ABC

Pengamat: Hasil Pilkada Berikan Pertanda Baik Bagi Jokowi di Pilpres 2019

Survei yang dilakukan lembaga penelitian Indonesia, Saiful Mujani Research Center menemukan kandidat-kandidat kepala daerah yang didukung oleh Presiden Joko Widodo, atau didukung oleh partai yang berkoalisi dengan Presiden Jokowi, telah berhasil memenangi sementara suara di wilayah-wilayah ‘kunci’ di Indonesia, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Salah satu pengamat dan pakar pemilihan umum di Asia dari lembaga Kemitraan Tim Evans mengatakan hal ini menjadi pertanda baik bagi Presiden Jokowi, sehingga ia bisa lebih percaya diri menghadapi lawan-lawan politiknya di pilpres 2019 dibandingkan di tahun 2014.

“Jawa Barat, misalnya, yang sebelumnya merupakan provinsi yang sangat bagus bagi Prabowo Subianto dimana dia mendapat dukungan 60-40 untuk Prabowo.” kata Tim kepada Tasha Wibawa dari ABC di Melbourne,

“Kali ini sepertinya berayun cukup kuat terhadap Jokowi dan ini adalah provinsi terbesar di Indonesia.”

Presiden Jokowi dengan mantan lawannya di Pilpres 2014, Prabowo saat bertemu di sebuah acara.
Presiden Jokowi dengan mantan lawannya di Pilpres 2014, Prabowo saat bertemu di sebuah acara.

Reuters/Beawiharta

Tapi pengamat lain mengatakan Presiden Jokowi tidak boleh berpuas diri, karena momentumnya masih bisa berubah, seperti yang dikatakan Prof Vedi Hadiz, Wakil Direktur Lembaga Kajian Asia di University of Melbourne.

Terlebih pada pemilihan kepala daerah serentak beberapa waktu lalu ditemukan beberapa partai lawan Presiden Jokowi berhasil meraih suara lebih tinggi dari yang diharapkan.

“Bahkan di tempat-tempat di mana mereka kalah, suara mereka jauh lebih baik dari jajak pendapat yang dilakukan sebulan sebelumnya… saya rasa ini bisa membesarkan hati mereka dalam pemilihan legislatif dan pemilihan presiden 2019 mendatang,” kata Vedi.

Di Jawa Tengah, pasangan Sudirman Said dan Ida Fauziyah yang didukung partai Prabowo Gerindra mendapat 40 persen suara dalam penghitungan suara, padahal dalam jaka pendapat sebelumnya mereka diperkirakan hanya akan mendapat 20 persen suara.

Dalam sebuah survei lain yang dilakukan oleh lembaga peneliti politik di Indonesia, Poltracking, ditemukan 53 persen warga masih bisa mengubah pilihan mereka menjelang pilpres 2019.

Pemilihan membuat perpecahan agama

Pengunjuk rasa menuntut Ahok di Jakarta
Pengunjuk rasa menuntut agar Ahok yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jakarta untuk diadili atas tuduhan menghina agama Islam.

AP: Achmad Ibrahim

Poltracking juga menemukan ada 58,5 persen dari pemilih mempertimbangkan latar belakang agama bagi calon presiden dan wakil presiden.

Menurut Vedi, hal ini bisa menjadi masalah bagi Presiden Jokowi, yang secara historis tidak terlalu populer di kalangan Muslim konservatif.

“Latar belakang sosial [Jokowi] tidak menunjukkan kualitas Islam yang kuat dan ini bisa menghadangnya,” katanya.

Kandidat Doktor dari Australia National University, Thomas Power mengatakan, lawan politik Presiden Jokowi telah mengambil kesempatan dari gerakan yang menurunkan mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok.

“Narasi utama dari kalangan oposisi Jokowi yang Islamis menekankan kurangnya representasi Muslim konservatif dalam pemerintahan Jokowi, dibandingkan dengan era Yudhoyono,” kata Thomas.

Ahok dan Anies
Prabowo Subianto, pernah menyebut pemimpin FPI, Habib Rizieq Shihab punya peranan atas kemenangan Anies Baswedan pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017.

AP: Tatan Syuflana/Dita Alangkara

Menanggapi soal ini, Vedi mengatakan politisi telah memainkan kartu moralitas agama untuk menangkis kritik, tetapi juga untuk “mengganggu konstituensi partai yang lebih Islami”.

Ia menambahkan komentar-komentar soal tuduhan penistaan terhadap Ahok telah “menyediakan amunisi bagi sebuah gerakan untuk berkembang, yang berakibat pada [hukuman penjara bagi Ahok]”.

Artikel ini diambil dari laporan aslinya dalam bahasa Inggris yang menyoroti tantangan Presiden Jokowi jelang pilpres 2019 yang bisa dibaca disini.