ABC

Pengalaman Tak Terlupakan Bermusik Bersama Orkes Simfoni UI di Sydney

Orkes Simfoni Universitas Indonesia (OSUI) Mahawaditra baru saja tampil di Australia International Music Festival di Sydney dan mendapatkan penghargaan Medali Perak. Berikut pengalaman salah seorang personil OSUI, Alfi Sina Vinci, mengenai penampilan dan pelajaran yang mereka dapatkan selama berkunjung ke Australia.

"Pengen perform lagi, yang kemaren gak puas." Satu kalimat yang meluncur dari bibirku, yang bukan sepenuhnya penggemar musik klasik dan bukan seorang penampil yang baik.

Kalimat yang sampai aku menyadarinya, aku tercengang. Seseorang biasa saja seperti aku kemudian merasa kurang puas atas penampilan kami selama di Sydney dan menginginkan lebih.

Ada yang berubah, kataku. Mental kami seluruhya berubah. Pertemanan di antara kami menguat. Sepertinya tidak cukup delapan hari kami berada di Sydney hingga saat kami di bandara, kami saling berucap "Gak mau pulang."

Kata-kata bodoh yang seharusnya disimpan dan diganti dengan "Kangen rumah." Namun begitulah. Hangatnya teman-teman sekamar bahkan lebih hangat dari heater yang dinyalakan. Tawa yang memecah keheningan, berbagai tingkah konyol yang mengguratkan kebahagiaan dalam diri masing-masing dari kami.

Sydney Opera House. Apa yang dirasa ketika mendengarnya? Mengucapnya? Memasukinya? Tampil di dalamnya? Spesial.

Salah seorang violinis OSUI Alfi Sina Vinci di Sydney
Salah seorang violinis OSUI Alfi Sina Vinci di Sydney

 

Kami hanya orkes amatir mahasiswa non-musik.

Namun hanya sekali kami tampil, beberapa penonton memberikan standing ovation, seakan penampilan kami sebagus orkes-orkes yang sering tampil di dalamnya.

Kami memasuki panggung dengan tangan dingin, turun dari panggung dengan wajah yang hangat berseri, mendengar meriahnya tepuk tangan dari penonton.

 It's our first day on Sydney namun kami sudah dapat menginjakkan kaki di Sydney Opera House, bahkan tampil di dalamnya.

Ini spesial. Seperti mimpi. Bahkan ketika mendengar orkes professional tampil di tempat bergengsi ini, bulu kuduk merinding, memikirkan begitu spesialnya kami tampil di panggung dunia, hanya bermodalkan partitur, alat musik dan rasa percaya diri.

Tak disangka selepas kami tampil beberapa orang Indonesia yang menjadi mahasiswa di Australia kemudian menghampiri kami dan mengajak kami foto bersama. Kami tentu tidak keberatan.

Orkes Simfoni UI ketika tampil di Verbrugghen Hall.
Orkes Simfoni UI ketika tampil di Verbrugghen Hall.

 

Workshop kemudian menjadi sesuatu yang kami nantikan. Awalnya kami mengira workshop akan membosankan. Namun ternyata kedua clinician kami adalah orang-orang yang hebat. Baik dalam mengaba maupun membawa suasana. 

Gesture dan intonasi mendukung segala ucapan mereka. Steve William dan Ralph Hultgren. Kedua orang konduktor kenamaan yang dengan rela turun tangan mengayunkan batonnya di depan kami, kemudian memberi masukan.

 "Everything i said here was just a different opinion, not to change your way to play or to change how the director told you to." (Semua yang saya katakan di sini hanya pendapat yang berbeda, bukan ingin mengubah cara kamu bermain, dan juga mengubah apa yang dikatakan direktur musik kepada kamu).

Kedua clinician tersebut bersama dengan Beng Wee Than kemudian menilai penampilan kami di Verbrugghen Hall, Sydney Conservatorium of Music. Penampilan kedua kami di depan masyarakat Sydney. Penampilan yang menjadi penentu status kami di hari penutupan nanti.

