Pengalaman Suharjo Djais Migrasi Kedua Kalinya ke Australia
Setiap tahun, sekurangnya puluhan ribu migran dari manca negara pindah ke Australia. Di antara mereka adalah keluarga Suharjo W. Djais asal Jakarta yang baru tiba bulan Januari lalu. Keluarga Suharjo sebelumnya pindah di tahun 2015 namun harus kembali lagi ke Indonesia, karena masalah pekerjaan dan biaya. Kini mereka kembali lagi ke Melbourne.
Di Jakarta, Suharjo berkarir lebih dari 10 tahun di dunia IT dengan posisi terakhir Technical Consultant Manager di salah satu Systems Integrator terbaik. Saat kedatangan pertama ke Melbourne, dia pernah bekerja di restoran. Berikut penuturannya.
Melbourne adalah kota dimana banyak cafe kopi bertebaran dan saling berlomba menarik pelanggan dengan aromanya yang khas. Di kota inilah kami sekarang berada, membangun mimpi demi kedua anak kami.
Ini bukan pertama kalinya kami datang ke sini, dulu di akhir tahun 2015 kami sempat mencoba untuk melakukan migrasi ke kota ini sekaligus melakukan pengaktifan Visa Permanent Resident Australia.
Saat itu ketentuan dalam Visa Permanent Resident yang kami dapatkan memiliki first entry yang sama yaitu 31 Oktober 2015, yang artinya kami harus sudah masuk Australia sebelum 31 Oktober 2015 atau Visa kami dibatalkan.
Visa Permanent Resident adalah Visa yang memberikan waktu bagi kami untuk boleh keluar, masuk, dan tinggal di Australia selama 5 tahun dan bisa diperpanjang jika memiliki waktu tinggal di Australia selama 2 tahun kumulatif dalam 5 tahun.
Visa ini memberi kami hak dan kewajiban sama seperti Warga Negara seperti misalnya mendapatkan tunjangan dan bantuan, tapi tidak untuk 3 hal yaitu, kewajiban memilih dalam Pemilu, hak mencalonkan diri dalam Pemilu dan hak bekerja di instansi pemerintah yang sensitif dan memiliki tingkat rahasia tinggi seperti militer.
Sebuah langkah yang terlalu berani saat itu karena kami datang tanpa didukung tabungan yang kuat dan di waktu yang menurut kami kurang tepat.
Kami datang saat itu di bulan September, bulan mendekati Natal akan dirayakan yang membuat banyak perusahaan menurunkan slot lowongan kerja mereka karena sudah mendekati libur panjang, kalau meminjam istilah orang Ausie “they won’t pay your holiday, mate!” (mereka tidak akan mau membayar liburan anda).
Sulitnya mendapatkan pekerjaan dan tabungan yang minim membuat kami kemudian memutuskan untuk kembali lagi ke Jakarta saat itu setelah 3 bulan disini.
Jadi, kalau mau datang sebaiknya diantara bulan Februari sampai Mei, bulan dimana lowongan kerja sedang panen raya sehingga peluang mendapatkan pekerjaan akan lebih besar.
Mencari pekerjaan di Australia juga menjadi tantangan tersendiri, selain cuaca dan budaya.
Disini, cari kerja sesuai dengan latar belakang keahlian itu susah-susah gampang. Dan biasanya yang bikin tambah susah itu adalah level kemampuan bahasa Inggris dan pengalaman lokal disini.
Jujur, saya pribadi dengan pengalaman kerja 10 tahun lebih di bidang IT saat di Jakarta apalagi didukung dengan sertifikat mentereng seperti CCIE (sertifikat tertinggi dari CISCO System) tidak banyak membantu saat itu.
Nah, tahun ini kami kembali lagi ke Melbourne di bulan Februari, dan kebetulan saya bertemu 1 orang yang sangat baik, dia memberikan kesempatan kepada saya untuk bisa bekerja di perusahaan dia sebagai Systems Engineer.
