komunitas yang dilaporkan Dewi, ia menyadari adanya kesalahan di wilayah tempat tinggal sang pemohon.

“Saya lacak Kuningan masih menggunakan aplikasi yang lama. Sudah saya perintahkan untuk update aplikasi terbaru sehingga langsung cetak KTP baru dengan kolom kepercayaan,” jelas Zudan.

“KTP pemohon tersebut akan diganti dengan kolom kepercayaan,” imbuhnya sambil menunjukkan hasil cetak terbaru dari KTP pemohon yang dilaporkan Dewi itu.

Dewi Kanti dari komunitas adat Karuhun Sunda Wiwitan.
Dewi Kanti dari komunitas adat Karuhun Sunda Wiwitan.

Facebook; Dewi Kanti

Meski demikian, Zudan menampik keinginan penghayat untuk mencantumkan nama masing-masing aliran kepercayaan di KTP ketimbang metode seragam yang dilakukan saat ini.

“Oh enggak bisa, enggak bisa. Keputusan rapatnya tidak seperti itu, keputusan MK-nya tidak seperti itu.”

“Bagaimana kalau organisasinya bubar? Itu kan organisasi. Parmalim, Sunda Wiwitan, Alukta…itu kan organisasi. Ada sekitar 180 berapa itu kan organisasi. Kalau bubar bagaimana nanti?,” tukasnya kepada ABC.

Menurut penuturan Bonar Tigor Naipospos dari Setara Institute, keputusan MK itu memang tidak terlalu tegas menyebutkan apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.

“Itu sebabnya pemerintah melakukan tafsir yang berdasarkan kepentingan mereka. Jadi keputusan Mahkamah Konstitusi hanya memberikan wadah konstitusi bagi penganut kepercayaan untuk mendapatkan identitasnya dalam kartu tanda penduduk.”

“Hanya itu saja bunyinya. Tanpa mengatakan bahwa sesuai dengan misalnya organisasi kepercayaan yang mereka anut misalnya. Enggak ada bunyi begitu juga,” sebutnya.

Anih adalah penghayat Sunda Wiwitan dari Cirebon, Jawa Barat. Remaja berusia 19 tahun ini masih ingat betul perundungan yang dialaminya saat masih SMP, terkait kepercayaan yang dianutnya.

Perlakuan serupa juga diterima Charles Butar-Butar, pemganut Parmalim dari Toba Samosir, Sumatera Utara. Ia sempat hampir tidak bisa mengikuti pelatihan karena kepercayaan yang dianutnya tak terdaftar di formulir pendaftaran.

“Waktu tahun 2018 kan saya daftar bimbingan latihan di Polres. Agama saya tulis Parmalim. Setelah saya serahkan ke petugas, mereka bilang ‘ini agama enggak bisa, harus diganti menjadi agama yang diakui di Indonesia, pilih salah satu’ katanya.”

“Setelah saya bilang ‘enggak mau pak..itu kan agama orang lain. Lagipula menurut pasal 29 UUD 1945 pilihan saya dijamin’, bapak itu membolehkan,” ceritanya kepada ABC.

Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengatakan keputusan MK itu, baginya, merupakan sebuah kebijakan ‘antara’.

Merefleksikan makna perayaan 20 tahun Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara yang jatuh pada 17 Maret lalu, Rukka mengatakan ia berharap agar agama atau kepercayaan tidak menjadi identitas bagi orang Indonesia.

“Mestinya enggak ada lagi kolom agama di KTP. Karena itu hanya menimbulkan diskriminasi dan kita tahu betul situasi akhir-akhir ini cukup memprihatinkan.”

“Jadi justru orang diidentifikasi dari agamanya, padahal kita ini sama-sama rakyat Indonesia, kita ini saudara gitu loh. Jadi enggak ada urusannya agama dengan identitas.”

“Karena agama itu kan way of life, cara hidup kita, cara kita berkomunikasi dengan yang kita percaya,” tuturnya kepada ABC.

Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.