ABC

Pengamat Menilai Pembubaran FPI Oleh Pemerintah Berpotensi Kontraproduktif

Pemerintah Indonesia resmi melarang aktivitas Front Pembela Islam, kelompok yang dianggap garis keras dan kontroversial serta berpengaruh secara politik, sesuai keterangan yang disampaikan Menteri Hukum dan HAM, Mahfud MD, kemarin (30/12).

Mahfud mengatakan, kelompok yang dikenal luas dengan singkatan FPI itu dilarang dengan segera.

“Jadi dengan adanya larangan ini, [FPI] tidak punya ‘legal standing’ [kedudukan hukum].”

“Pemerintah sudah melarang kegiatan FPI dan akan menghentikan kegiatan yang dilakukan oleh FPI,” kata Mahfud.

Larangan itu menyusul kembalinya tokoh spiritual kelompok itu, Rizieq Shihab, pada bulan November lalu setelah tiga tahun berada di pengasingan di Arab Saudi.

Kedatangannya kembali ke Indonesia disambut dan dirayakan oleh ribuan orang, serta memicu kontroversi dan spekulasi kemungkinan ia akan berusaha untuk memanfaatkan kekuatan oposisi.

Ulama berusia 55 tahun itu ditangkap bulan ini atas dugaan melanggar protokol kesehatan.

Sementara itu, bentrokan antara polisi dan pendukung Shihab yang berbuntut pada tewasnya enam pemuda yang ditembak mati polisi masih diselidiki oleh komisi hak asasi manusia nasional.

Mahfud mengatakan FPI resmi dibubarkan sejak Juni tahun lalu, namun terus melakukan kegiatan yang melawan hukum.

Ia menambahkan, enam pejabat senior Pemerintah Indonesia, termasuk Jaksa Agung, Kapolri dan Kepala Badan Penanggulangan Terorisme terlibat dalam keputusan pelarangan kelompok tersebut.

Wakil Menteri Kehakiman, Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan FPI dilarang karena hampir 30 pemimpin, anggota, dan mantan anggotanya telah dihukum atas tuduhan terorisme, dan karena kelompok itu bertentangan dengan ideologi negara bangsa, Pancasila, yang menekankan persatuan dan kesatuan dalam keberagaman.

Dibentuk setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, FPI terkenal atas aksinya menyerang bar dan rumah bordil serta mengintimidasi agama minoritas. Namun, organisasi ini juga dikenal kerap menawarkan bantuan selama bencana alam.

Pengaruh politiknya telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah perannya dalam demo pada tahun 2016 terhadap mantan gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama yang dipenjara atas tuduhan penodaan agama.

Pemerintah melihat demonstrasi sebagai salah satu ancaman terbesar terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo.

‘Keputusan yang berpotensi mendiskriminasi’

Di sisi lain, pengamat Hukum Tata Negara, Margarito Kamis mengatakan, bahwa pernyataan menteri bukanlah hukum.

“Pernyataan dari seorang menteri bukan hukum, pernyataan dari Presiden sekalipun bukan hukum. Kecuali di negara otoriter, apa yang keluar dari mulut pejabat itu hukum.”

“Di negara demokrasi tidak, di sistem hukum kita tidak, pernyataan itu bukan hukum,” tutur Margarito kepada Republika (30/12).

Menurut Maragarito, tidak ada dasar bagi pemerintah untuk membubarkan FPI karena organisasi ini tidak memperpanjang SKT di Kementerian Dalam Negeri sejak Juni 2019.

“Kan dia tidak mendaftar, mau bubarkan bagaimana, syarat pembubaran kan mencabutnya dari register, kalau dia nggak ada dalam register apa yang mau dicabut?” ujar Margarito.

FPI1
Orang-orang nyambut kepulangan Rizieq Shihab, pemimpin Front Pembela Islam Indonesia (FPI), 10 November 2020.

Foto: Reuters, Ajeng Dinar Ulfiana

Sementara itu, Amnesty International Indonesia menilai pelarangan kegiatan, penggunaan simbol dan atribut serta penghentian kegiatan organisasi kemasyarakatan (ormas) Front Pembela Islam (FPI) akan semakin menggerus kebebasan sipil untuk berpendapat ataupun berekspresi.

Menurut Usman, pelarangan ini terjadi karena Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2/2017 diterima DPR RI sebagai Undang-Undang baru, meskipun banyak menuai kritikan karena secara signifikan memangkas prosedur hukum acara pelarangan maupun pembubaran ormas, dengan menghapus mekanisme teguran dan pemeriksaan pengadilan.

“UU ini bermasalah dan harus diubah. Menurut hukum internasional sebuah organisasi hanya boleh dilarang atau dibubarkan setelah ada keputusan dari pengadilan yang independen dan netral,” jelasnya.

Larangan yang mungkin ‘kontraproduktif’

Dr Ian Wilson, dosen senior dalam studi politik dan keamanan dan peneliti di Pusat Penelitian Asia, Murdoch University di Australia, mengatakan larangan itu mungkin kontraproduktif.

“Melarang FPI tidak akan banyak mengurangi faktor-faktor yang telah mendorong popularitasnya sebagai fenomena sosial, dan kemungkinan akan ‘meradikalisasi’ beberapa anggota dan simpatisan,” katanya.

Larangan tersebut menimbulkan pertanyaan tentang penegakan hukum dan implikasinya terhadap ekspresi demokrasi di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, katanya.

Ian mengatakan keputusan itu harus dilihat dalam konteks perkembangan politik belakangan ini, termasuk pembersihan anggota FPI dan simpatisan dari Majelis Ulama Indonesia.

“Meskipun memiliki dasar hukum yang kuat, pelarangan tersebut jelas didorong secara politik juga.”

Analis ini menilai, larangan tersebut dapat memicu reaksi balik atau memaksa FPI dan aktivitasnya menjadi gerakan bawah tanah.

Anggota senior FPI, Novel Bamukmin, membantah, dengan mengatakan kepada kantor berita Reuters jika larangan itu tidak akan banyak mengurangi semangat.

“Mereka bisa membubarkan FPI tapi tidak bisa membubarkan perjuangan kami untuk bela negara dan agama. Dan kalau mau, sore ini kami bisa mendeklarasikan ormas Islam baru,” ujarnya.

Alih-alih membubarkan FPI, Usman meminta pemerintah mengutamakan pendekatan hukum dan peradilan, misalnya dengan memproses hukum pengurus ataupun anggota FPI yang diduga terlibat tindak pidana.

Ini termasuk ujaran kebencian dan hasutan melakukan kekerasan berdasarkan agama, ras, asal usul kebangsaan maupun minoritas gender.

Artikel ini diproduksi oleh Hellena Souisa

Ikuti berita seputar pandemi Australia dan lainnya di ABC Indonesia.