Pengalaman Warga RI di Australia Membangun Pertemanan Lokal
Tinggal di negeri seperti Australia bagi warga baru seperti Desy Ery Dani memberikan tantangan tersendiri dalam hal mencari pertemanan. Inilah pengalamannya untuk tidak sekedar bergaul dengan warga Indonesia lainnya. Dia ikut kursus kepemimpinan khusus perempuan.
Menjalani kehidupan baru di negara asing tentu memiliki tantangan tersendiri. Proses adaptasi menemukan lingkungan dan teman menjadi salah satu salah satu faktornya.
Apalagi ini adalah pertama kalinya saya tinggal di luar negeri, keberadaan teman menjadi krusial sekali. Utamanya untuk berbagi pengalaman, sehingga mengenal lingkungan dengan gampang.
Setelah suami menerima beasiswa dari pemerintah Australia, sayapun ikut pindah ke Melbourne Australia.
Lalu bagaimana saya mencari komunitas pertemanan di Melbourne biar betah ya?
Melbourne merupakan kota negara bagian Australia yang sangat dinamis dan heterogen. Maka tidak heran kota ini dinobatkan sebagai ” one of the most liveable city in the world” (kota yang layak ditinggali) selama enam kali berturut-turut.
Bukan hanya infrastrukturnya yang memadai, tapi para warganyapun sangat ramah dan baik. Karena itu untuk membangun sebuah pertemanan sangatlah mudah.
Apalagi populasi orang Indonesia di Melbourne juga sangat besar, sangat mudah menemukan mereka di kota ini.
Komunitas masyarakat Indonesiapun beraneka ragam, mulai dari komunitas hobi, pengajian, komunitas antar daerah sampai komunitas ibu-ibu penggemar diskonanpun eksis disini.
Terkadang saya lupa bahwa sedang tinggal di Australia, karena berbicara banyak menggunakan bahasa Indonesia atau Jawa.
Untuk menyeimbangkan hal itu, salah satunya ikut bergabung di komunitas lokal di suburb dimana saya tinggal.
Di Australia, setiap wilayah tempat tinggal, pasti memiliki komunitas lokal. Mereka mempunyai berbagai program yang diperuntukkan bagi masyarakat, mulai dari penyandang disabilitas, wanita dan anak, juga orang tua.
Sayapun bergabung di komunitas lokal Dixon House. Dari sana saya juga mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan kepemimpinan.
Pelatihan ini bukan hanya menjadi ajang mencari teman saja namun juga pengalaman belajar mengenal Australia lebih dalam.
Pelatihan ini merupakan program tahunan yang dilakukan berbagai komunitas lokal.
Tahun ini, saya mengikuti program pelatihan kepemimpinan khusus perempuan (Womens’s leadership program) yang diselenggarakan komunitas Dixon House di Rowville.
Saya sedikit beruntung kali ini, karena dari pihak penyelenggara ternyata hanya memberikan kesempatan terbatas dari kalangan non citizen dan permanent residence .
Peserta program ini memang spesifik ditujukan untuk perempuan, mengapa? Karena untuk mengajak para perempuan ikut mengambil peran penting dalam kehidupan bermasyarakat.
Peserta yang mengikuti kelas ini hanya dibatasi sepuluh orang saja, tiga orang dari non citizen/permanent residence dan tujuh orang dari kriteria tersebut.
Program ini berjalan selama enam kali dalam enam minggu dan berdurasi selama eman jam, mulai dari jam 9 pagi sampai dengan jam 3 sore.
Bagi Ibu rumah tangga seperti saya, waktu yang diberikan sangatlah menguntungkan. Tidak menganggu waktu antar jemput anak sekolah.
Program ini diselenggarakan juga berkerjasama dengan sekolah dasar Westall dalam hal penyediaan lokasi kelas.
Kebetulan jarak tempat tinggal saya dan lokasinya tidak begitu jauh, hanya sekitar lima belas menit menggunakan kendaraan pribadi.
Menariknya, peserta kelas ini berasal dari berbagai latar belakang pendidikan dan negara.
Kebetulan di kelas saya semuanya adalah para pendatang, dari Vietnam, Srilangka, Bangladesh, Hungaria, Hongkong, China, Afrika Selatan, Papua Nugini dan dua orang dari Indonesia.
Dalam prosesnya saya bertemu banyak teman yang sangat inspiratif. Salah seorang peserta dari Indonesia misalnya, berlatar belakangnya dokter di pedalaman Indonesia. Dia berhasil membantu mengurangi gizi buruk anak-anak, dengan membentuk kelompok wanita yang mandiri secara finansial dan pangan.
Pengalaman-pengalaman inspiratif ini kami dengarkan pada sesi perkenalan. Kisah seperti ini seperti memberikan suntikan semangat peserta lainnya, untuk berkiprah di masyarakat.
Materi yang diberikanpun sangat menarik, mulai dari bagaimana membentuk peer group (kelompok pertemanan positif), seni berbicara di depan public, mengenali potensi diri dan yang lainnya.
Materi di kelas menjadi tambah kaya, karena pandangan dan pengalaman yang disampaikan berbeda di tiap negara meskipun isu yang dibahas adalah sama.
Kami juga mendapatkan beberapa tugas individu maupun kelompok, kemudian tiap tugas dipresentasikan dan diskusikan bersama.
Ketika ada sesi tugas memproyeksikan diri, dari sana kami mengetahui rencana kedepan tiap peserta agar berimbas bagi masyarakat.
Meskipun hanya bertemu enam sesi saja, namun sudah seperti teman lama, bahkan kami merasa tidak rela bila kelas ini sudah selesai.
Di hari terakhir, beberapa alumni dari program inipun diundang untuk berbagi pengalaman mereka ketika sudah terjun dalam masyarakat.
Bahkan, salah satu alumni ini baru saja berhasil menduduki kursi dewan penasehat Monash City Council, kota praja dimana saya tinggal.
Di sessi terakhir ada penyerahan sertifitat bagi peserta, dan makan bersama.
Tiap peserta sengaja membawa makanan khas negara masing-masing. Seperti diplomasi budaya, namun kali ini diplomasinya lewat makanan. Selain kenyang, kami juga bisa saling bertukar informasi resep masakan.
Mungkin sertifikat yang diberikan hanyalah selembar kertas putih biasa, namun harganya jadi tidak ternilai.
Karena dari sanalah saya mendapatkan ilmu baru, pengalaman dan pertemanan yang menjadikan tambah betah berlama-lama tinggal di Melbourne.
* Tulisan ini merupakan pendapat pribadi. Desy Ery Dani adalah mantan pengajar ilmu perpustakaan di Universitas Diponegoro Semarang. Ibu dua anak laki-laki dan sedang menemani suami menempuh pendidikan doktoral di Melbourne Australia.