Jadi saya sudah ada pekerjaan saat akan kembali ke Melbourne dan karena itu kami bisa kembali dengan lebih cepat.
Saya merasa beruntung karena tidak banyak yang bisa mendapatkan pekerjaan terlebih dahulu sebelum migrasi.
Dan tentunya, yang tidak kalah menarik adalah kedatangan kami saat ini disaat masih musim panas (Desember – Februari), sebagai manusia tropis yang tidak akur dengan suhu dingin, hal ini sangat membantu kami melakukan penyesuaian.
Karena datang dari kota yang nyaris selalu panas sepanjang tahun, penyesuaian dari panas ke dingin relatif lebih mudah daripada dari dingin ke panas.
Selain karena sudah mendapatkan pekerjaan, alasan lainnya adalah kami ingin memberikan pendidikan yang lebih baik (menurut kami) kepada kedua anak kami.
Pendidikan yang lebih menekankan etika dan sosial daripada ilmu pasti, dan pendidikan yang mengarahkan anak-anak agar lebih kreatif daripada menghafal.
Dan hal lainnya kami juga ingin memiliki waktu bersama keluarga yang berkualitas yang tentunya sulit didapatkan di Jakarta karena panjangnya waktu yang dihabiskan di jalan karena macet.
Di luar itu, rendahnya polusi air dan udara juga lingkungan yang nyaris sangat tertib, transportasi publik yang lebih manusiawi, dan kehidupan yang relatif lebih tenang menjadi point tersendiri kenapa kami berjuang kembali kesini demi anak-anak.
Disini, penyandang cacat, anak-anak, ibu hamil dan manula diperlakukan seperti raja, semua dirancang dengan memasukan mereka sebagai pertimbangan sehingga hasilnya pasti mendukung mereka baik mobilisasinya maupun pelayanannya.
Yang menarik lagi adalah disini anak-anak kami tidak menjadi anak mall mereka bisa bermain di Taman yang memang dibangun banyak sekali di kota ini.
Mereka bisa mengenal alam, bermain di alam terbuka, dan relatif lebih aman. Disini adalah negara dimana burung-burung pun bebas becanda satu dengan lainnya di tengah-tengah manusia.
Tapi, bukan berarti kehidupan di Jakarta sepenuhnya buruk bagi kami.
Banyak hal-hal substansi yang tidak tergantikan seperti keluarga, makanan, bumbu-bumbunya, buah-buah tropis, budaya dan sebagainya.
Jadi, ada beberapa hal yang bisa saya bagikan dari pengalaman saya.
Pertama, pastikan membawa tabungan yang cukup untuk hidup tanpa bekerja setidaknya 12 bulan pertama.
Disini setiap bulan rata-rata menghabiskan AUD 3000 – AUD 3500, itu sudah termasuk sewa rumah, bayar air, listrik, gas dan hidup hemat untuk 4 orang.
Kedua jika tabungan tidak terlalu kuat, datang sendiri dulu dan setelah mendapatkan pekerjaan bisa mulai membawa keluarga ikut migrasi, biaya 1 orang perbulan rata-rata AUD 1500 – AUD 2000 tergantung gaya hidup.
Yang ketiga adalah datang saat pekerjaan sudah ditangan, tapi hati-hati yang saya maksud di point kedua dan ketiga bukan pekerjaan casual tapi pekerjaan fulltime baik tetap maupun kontrak, ini yang paling sulit tapi kemungkinan tetap ada.
Dan, yang keempat datanglah saat lowongan pekerjaan sedang banyak-banyaknya, yaitu antara bulan Februari sampai Mei.
Dan mengenai pilihan kami untuk menetap di Melbourne, banyak yang bertanya “kenapa Melbourne? Bukan Sydney?”, mungkin jawabannya adalah “Because my heart belongs to Melbourne”.*
*)Suhardjo W. Djais pernah bekerja di restoran saat kedatangan pertama kali ke Melbourne. Untuk kedatangan kedua kali di bekerja di salah satu perusahaan IT sebagai Systems Engineer. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.