Verbrugghen Hall. Tempat dimana nantinya kami akan tampil dan mendapat penilaian. Jiwa kompetitor kami terpacu untuk maju. Tangan kami lebih dingin dari biasanya.

Ditambah udara luar yang semakin dingin pula. Kami tampil sebagai penampil terakhir hari itu. Apa yang kami dapatkan di Sydney Opera House tampaknya tak bisa kami dapatkan di Verbrugghen Hall ini.

Penonton hanya tersisa di bagian belakang. Sekumpulan anak-anak dari sebuah sekolah yang masih dengan setianya menonton performance kami. Bahkan setelah penampilan kami yang menegangkan, mereka sempat menyelipkan pujian.

Pirates of the Carribean, yang lebih cepat dari biasanya. Mereka pernah memainkannya sebelumnya namun mereka pikir permainan kami lebih bagus. Begitu menyanjung dan menghibur di penghujung malam itu. Kami pun pulang, dengan hati yang lega. Kami pikir ini tujuan kami kesini. Bermain untuk dinilai.

Udara dingin Town Hall tidak mendinginkan tangan kami kembali. Pemandangan yang indah membuat kami terlena, mencoba mengabadikan suasana yang kuno dan tertawa lepas sebebas-bebasnya.

Namun ketika sound check, semuanya buyar. Bahkan setelahnya kami semacam dievaluasi oleh music director dan konduktor kami.

Satu kalimat yang paling membekas dan membakar semangat kami kemudian "Kalian adalah orkes Indonesia yang pertama kali tampil disini, sebagai perwakilan dari Indonesia."

Aku lantas terkejut, mengingat orkes lain dan kelompok paduan suara dari Indonesia, alih-alih kami yang menjadi perwakilannya. Namun aku yakin, kami akan memberi yang terbaik untuk Indonesia.

Selepas buka puasa kami berlatih di ruang ganti. Walaupun kami sharing room, tak menyiratkan niat untuk kembali tampil dan memberikan yang terbaik.

Momen yang unik kemudian terjadi. Seorang dari kelompok musik India dari Amerika Serikat menghampiri kami, tertarik dengan permainan kendang dari kak Fajry.

Kemudian ia meminta diajarkan. Alih-alih ia belajar, kemudian ia meminta permainan kendang improve dari kak Fajry dan menari bersama kak Kirana.

Lantas suasana dingin ruang ganti menjadi hangat oleh tawa. Tak hanya tawa kami, namun juga tawa dari orkes lain yang ikut di ruang ganti tersebut.

People to People Diplomacy yang menjadi tujuan keberangkatan kami perlahan-lahan muncul. Kemudian, saatnya kami untuk tampil. Tidak seperti saat di Verbrugghen Hall, penampilan di Town Hall lebih dinikmati, kami seperti bernyanyi dengan musiknya. Membuat kami lega untuk pulang dan beristirahat di hotel.

Maritime museum bukan tempat yang ramah untuk partitur. Benar-benar bukan.

Untuk pertama kalinya di Sydney kami tampil pagi hari. Outdoor, berbatasan dengan air laut. Jadi kami bersiap dari pagi pula. Sebagian besar dari kami sudah bersiap dengan jepitan jemurannya.

Menunggu partitur untuk dijepit di stand part.

Namun ketika melihat stand part yang lebih tebal dari bayangan kami, kami harus memutar otak lagi. Bahkan aku dan teman di sebelahku harus dengan repotnya mengganjal partitur dengan handphone.

Penampilan hari itu merupakan penampilan tersibuk yang pernah kami lakukan. Partitur beterbangan, beberapa alat gesek stemannya turun.

Penonton bukanlah orang yang berminat untuk datang dan menonton, namun merupakan pengunjung Darling Harbour yang tertarik untuk mendengarkan.

 Jadi penampilan kami hari itu lebih menantang. Di satu sisi harus mempertahankan partitur di lain sisi harus bermain sebaik mungkin untuk menarik penonton agar duduk dan mendengarkan.

Rombongan Orkes Simfoni Universitas Indonesia berpose bersama di Sydney.
Rombongan Orkes Simfoni Universitas Indonesia berpose bersama di Sydney.

 

Enam lagu kami bawakan dengan apa adanya. Karenanya kemudian kami berkata "Gak puas. Harus main lagi besok" yang tidak lain dan tidak bukan, besok adalah hari penutupan AIMF ke-26 ini.

Keesokan harinya setelah seharian menunggu, kami tidak kunjung mendapat kabar dari panitia. Kami agak kecewa, namun tetap optimis. Jadi di malam penutupan itu kami mengenakan batik dan berangkat lagi ke Town Hall.

Berusaha menghibur diri bahwa apapun yang terjadi adalah yang terbaik bagi kami. Beberapa performance dari orkes dan paduan suara terbaik dibawakan sebelum akhirnya pengumuman penghargaan untuk peserta. Kami menunggu, menunggu untuk mendengar kata 'Gold' setelah nama OSUI Mahawaditra diucapkan dan menunggu untuk tepuk tangan yang riuh rendah untuk kami sendiri.

Namun kemudian kami sadar, tak perlu terlalu bertekad untuk gold. Tujuan kami datang ke Sydney bukan untuk itu. Tak disangka, kami mendapatkan Silver medal. Merasa sedikit kecewa, namun kami tetap bersyukur. Silver medal untuk orkes mahasiswa amatir yang baru pertama kali masuk ke kancah internasional adalah suatu penghargaan yang spesial.

Apalagi bagi kami, para anggota yang dikatakan baru saja mengerti dinamika Mahawaditra. Merupakan suatu kebangaan dapat memperoleh penghargaan seperti ini.

Setelah itu acara ditutup, menyisakan senyum di wajah-wajah kami. Sebagian menikmati pesta di ruangan di sebelah kami, sebagian mendengar penilaian dari juri yang dibacakan oleh mba Metta, music director kami.

Nyaris. Nilai kami mendekati peringkat gold. Penilaian dari ketiga juri memuaskan. Kami kembali ke hotel dengan tawa dan senyum yang berbeda. Bahagia sekaligua sedih. Besok, kami akan kembali ke Jakarta.

Di hotel kami diberikan evaluasi oleh mba Metta dan ko Mike, konduktor kami.

Namun alih alih evaluasi, mereka kembali membakar semangat kami agar bisa tampil lebih baik di kemudian hari. Setelah mendengar testimoni beberapa dari kami, tiba tiba suasana berubah.

Mbak Metta mengumumkan sesuatu yang membuat kami tercengang. Tenggorokan kami tercekat. Kak Mike selaku principal conductor kami akan segera menempuh pendidikan di bidang musik. Kami seharusnya bahagia, namun kedekatan kami dengan beliau membuat kami menangis, karena kabarnya kami harus melepas beliau selama dua tahun di Inggris.

Sebuah momen yang lagi-lagi membuat kami mengingat kembali masa-masa beliau mengarahkan performance kami. Aku melihat beberapa orang sudah dengan wajah sembabnya.

Kak Mike telah menjadi konduktor kami selama kurang lebih dua tahun. Ketika tiba-tiba harus berpisah, bahkan kami tak tau harus berkata apa. Namun kami juga bahagia, karena akhirnya beliau dapat mengikuti passionnya di bidang musik seutuhnya. Malam itu ditutup dengan tangisan terharu sekaligus sedih. Barulah kami tidur untuk besok kembali ke Indonesia.

Apa yang saya coba tuliskan disini adalah perasaan saya selama mengikuti AIMF ini. Banyak momen momen indah yang tak saya tuliskan disini. Semangat kami, OSUI Mahawaditra akan selalu bangkit, menyambut generasi baru, menyongsong masa depan yang lebih cerah bagi kami.

* Alfi Sina Vici adalah mahasiswi jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat UI angkatan 2014. Dia juga anggota muda OSUI Mahawaditra, baru kurang dari satu tahun menjadi anggota sebagai pemain viola (violist) tapi ikut bermain dalam AIMF.